Pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui Food and Drug Administration (FDA) menetapkan kebijakan baru setelah mendeteksi unsur radioaktif cesium-137 (Cs-137) pada beberapa produk udang asal Indonesia. Temuan itu mendorong badan pangan AS itu mengeluarkan Import Alert yang memuat kewajiban sertifikasi bagi produk dari wilayah yang dianggap berisiko tinggi.
Kasus ini bermula dari temuan Cs-137 pada udang beku yang diproses di PT Bahari Makmur Sejati (BMS) di Banten. Perusahaan itu kini masuk daftar pengawasan ketat atau red list FDA. Lembaga itu menyebut paparan radioaktif di Indonesia dapat berasal dari insiden kontaminasi di Serpong pada 2020 dan sisa partikel dari fasilitas peleburan logam di kawasan industri Cikande, yang tengah diselidiki Badan Pengawas Tenaga Nuklir.
Dalam pernyataan resminya, FDA menegaskan langkah itu diambil untuk melindungi konsumen Amerika dan memastikan keamanan pangan impor. Lembaga itu juga menyebut Indonesia sebagai salah satu wilayah yang memerlukan peningkatan pengawasan berbasis risiko, sejalan dengan amanat Food Safety Modernization Act (FSMA) yang menekankan pencegahan ketimbang pemeriksaan setelah insiden terjadi.
Mulai 31 Oktober 2025, FDA akan mewajibkan sertifikasi impor untuk setiap kiriman udang dari Pulau Jawa dan Provinsi Lampung, wilayah yang dikategorikan berisiko tinggi. Sertifikasi itu hanya dapat diterbitkan oleh lembaga resmi Pemerintah Indonesia yang ditunjuk FDA sebagai Certifying Entity. Tanpa sertifikat ini, setiap pengiriman ke Amerika terancam ditahan bahkan ditolak masuk pelabuhan.
Menanggapi hal itu, Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI) Andi Tamsil menilai sertifikasi memang sangat penting untuk menyelesaikan persoalan. Kendati begitu, dia mengungkapkan belum mendapatkan informasi detail dari pemerintah terkait prosesnya.
Sampai sekarang pemerintah, kata Andi, belum menunjuk badan atau lembaga yang akan berperan sebagai sertifikator. “Kita juga enggak tahu apakah pemerintah siap dalam hal ini dan lembaga mana yang kompeten melakukan itu,” katanya.
Di sisi lain, Andi menilai ada kekhawatiran di kalangan pelaku usaha andai proses sertifikasi benar-benar dilaksanakan. Andi menilai sertifikasi potensial membuat birokrasi semakin rumit dan menambah biaya ekspor. Dengan adanya sertifikasi, setiap udang yang akan diekspor ke Amerika harus melewati pemeriksaan terlebih dahulu.
“Dari data kita itu pertahun kita bisa kirim 2000-an kontainer. Berarti dalam sehari berapa kontainer yang mesti diperiksa? Apakah sanggup? Makanya harus dilakukan secara hati-hati dan melibatkan seluruh pihak terkait.” ujarnya.
Kasus ini memang mengguncang industri udang dalam negeri, sebab Amerika merupakan pasar utama ekspor udang Indonesia. Kata Andi, besarannya pada 2024 mencapai 63,7% dari total ekspor udang nasional. Jika merujuk data Kementerian Kelautan dan Perikanan, angka itu setara dengan 135 ribu ton dengan nilai US$ 1,07 miliar.
Akibatnya, kata Andi, terjadi penurunan ekspor nasional sebesar 30 sampai 40%. Selain itu, karena banyak udang yang dikembalikan ke Tanah Air, jumlah pasokan udang bertumpuk.
“Harganya pun ikutan jatuh, terutama di tempat-tempat yang didominasi BMS, seperti di Medan,” ujar Andi. Dia menambahkan saat ini sudah ada 32 kontainer yang dipulangkan dari Amerika dan jumlahnya masih terus bertambah.
Sembari menunggu proses sertifikasi, SCI sedang menjajal dan memaksimalkan ekspor ke negara-negara lain sebagai pasar alternatif. Andi mengatakan sedang mencoba memaksimalkan ekspor udang ke China. Sebab, pasar China, menurut Andi, relatif besar. Sejauh ini ekspor udang Indonesia ke China hanya sebesar 2%. Hal ini penting dilakukan sebagai langkah antisipatif andai masalah di Amerika belum terselesaikan.
Senada dengan Andi, juru bicara Asosiasi Produsen Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Saut Hutagalung menilai diversifikasi pasar ke negara selain Amerika memang sangat mungkin dilakukan, meski tidak mudah. Sebab, menurut dia, produk yang diekspor ke Amerika tidak hanya udang beku, melainkan udang customized yang sudah disesuaikan dengan permintaan pembeli di Amerika.
Di sisi lain, Saut menyoroti soal kejelasan sertifikasi yang memiliki tenggat waktu. Saut menilai belum jelas apakah tanggal 31 Oktober 2025 yang ditetapkan FDA adalah batas waktu keberangkatan dari Indonesia atau ketibaan di pelabuhan Amerika.
“Jika tanggal itu adalah waktu kedatangan, ya tidak mungkin. Artinya hanya tersisa 23 hari lagi sebelum diberangkatkan. Sementara waktu pelayaran yang dibutuhkan ke sana itu bisa 30 sampai 60 hari,” ujarnya.
Saut menambahkan pemerintah juga harus siap mengikuti standar keamanan yang telah ditetapkan Amerika pasca kasus Cs-137 ini. “Jika dikatakan aman untuk konsumsi dalam negeri, itu sah-sah saja. Tapi jangan lupa, kita bicara ekspor ke Amerika. Simple-nya, kalau kita mau berdagang di tempat orang, kita ikuti aturan dia,” tegas Saut.
Jaga reputasi
Sementara itu, Associate Director Aquafeed Haris Muhtadi menilai kasus temuan Cs-137 ini bersifat kasuistik dan tidak mencerminkan kondisi industri udang Indonesia secara keseluruhan. Dia menegaskan sumber kontaminasi berada di satu titik wilayah yang terbatas, bukan berasal dari rantai pasok budidaya seperti pakan, tambak, maupun proses pengolahan. Karena itu, menurutnya, pemerintah perlu melokalisasi masalah agar tidak menimbulkan kesan seluruh produk perikanan Indonesia terpapar.
Haris mengatakan berbagai asosiasi, termasuk industri pakan dan pengolah udang, telah berkoordinasi dengan pemerintah agar proses sertifikasi segera dijalankan. Dia menilai langkah itu penting untuk mengembalikan kepercayaan pasar Amerika, dengan catatan mekanisme sertifikasi dilakukan secara kredibel dan efisien. “Masalahnya hanya di satu titik, tapi jadi seolah-olah seluruh Indonesia,” ujarnya.
Dia juga menilai pemerintah perlu bertindak cepat agar industri tidak kehilangan momentum. Menurutnya, keterlambatan menjalankan sertifikasi bisa menimbulkan efek berantai terhadap ekspor dan kepercayaan pasar. Haris menegaskan kasus ini seharusnya menjadi pelajaran untuk memperkuat sistem keamanan pangan tanpa merusak reputasi sektor udang nasional yang selama ini dinilai sudah patuh pada standar internasional.
Baca juga:
Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan menilai kebijakan FDA yang mewajibkan sertifikasi impor bagi udang Indonesia wajar dilakukan mengingat risiko radioaktif yang tinggi.
“Sangat disayangkan karena berdampak langsung terhadap produk Indonesia di luar negeri,” katanya. Menurunnya kepercayaan pasar, kata Deni, dapat menekan permintaan dan memperlemah ekspor nasional di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
Deni menilai kekhawatiran pelaku usaha terkait birokrasi yang semakin rumit dan biaya tambahan akibat sertifikasi masuk akal. Namun, Deni menekankan hal itu merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan setelah kasus mencuat. Pemerintah, kata Deni, perlu mengurangi beban pelaku usaha dengan mempercepat proses pemeriksaan atau membantu menanggung biaya sertifikasi agar ekspor tidak tertahan.
Deni menegaskan langkah cepat pemerintah untuk melokalisasi sumber pencemaran dan menyampaikan hasil penanganannya ke publik dan mitra dagang internasional sangat penting agar kepercayaan pasar kembali.
“Standar kesehatan dan keamanan yang diterapkan negara maju kerap kita anggap sebagai non-tarriff barrier, padahal sebagian besar memiliki dasar perlindungan konsumen. Pemerintah dan pelaku usaha harus aware dan memenuhi itu,” ujarnya.