Kepuasan Batin Ayu Merawat Koleksi Wastra Nusantara

Wastra Nusantara merupakan sebutan untuk semua jenis kain tradisional asli Indonesia. Namun, lebih dari sekadar sehelai kain, wastra Nusantara merupakan bahasa budaya yang ditenun dengan benang-benang tradisi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Kepuasan Batin Ayu Merawat Koleksi Wastra Nusantara
Perajin memperlihatkan koleksi batik miliknya saat peringatan Hari Batik Nasional di Pendopo Arya Wiraraja, Lumajang, Jawa Timur, Kamis (2/10/2025). 
Daftar Isi

Betapa kaya warisan wastra Nusantara. Setiap daerah dari ujung di Sumatra hingga lekuk pegunungan di Papua punya wastra dengan corak, warna, dan makna simbolik yang berbeda-beda.

Masing-masing daerah memiliki kisah yang digambarkan dalam sehelai kain. Ada yang lahir dari tenunan tangan, ada pula yang dibuat dengan proses membatik, hingga menghasilkan kain songket, ikat, ataupun sulam.

Namun wastra Nusantara bukan sekadar jenis kain tradisional asli Indonesia. Lebih dari itu, wastra Nusantara merupakan bahasa budaya yang ditenun dengan benang-benang tradisi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagai cerminan falsafah kehidupan masyarakat setempat, di balik setiap motif, tersimpan kisah tentang alam, doa, hingga harapan akan kehidupan yang harmonis.

Beberapa waktu lalu SUAR menjumpai salah seorang kolektor wastra Nusantara, Ayu Kartika Indarti. Bagi Founder Sarasvati Indonesia Foundation, sebuah lembaga yang menyediakan beasiswa anak di Indonesia Timur ini, wastra Nusantara bukan hanya produk sandang, melainkan identitas bangsa, sebuah warisan luhur yang menjembatani masa lalu dengan masa kini.

Sebetulnya, Ayu punya banyak kegiatan dan hobi di akhir pekan atau libur panjang. "Nonton film genre action, fiksi ilmiah, fantasi, dan dokumenter. Melukis naturalis, menyayang-nyayang koleksi wastra Nusantara, kuliner, keluyuran,” ucap Ayu.

Ayu Kartika Indarti (kanan) (Foto: Dok Pribadi)

Hobi mengoleksi wastra Nusantara ini dimulai Ayu sejak beberapa tahun terakhir, lebih tepatnya ketika masa pandemi Covid-19. 

Kala itu Ayu merasakan, di berbagai pelosok Indonesia, kehidupan para penenun kain tradisional tengah diuji. Dari balik alat tenun sederhana, mereka tetap setia merangkai benang menjadi motif-motif yang diwariskan turun-temurun. Namun, keindahan kain yang lahir dari kerja keras itu tak sebanding dengan kenyataan yang harus mereka hadapi.

Pandemi Covid-19 meninggalkan jejak yang berat bagi para penenun wastra Nusantara. Saat pasar sepi, wisatawan tak lagi datang. Pameran kerajinan pun sempat berhenti total, membuat hasil tenunan yang biasanya menjadi sumber penghidupan justru menumpuk tak terbeli.

“Banyak sekali nama penenun dari daerah DM (direct message) saya, menceritakan bagaimana kondisi hidup mereka sehari-hari dan keluarganya,” jelasnya.

Koleksi Ayu Kartika Sarasvati dalam salah satu sudut di rumahnya (Foto: Dokumen Pribadi)

Terbilang banyak perajin wastra Nusantara yang mengungkapkan keluh kesah yang hampir serupa. Mereka bercerita tentang kain tenun yang lama tak laku, hingga pendapatan yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

“Paling sering mereka menyampaikan alasan tentang anak mereka yang tidak bisa bersekolah karena tidak ada biaya, karena tenunan mereka menumpuk dan tidak laku,” lanjut Ayu.

Berangkat dari kondisi tersebut, Ayu mulai membeli wastra Nusantara dengan harapan mengurangi beban yang harus ditanggung oleh para pengrajin. Kebiasaan itu tumbuh perlahan nyaris tanpa disadari di hari-hari berikutnya, hingga membuat Ayu menjadi seorang kolektor.

Wastra Nusantara yang ia kumpulkan bukan sekadar benda mati, melainkan potongan waktu, kisah, dan jejak.

“Maka mulailah melakukan koleksi kecil-kecilan dengan harapan membantu anak-anak pedalaman tetap bersekolah dan juga men-support para penenun cilik yang semakin langka di pelosok,” ujarnya.

Hal yang pada awalnya hanya merupakan kebiasaan ringan, kini, berubah menjadi sebuah hobi yang membawakan kepuasan batin. Kebiasaan itu ternyata menimbulkan rasa nyaman, puas, tenang, bahkan timbul semacam keterikatan. Tak tanggung-tanggung, Ayu kini telah mengoleksi sekitar 230 kain tenun dari berbagai daerah di Indonesia.

Bahkan, ia memiliki kain tradisional dari Kalimantan atau suku Dayak Iban yang usianya kini 101 tahun. Rata-rata, usia kain batik yang ia koleksi pun usianya lebih dari 20 tahun. Semua kain yang ia koleksi dirawat sedemikian rupa agar terjaga dan dapat diwariskan ke generasi-generasi berikutnya.

Salah satu kain tenun yang spesial untuk Ayu, panjangnya bahkan mencapai hingga 7 meter, dengan memiliki 7 motif yang berbeda, masing-masing melambangkan lambang suku.  Kain itu biasanya dibentangkan di tengah upacara adat penyambutan tamu, perkawinan, kelahiran, dan bahkan kematian. Namun untuk mendapatkan kain tersebut tidaklah mudah.

"Untuk mendapatkan ini dari penenun langsung butuh waktu 2 bulan karena sinyal komunikasi di pegunungan sana. Seminggu sekali saat penenun sempat turun gunung baru kami bisa saling kontak," ucapnya.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan budaya. Berbagai upaya pun dilakukan untuk menyelamatkan kain tenun sebagai tradisi dan budaya Indonesia.

Salah satu yang bisa dilakukan, kata Ayu adalah dengan cara membeli dan mengenakan wastra tersebut untuk mendukung perekonomian mereka, serta mengapresiasi dan melestarikan budaya lokal agar tidak tergerus zaman.

Selain itu, koleksi wastra bisa juga dirancang untuk memberikan edukasi, pelatihan, dan pemberdayaan kepada masyarakat pedalaman agar mereka dapat mengembangkan produknya sendiri secara berkelanjutan

"Tenun harus disayang-sayang dan dirawat karena bisa 'ngambek'," katanya.

Ayu kini meninggalkan pakaian modern. Bukan karena tak mampu, melainkan karena ia percaya ada sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar mengikuti tren. Bagi Ayu, mengenakan kain tenun adalah bentuk penghormatan. Tak jarang orang-orang menatapnya dengan rasa heran.

"Sejak saya jatuh cinta pada wastra pun saya meninggalkan baju-baju modern dan setiap hari hadir dengan wastra atau tenun handmade busana. Nguri-uri budoyo dan kreativitas tangan," tambahnya.

Melukis

Di sela-sela tumpukan kain yang ia koleksi, ada sudut di rumahnya yang dipenuhi dengan aroma cat minyak dan kanvas putih. Bagi orang lain, ia dikenal sebagai kolektor wastra Nusantara. Tetapi di balik itu, Ayu juga memelihara hobi lain yang tak kalah menghidupkan hari-harinya, salah satunya adalah melukis.

Baginya, melukis bukan hanya sekadar menciptakan gambar, melainkan ruang untuk menenangkan pikiran. Saat kuas menyentuh kanvas, segala penat hilang berganti dengan rasa damai yang sukar untuk dijelaskan.

"Melukis, mencurahkan rasa dalam warna dan imajinasi bentuk dan recreating. Kreativitas seliar-liarnya dalam rasa, imajinasi, dan kebebasan untuk membentuk sebuah citra baru yang genuine," jelas Ayu.

Melukis juga merupakan sebuah perjalanan batin, sebuah tempat di mana Ayu bisa belajar tentang kehidupan itu sendiri. Dari setiap goresan kuas, ada kesabaran dan rasa syukur yang terlatih.

"Nilai umumnya adalah ketekunan, kreativitas, ketulusan, keterbukaan dengan sesuatu yang berbeda, berpikir sederhana, kadang no mind stage atau pikiran tidak menilai," ujarnya.

Selain mengoleksi kain dan melukis, ia juga memiliki kegemaran lain yaitu memasak dan traveling. Di dapurnya, memasak merupakan sebuah petualangan kecil yang dilakukan dengan bereksperimen menggunakan bumbu dan resep baru demi menghadirkan cita rasa yang berbeda di setiap hidangan.

Memasak menjadi cara lain untuk mengekspresikan diri, sama halnya seperti melukis di atas kanvas.

"Saya suka masak tetapi tidak suka makan. Kuliner sarana saya untuk mengenang masa kecil terutama ketika pulang ke Yogyakarta dan Solo, sekalian kulakan inspirasi ide masakan daerah. Memanjakan lidah adalah cara berterima kasih karena telah membantu berbicara baik selama ini," ungkap Ayu.