Geliat Film Bioskop Indonesia Tarik Minat Penonton Global

Memasuki bulan kemerdekaan, bioskop nasional kini diramaikan oleh film-film dari berbagai genre, mulai dari drama, horor, hingga komedi, dengan antusiasme penonton yang semakin meningkat.

Geliat Film Bioskop Indonesia Tarik Minat Penonton Global
Bioskop XXI di Lotte Shopping Avenue XXI, Setia Budi, Jakarta Selatan, (7/8/2025). (Foto: Arfan Tarigan/SUAR)
Daftar Isi

Memasuki bulan kemerdekaan, bioskop nasional kini diramaikan oleh film-film dari berbagai genre, mulai dari drama, horor, hingga komedi, dengan antusiasme penonton yang semakin meningkat.

Antusiasme tersebut tampak nyata di dua bioskop di Jakarta, Lotte Shopping Avenue dan Hollywood XXI, saat dikunjungi Tim Suar pada 7 Agustus 2025 pukul 18.00. Suasana begitu ramai, Area lobi dipadati pengunjung dengan antrean tiket yang memanjang dan sebagian besar studio hampir terisi penuh. Penonton datang dari berbagai kalangan usia, sebagian besar tampak antusias menanti pemutaran film bersama keluarga, teman, atau rekan kerja.

Pada 7 Agustus 2025, tiga film Indonesia dari berbagai genre dirilis serentak di bioskop. Film Lyora: Penantian Buah Hati menghadirkan kisah drama yang diangkat dari kisah nyata Meutya Hafid, Menteri Komunikasi dan Digital, dengan tema perjuangan membangun keluarga. Dari genre horor, Pamali: Tumbal melanjutkan seri waralaba yang diadaptasi dari game lokal populer. Sementara itu, Panggil Aku Ayah, adaptasi dari film Korea Pawn (2020), mengeksplorasi hubungan emosional antara ayah dan anak dalam konteks sosial masyarakat Indonesia.

Sebelumnya, pada 4 Agustus, film Tinggal Meninggal lebih dahulu tayang. Film ini merupakan komedi satir yang mengangkat isu kesepian dan kebutuhan akan perhatian, dibalut dengan humor dan kritik sosial yang relevan.

Bicara Box Office, sebuah situs yang kerap mengulas film bioskop mencatat bahwa jumlah penonton untuk film Indonesia tahun rilis 2025 telah mencapai 46,56 juta per 20 Juli 2025, setara dengan 66% dari total penonton—menandai lonjakan sebesar 99% dibanding tahun sebelumnya.

Puncaknya ketika salah satu film animasi Indonesia Jumbo memecahkan rekor box office di pasar Asia, membuat film yang disutradarai Ryan Adriandhy Halim menjadi film animasi Asia Tenggara terlaris dengan pendapatan melebihi USD 8 juta, atau sekitar Rp130 juta (nilai tukar Rp16.200).

Jumbo - sebuah film yang diangkat dari petualangan tokoh anak laki-laki yatim piatu bernama Don. Ia berbadan gemuk dan menjadi korban perundungan di sekolah.

Dalam film ini, Don memiliki buku cerita yang penuh dengan kisah-kisah magis — termasuk pertemuan dengan peri yang meminta tolong agar Don membantunya terhubung kembali dengan keluarganya.

Salah satu penonton film Jumbo, Iin Kurniawati, 45 tahun, mengatakan Jumbo menawarkan sesuatu yang berbeda kepada penonton baik dari segi kualitas gambar dan lagu-lagu soundtrack film yang enak didengar.

"Kualitas gambar bagus animasinya, tokohnya juga kuat, selain itu musiknya juga bagus," kata dia yang nonton bersama kedua anaknya bulan Mei lalu.

Menurutnya, film Jumbo memenuhi kebutuhan emosional penonton dengan menampilkan realita kehidupan seorang anak. "Film ini mengajarkan arti kesetiakawanan sama teman, kasih sayang keluarga yang gak putus, dan ngajarin anak lebih berani," kata dia ketika mengenang film Jumbo.

Selama berminggu-minggu setelah dirilis, Jumbo membuat bioskop-bioskop di seluruh Indonesia penuh sesak. Film ini — yang mulai diproduksi lima tahun lalu dan melibatkan 400 kreator lokal — melampaui rekor regional yang dibuat oleh Mechamato Movie dari Malaysia pada tahun 2022.

Dirilis pada akhir Maret, bertepatan dengan liburan anak sekolah jelang lebaran, Jumbo berhasil mencetak rekor sebagai sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa setelah mencatatkan lebih dari 10 juta penonton dalam 63 hari penayangannya di bioskop.

Film buatan Visinema Studios tersebut berhasil menggeser film KKN di Desa Penari (2022) dari posisi teratas sebagai film Indonesia terlaris, demikian menurut rilis dari Visinema akhir Mei 2025 lalu. 

Jumbo juga tercatat sebagai film animasi Asia Tenggara dengan jumlah penonton terbanyak.

Setelah sukses di pasar domestik, Jumbo direncanakan tayang di luar negeri mulai Juni 2025. Beberapa negara yang akan memutar film ini adalah Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Selain itu, film ini juga dijadwalkan tayang di beberapa negara Asia Tengah dan Eropa seperti Rusia, Belarus, Ukraina, Moldova, Armenia, Azerbaijan, Georgia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan, Estonia, Latvia, dan Lithuania.

Pelakon memainkan pertunjukan panggung musikal Petualangan Sherina di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (10/7/2025). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/bar

Tahun keemasan

Fenomena ini mendapat perhatian dari akademisi dan pengamat film. Dosen Program Studi Film Universitas Bina Nusantara (Binus), Ekky Imanjaya, menyebut tahun 2025 sebagai "tahun keemasan" perfilman Indonesia. "Tahun ini adalah sesuatu yang emas, terutama dari segi kuantitas," ujarnya kepada Suar, (27/7/2025).

Ekky mencontohkan kesuksesan film Agak Lain yang disusul oleh film animasi Jumbo dan film dengan kekuatan artistik seperti Sore: Istri dari Masa Depan. Menurutnya, keberhasilan ini menunjukkan tiga hal: meningkatnya kepercayaan penonton terhadap film lokal, keberhasilan produser menjawab selera pasar, serta terbukanya peluang bagi karya terobosan untuk sukses secara komersial.

"Film-film seperti Jumbo dan Sore adalah bukti bahwa pasar bisa menerima hal baru. Mereka tidak meniru siapa pun, tetapi seperti kata Efek Rumah Kaca, mereka 'menciptakan pasarnya sendiri'," paparnya.

Ekky juga menilai bahwa keragaman genre menjadi kekuatan utama industri saat ini. "Ada animasi, ada horor dengan pendekatan baru, ada drama sci-fi. Dengan begitu, penonton diberi kebebasan untuk memilih," jelasnya.

Meski begitu, ia mengingatkan agar sineas tidak terjebak pada pengulangan formula yang sama. Ia mencontohkan tren film horor atau tema perselingkuhan yang berpotensi menimbulkan kejenuhan jika tidak diolah dengan inovatif.

Visinema: Inovasi dan Transformasi

Di tengah gairah ini, salah satu rumah produksi yang aktif dalam mendorong kualitas dan diversifikasi konten adalah Visinema Pictures.

Angga Dwimas Sasongko, Chief Executive Officer (CEO) dan Founder Visinema Pictures, tampil berbeda lewat berbagai inovasi, sekaligus menegaskan bahwa idealisme dan mutu artistik bukan sekadar pelengkap, melainkan elemen utama dalam meraih kesuksesan.

“Saya percaya audiens Indonesia pintar dan punya demand terhadap konten berkualitas—dan kita harus menjawab kebutuhan itu. Sekarang membuat film yang bagus dan berdampak bukanlah bonus, tapi jadi strategi untuk bisa sukses,” jelasnya kepada SUAR (29/7/2025).
Angga Dwimas Sasongko, Chief Executive Officer (CEO) dan Founder Visinema Pictures, (Simber:Dok.Pribadi).

Bagi Angga Dwimas Sasongko, lahirnya Visinema bukanlah didasari oleh kalkulasi bisnis semata, melainkan dari pengalaman bersama yang transformatif saat menggarap film Cahaya dari Timur: Beta Maluku.

"Kami syuting dengan dana pas-pasan, tapi film itu bukan hanya menang Piala Citra, melainkan jadi milik orang-orang Maluku dan diputar di Istana Negara. Saat itu saya sadar, yang saya cari bukan penghargaan, tapi dampak," ungkap Angga.

Angga menepis anggapan bahwa idealisme dan pasar adalah dua kutub yang berlawanan. Baginya, keduanya dapat berjalan beriringan. Ia percaya bahwa penonton Indonesia kini cerdas dan memiliki permintaan tinggi terhadap konten berkualitas.

"Film seperti Mencuri Raden Saleh adalah contoh nyata. Saat kami putuskan membuat heist movie, belum ada data yang menyatakan genre ini akan sukses. Begitu pula dengan JUMBO, sebuah film animasi yang lahir dari intuisi kreatif dan empati. Kami tidak meniru tren, tapi berusaha menyelami apa yang sebenarnya dibutuhkan penonton. Saya percaya idealisme yang dikerjakan dengan jujur, disiplin, dan empati punya nilai jual," tegasnya.

Dalam mewujudkan visi, Angga menceritakan bahwa Visinema kini telah bertransformasi tidak hanya sebagai rumah produksi film, tetapi menjadi sebuah ekosistem kreatif yang lebih luas. Menurutnya, perubahan ini didorong oleh misi untuk menjadi "corong suara" dan membawa perubahan dalam industri hiburan.

Angga menjelaskan, perjalanan Visinema dimulai dengan visi tim yang kecil dan bahagia. Namun, setelah terlibat dalam membantu korban gempa bumi di Mentawai, ia dan Visinema menemukan misi baru untuk menyuarakan isu-isu penting melalui karya-karya mereka.

Saat ini, Visinema telah memasuki fase bagaimana mengubah industri hiburan. Ia mengungkapkan Visinema tidak hanya berfokus pada produksi film, melainkan membangun ekosistem yang lebih besar, seperti Bioskop Online—sebuah platform over-the-top (OTT) untuk konten lokal—dan Visinema Studios, divisi yang khusus memproduksi cerita untuk anak dan keluarga, termasuk film animasi Jumbo.

“Kami menyadari bahwa untuk bisa relevan di masa depan, perusahaan ini harus menjadi ekosistem. Bukan sekadar rumah produksi, tapi rumah pertumbuhan. Maka dari itu, kami membangun struktur, budaya, dan sistem yang memungkinkan ide lahir dari siapa saja—bukan hanya dari founder,” kata Angga.

Lebih lanjut, Angga mengungkapkan bahwa Visinema sedang dipersiapkan untuk bisa mandiri tanpa kehadirannya. Saat ini, perusahaan telah memiliki banyak produser, penulis, dan pemimpin kreatif yang mandiri. Angga menceritakan kerja sama tim tanpa sosok dirinya merupakan kebanggaan bagi dirinya.

“Saya bisa datang ke pertunjukan musikal Keluarga Cemara yang tidak saya tulis, tidak saya arahkan, dan tetap merasa bangga karena itu lebih baik dari apa pun yang saya bayangkan,” tuturnya.

Visinema tengah mempersiapkan film terbarunya, Perang Jawa. Film ini akan mengangkat narasi perjuangan Pangeran Diponegoro, yang Angga sebut sebagai salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah anti-kolonialisme di Asia Tenggara. Pihaknya berupaya mengangkat kisah Pangeran Diponegoro dalam sebuah film epik yang merepresentasikan semangat juang, keberanian, serta nilai spiritual dalam melawan sistem penjajahan.

Angga juga menyampaikan pesan untuk generasi muda yang ingin berkarya di dunia kreatif. Ia mengimbau agar tidak terburu-buru ingin menjadi besar, melainkan fokus pada keaslian diri. Menurutnya, karya terbaik justru lahir dari keberanian untuk gagal, keraguan yang jujur, dan kecintaan terhadap proses—bukan semata-mata demi kesempurnaan atau viralitas.

Dosen Program Studi Film Universitas Bina Nusantara (Binus), Ekky Imanjaya, (Sumber:Dok.Pribadi).

Di sisi lain, Ekky Imanjaya menekankan bahwa pertumbuhan industri film harus diimbangi dengan pembenahan infrastruktur dan regulasi. Ia menyoroti dua tantangan utama yang masih menghambat kemajuan ekosistem film nasional.

Pertama, absennya sistem box office terintegrasi. “Masalah terbesar industri saat ini adalah tidak adanya Integrated Box Office System (IBOS) yang transparan. Kita masih pakai data jumlah penonton, padahal standar global adalah pendapatan kotor,” tegasnya. Ia mengingatkan bahwa Undang-Undang Perfilman No. 33 Tahun 2009 mengamanatkan pelaporan dan publikasi data penonton—namun belum berjalan optimal.

Kedua, keterbatasan jumlah layar bioskop.

“Sepuluh juta penonton Agak Lain itu masih kecil dibanding populasi kita. Di Korea dan India, jumlah layar besar mendorong loyalitas penonton,” ujarnya.

Ia menambahkan, antrean film yang harus menunggu lama untuk tayang menjadi hambatan serius bagi produser dan perputaran produksi nasional.

Meski demikian, Ekky tetap optimis. Menurutnya, keberagaman genre, kepercayaan penonton, dan keberanian sineas untuk menciptakan pasar sendiri adalah sinyal kuat bahwa sinema Indonesia sedang bergerak ke arah yang lebih matang dan berkelanjutan.