Indonesia berpotensi menciptakan 72 juta lapangan kerja hijau (green jobs) dalam empat tahun ke depan, seiring dengan pengembangan energi baru dan terbarukan, demikian menurut laporan Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (KemenPPN/Bappenas).
Hal ini menjadi harapan di tengah meningkatkan gelombang pemutuan hubungan kerja (PHK) karena ketidakpastian ekonomi global.
Berdasarkan Peta Jalan Pengembangan Tenaga Kerja Hijau Indonesia dalam rangka Indonesia’s Green Jobs Conference (IGJC) 2025: Turning Vision Into Action yang diluncurkan Bappenas April lalu, jumlah pekerjaan yang berpotensi menjadi hijau diproyeksikan mencapai 56 juta pada 2025 dan akan meningkat menjadi 72 juta pada 2029.
Peta jalan tersebut akan jadi panduan nasional untuk menyusun kebijakan, investasi SDM, hingga program yang mendorong transformasi ekonomi hijau
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi, menyebut masa depan green jobs sangat prospektif.
“Selain karena secara global mendapat perhatian tinggi untuk pembangunan berkelanjutan, sektor-sektor seperti pertanian organik, pengelolaan lahan ramah lingkungan, hingga smart farming punya potensi besar menyerap tenaga kerja,” ungkap Anwar kepada SUAR, Jakarta, Selasa (22/07/2025).
Lebih jauh, ia menambahkan, pemerintah telah menyusun roadmap green jobs sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Beberapa balai pelatihan milik pemerintah juga mulai membuka kursus bertema bisnis hijau dan teknologi ramah lingkungan.
Bappenas sendiri memprediksi pada 2025, jumlah tenaga kerja hijau di Indonesia diperkirakan mencapai 4 juta orang atau 2,7 persen dari total tenaga kerja, dan dapat meningkat menjadi lebih dari 5,3 juta orang atau 3,14 persen pada 2029, dalam skenario pertumbuhan ekonomi tinggi.
Istilah green jobs merujuk pada berbagai jenis pekerjaan yang mendukung keberlanjutan, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan serta mendorong pertumbuhan ekonomi hijau.
Perlambatan ekonomi dan transformasi digital telah memukul sejumlah sektor padat karya. Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, per 1 Oktober 2024, sebanyak 52.993 tenaga kerja terkena PHK, dengan sektor manufaktur menjadi penyumbang terbesar: 24.013 tenaga kerja kehilangan pekerjaannya.
Meski demikian, Anwar tak menutup mata terhadap tantangan dari mulai sumber daya manusia, sampai konsep pekerjaan hijau yang masih belum dipahami banyak orang. "Kita harus memastikan ada rantai bisnis yang betul-betul mendukung pekerja hijau mendapatkan kehidupan layak,” ujarnya.
Wicaksono Gitawan, Policy Strategist dan Project Manager di CERAH Indonesia, sebuah LSM lingkungan di Jakarta, menjelaskan bahwa esensi green jobs terletak pada dua pilar utama: menjaga kelestarian lingkungan dan memastikan kelayakan kerja.
“Green jobs itu bukan hanya soal ‘green’-nya saja. Ia harus punya dua sisi: berkontribusi pada pelestarian lingkungan dan tetap menjadi pekerjaan yang layak bagi pekerjanya,” ujar Wicaksono saat diwawancarai SUAR melalui sambungan telepon pada Selasa (22/07).
Pekerjaan hijau pun tidak terbatas di sektor energi terbarukan saja. Peluangnya bisa ditemukan di banyak bidang, mulai dari pertanian, manufaktur, konstruksi, sains, hingga ranah hukum dan industri kreatif seperti mode.
Potensi Besar Namun Terbatas
Senada dengan Bappenas, Wicaksono dari Yayasan CERAH juga mengungkap potensi terbesar green jobs ada di sektor energi terbarukan: tenaga surya, mikrohidro, dan biomassa.
Menurut dia, meski ada potensi 72 juta jenis okupasi di sektor ini yang sudah diidentifikasi sebagai pekerjaan hijau. Namun potensi ini masih terkendala skill gap, policy gap, dan funding gap.
“Perusahaan-perusahaan yang bergerak di green jobs sering kesulitan menarik tenaga kerja yang punya keterampilan teknis sesuai kebutuhan. Banyak lulusan teknik atau energi terbarukan memilih kerja di luar negeri karena tawaran yang kompetitif," kata Wicaksono.
Skill gap muncul karena keterbatasan tenaga kerja yang memiliki keahlian teknis di bidang energi terbarukan atau green jobs lainnya. Di banyak perguruan tinggi, jurusan dan kurikulum yang relevan masih terbatas, apalagi di tingkat SMK atau pendidikan vokasi di daerah.
“Survei kami menunjukkan hanya 45% mahasiswa yang benar-benar paham apa itu green jobs. Di kalangan masyarakat umum, pemahamannya bahkan lebih rendah,” katanya.
Kendati demikian, hasil survei yang dilakukan Yayasan Indonesia CERAH bersama Suara Mahasiswa UI menunjukkan mayoritas anak muda (71 persen) responden melihat sektor ini sebagai peluang karier yang menjanjikan, sekaligus sarana untuk memberi dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat. Angka ini sejalan dengan 98 persen responden yang berpendapat bahwa karier ideal bukan hanya soal penghasilan, tapi juga kontribusi bagi keberlanjutan.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Riset Plan Internasional tahun 2022 menunjukkan mayoritas anak muda di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat juga bercita-cita memiliki pekerjaan yang ramah lingkungan dalam dekade mendatang. Survei Good Energy di Inggris pun menemukan makin banyak generasi muda yang menempatkan aspek keberlanjutan sebagai pertimbangan utama dalam memilih pekerjaan.
Bagi negara, peluang ini juga bukan hal sepele. Pengembangan green jobs punya manfaat ganda: selain mengurangi pengangguran, juga membantu menekan emisi karbon, meminimalkan limbah polusi, dan memulihkan ekosistem.
"Pengembangan green jobs itu menguntungkan karena dia menjawab dua persoalan besar sekaligus: permasalahan ketenagakerjaan dan permasalahan lingkungan,” kata Wicaksono.
Sementara itu, policy gap terjadi karena roadmap dan regulasi pendukung, seperti power wheeling atau direct purchase agreement (DPA), belum sepenuhnya diterapkan. Hal ini membuat pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan, terutama skala besar, sulit masuk ke jaringan PLN yang masih didominasi listrik fosil.
Wicak mencontohkan PLTS terpusat di Way Haru, Lampung, yang awalnya dibangun pada 2016 untuk mengaliri listrik ke desa, tapi kemudian mangkrak karena tidak ada transfer pengetahuan dan keterampilan ke masyarakat setempat.
“Tanpa skill sharing, teknologi yang dibangun akhirnya tidak sustain,” ujarnya.
Funding gap juga menjadi penghambat signifikan. Investasi ke proyek energi terbarukan skala besar kerap terhambat oleh kendala oversuplai listrik di Jawa-Bali dan keterbatasan infrastruktur jaringan. Alhasil, investasi cenderung mengalir ke proyek skala kecil yang punya daya serap tenaga kerja terbatas.
Optimisme dan Waspada
Bobby Gafur dari Divisi Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mengatakan, potensi green jobs dipandang sebagai peluang strategis untuk memperkuat daya saing Indonesia.
“Green job potensinya besar sekali ke depan, karena Indonesia kaya akan sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya karbon,” ujarnya.
Meski demikian, ia menekankan pentingnya merumuskan transformasi industri hijau secara lebih detail, agar kebutuhan tenaga kerja hijau dapat disiapkan dengan baik, dan ekosistemnya terbentuk dengan solid.
Bagi sektor usaha kecil dan menengah (UKM), peluang green jobs juga ada, seperti usaha daur ulang, pengelolaan sampah, hingga pertanian organik, meski tetap menghadapi tantangan seperti modal, teknologi, dan akses pasar.
“Menurut saya, di kalangan industri yang sudah bergerak ke arah green industry, para anggota APINDO yang terkait sebenarnya sudah cukup sadar akan pentingnya transisi ini. Otomatis, kebutuhan SDM hijau juga ikut muncul sebagai konsekuensi. Sektor-sektor seperti green financing, green manufacturing, dan green energy sudah menjadi leading sector yang membuka banyak peluang pekerjaan hijau," kata dia.
Beberapa contoh kebijakan yang berkembang pesat di luar negeri dalam mendukung green jobs antara lain
- Di Vietnam, misalnya, kebijakan direct power purchase agreement (DPPA) memungkinkan perusahaan swasta membeli listrik energi terbarukan langsung dari produsen melalui jaringan nasional. Kebijakan ini memicu ledakan investasi dan pembukaan lapangan kerja di sektor energi terbarukan.
- Di Afrika Selatan, organisasi seperti Harambe Youth Employment Accelerator menjadi penghubung antara pencari kerja muda dengan industri hijau. Model ini terbukti mempercepat reskilling dan penempatan tenaga kerja ke sektor berkelanjutan.
Anwar menambahkan potensi green jobs di Indonesia amat besar. Namun untuk menjadikannya motor baru perekonomian, dibutuhkan strategi menyeluruh: memperkuat pendidikan vokasi, membuka insentif bagi sektor swasta, memperbaiki regulasi yang menghambat investasi, hingga kampanye publik yang membuat konsep green jobs lebih dipahami.
“Kita berharap Indonesia mampu menjadi negara berpendapatan tinggi, dengan struktur ekonomi lebih kuat dan berkelanjutan," ujar dia.