Industri Meminta Kepastian Pasokan dan Harga Gas Terjangkau

Industri manufaktur meminta kepastian pasokan dan harga gas lebih terjangkau menyusul kebijakan pembatasan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang dinilai berdampak negatif pada industri.

Industri Meminta Kepastian Pasokan dan Harga Gas Terjangkau
Dua petugas memeriksa jaringan distribusi pipa gas di PT Kalimantan Jawa Gas (KJG) di kawasan Tambaklorok, Semarang, Jawa Tengah, Senin (28/7/2025). ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/nz.
Daftar Isi

Sudah lama suara ini mereka serukan. Industri manufaktur meminta kepastian pasokan dan harga gas lebih terjangkau menyusul kebijakan pembatasan harga gas bumi tertentu (HGBT) yang dinilai berdampak negatif pada industri.

Industri makanan dan minuman merupakan salah satu yang terdampak oleh penerapan aturan tersebut. Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Adhi Lukman, beberapa pabrik terpaksa merumahkan karyawan akibat pembatasan kuota HGBT.

“Ini dampaknya akan sangat besar sekali. Beberapa anggota kami sudah menghitung kerugian kalau terjadi penghentian, mulai dari kerugian produksi, kerugian ekspor, dan lain sebagainya," ujar Adhi kepada SUAR di Jakarta, Senin (18/8).

Bukan cuma soal kebijakan pembatasan kuota harga gas untuk sektor tertentu dan strategis itu yang dihadapi pengusaha. PT Perusahaan Gas Negara (PGN), melalui surat tertulisnya, mengumumkan adanya pengaturan pemakaian maksimum gas pada industri di periode 13 Agustus–31 Agustus 2025 menjadi 48% karena alasan force majeure.

Adapun terjadinya keterbatasan pasokan gas ini lantaran adanya penurunan volume yang disalurkan pemasok gas atau kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) hulu migas pada Agustus 2025.  

Selain kerugian penghentian produksi, Adi menambahkan, pihaknya juga mengalami kerugian surcharge atau biaya tambahan yang bervariasi antara US$ 11–US$ 15, tergantung dari pemakaian. 

Pasca-pembatasan suplai ini, Adhi telah menerima laporan sejumlah pelaku usaha industri makanan & minuman yang tidak mampu memenuhi pesanan ekspor dari mancanegara imbas pembatasan gas ini.

“Sekarang mereka harus menghentikan produksi dan mengurangi tenaga kerja, juga mengurangi kapasitas produksi, yang dampaknya luas sekali,” ujarnya.

Industri makanan dan minuman (F&B) merupakan industri yang membutuhkan HGBT. Industri ini berkontribusi 41,15% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) non-migas, yang setara 7,2% terhadap PDB nasional pada kuartal pertama 2025.

Tapi, kini pemerintah menetapkan: sektor krusial ini dikecualikan dari daftar penerima HGBT dan harus membeli pasokan gas dengan harga pasar.

Hal ini membuat aktivitas produksi turut terdampak di tengah pembatasan kuota harga gas bumi tertentu (HGBT).

Selain industri makanan dan minuman, sektor industri keramik juga merasakan dampak besar akibat kebijakan pembatasan HGBT tersebut dengan merumahkan ratusan pekerjanya.

"Yang paling baru aja ada dua industri tableware di Tangerang terpaksa merumahkan sekitar 700 karyawannya. Ini ya karena pembatasan kuota pemanfaatan HGBT, dan ketika masuk ke surcharge gas regasifikasi LNG harganya mahal," kata Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik (Asaki), Edy Suyanto, seperti dikutip CNBC Indonesia.

Asaki sangat menyayangkan kondisi gangguan suplai gas yang telah berlarut-larut dengan tanpa ada solusi atau perbaikan pasokan gas telah memakan korban,

"Pemerintah perlu cari solusi segera berkaitan gangguan suplai gas, supaya tidak semakin banyak industri yang merumahkan karyawan. Kita khawatir nantinya bisa lebih dari itu, ada potensi PHK," sebut Edy.

Buka pusat krisis industri

Para pelaku industri yang tertekan kini harap-harap cemas menanti tindak lanjut pemerintah melalui Kementerian Perindustrian, yang telah mengambil sikap responsif dengan membuka Pusat Krisis Industri Pengguna HGBT.

Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief, menjelaskan, langkah pembentukan pusat krisis ini ditempuh menyusul semakin banyaknya laporan dari pelaku industri dalam negeri mengenai pembatasan pasokan, penurunan tekanan gas yang diterima, serta tingginya harga gas yang dibebankan.

 “Tidak ada isu atau masalah teknis produksi dan pasokan gas dari industri hulu gas. Kami tidak ingin kejadian yang terulang kembali pada industri dalam negeri, dengan kebijakan relaksasi impor yang mengakibatkan turunnya utilisasi produksi, penutupan industri dan pengurangan tenaga kerja pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan alas kaki,” papar Febri dalam rilis pers yang diterima SUAR, Selasa (19/08).

Mengenai gangguan pasokan, Sekretaris Perusahaan Gas Negara (PGN), Fajriyah Usman, menyatakan, pihaknya sepenuhnya memahami keluhan para pelaku industri tentang pembatasan yang terjadi secara mendadak tersebut.

Menurutnya, sebagai salah satu distributor gas bumi, PGN telah berkomitmen pada pasokan energi yang stabil dan terjangkau sesuai ketentuan pemerintah.

“Gas untuk tujuh sektor industri penerima HGBT berasal dari lapangan hulu tertentu di Sumatera dan Jawa yang ditetapkan pemerintah, baik volume maupun sumbernya. Sesuai Keputusan Menteri ESDM, jumlah gas yang diterima pelanggan HGBT bergantung pada ketersediaan pasokan di hulu tersebut. Apabila pasokan mencukupi, pelanggan menerima penuh. Tetapi bila ada penurunan produksi karena maintenance atau shutdown, volume bisa menurun,” jelas Fajriyah dalam keterangan tertulis kepada SUAR, Senin (18/08).

Ketujuh sektor industri manufaktur penerima HGBT berdasarkan keputusan Menteri ESDM yang dimaksud Fajriyah mencakup  pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.

Di luar ketujuh sektor itu, para pelaku industri manufaktur harus mengupayakan pasokan gas mengikuti mekanisme pasar dengan harga lebih tinggi dan fluktuatif karena mengacu pada harga minyak global dan melibatkan rantai distribusi yang lebih panjang dan kompleks, terutama yang dipasok dalam bentuk LNG.

Belum cukup berhasil

Adhi memaparkan, penetapan tujuh sektor penerima HGBT merupakan hasil usaha pelaku industri dan Kementerian Perindustrian yang tidak mudah memperjuangkannya kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. “Namun, perjuangan Kemenperin untuk memberikan HGBT ke semua sektor itu belum berhasil,” ujar Adhi saat dihubungi SUAR, Senin (18/08).

Menurut Adhi, sejumlah pelaku industri F&B telah menerima undangan dari PGN untuk bermusyawarah dan mencari jalan keluar terbaik.

“Saya serahkan [penyelesaian] ini ke PGN. Mudah-mudahan, kami sebagai asosiasi diundang untuk dialog mencari solusi yang terbaik, karena prinsipnya, kami juga ingin mendukung pertumbuhan industri nasional,” pungkas Adhi.

Meski PGN telah melakukan berbagai klarifikasi, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan menyayangkan respons PGN yang serta-merta menyatakan pasokan gas bumi di hulu berada di luar kendali PGN dan menyerahkan masalah pasokan sejumlah industri nonpenerima HGBT kepada mekanisme pasar.

“Dengan perhitungan yang sangat rinci seperti tercantum di kepmen, produsen di hulu itu pasti sudah menghitung dengan sangat matang, termasuk jika ada maintenance dan kendala teknis saat produksi. Kalau PGN mengatakan masalah ada di hulu, transparansi datanya ada atau tidak? Hulu yang mana?” tukas Yustinus saat dihubungi SUAR, Selasa (19/08). 

Dia menambahkan, FIPGB dan Kementerian Perindustrian telah meminta kejelasan transparansi produksi hulu gas bumi sejak 2022 dan 2023. Tetapi, distributor berulang kali menyatakan data produksi bersifat rahasia.

Lebih jauh, Yustinus meragukan itikad PGN untuk berdialog dengan pelaku industri.

“Saya skeptis PGN [mengajak] berdialog untuk mengganti. Mereka selalu buying time dengan alasan teknis, ada kebakaran pipa, ada force majeure. Surat mereka pada pengguna adalah disclaimer, bukan pertanggungjawaban. Meski mereka mengatakan cuma menyalurkan, butuh transparansi di hilir,” ujarnya. 

Ia mengingatkan, kekayaan gas bumi nasional jangan sampai mempersulit pelaku industri manufaktur dalam negeri. “Jangan sampai kita seperti tikus mati di lumbung,” tutup Yustinus.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, merefleksikan momentum pembatasan pasokan gas bumi untuk industri ini sebagai catatan untuk pemerintah agar mengambil pelajaran dari krisis industri manufaktur ini. 

“PR-nya pembatasan harus diikuti mekanisme pemantauan dan antisipasi bottleneck. Jika tujuan pembatasan adalah memastikan alokasi HGBT tepat sasaran, jangan sampai justru industri yang membutuhkan tidak mendapatkan pasokan sebagaimana mestinya, sehingga memperkeruh masalah yang ada,” ujar Faisal dalam keterangan singkat kepada SUAR, Selasa (19/08). 

Penulis: Christian Wibisana & Tria Dianti

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional

Baca selengkapnya