Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA) dan kebijakan tarif baru dari Presiden Trump akan mendorong ekspor Indonesia menjadi lebih terdiversifikasi. Ekspor ke Uni Eropa berpeluang meningkat, sementara pasar ekspor ke AS belum tentu terkontraksi.
Namun, hubungan perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) menunjukkan dinamika yang berbeda. Hal ini akan memengaruhi strategi diversifikasi ekspor komoditas Indonesia pasca-berlakunya kedua kebijakan di tahun ini.
Amerika Serikat merupakan pasar ekspor komoditas dan produk Indonesia terbesar kedua setelah Tiongkok. Perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat pada tahun 2024 mencapai sekitar US$ 42,9 miliar. Dengan nilai ekspor komoditas Indonesia ke AS sebesar US$ 26,3 miliar, surplus perdagangan barang bagi Indonesia tercatat US$ 16,8 miliar.
Ekspor utama Indonesia ke AS meliputi peralatan listrik dan elektronik, pakaian, minyak dan lemak hewani/nabati, serta alas kaki.
Sementara itu, Uni Eropa adalah region yang masuk dalam lima besar mitra dagang Indonesia, dengan total ekspor US$ 17,1 miliar pada tahun 2024. Indonesia mencatat surplus perdagangan nonmigas yang meningkat dengan UE, mencapai US$ 4,5 miliar pada tahun 2024.
Ekspor utama Indonesia ke UE pada tahun 2024 antara lain minyak nabati dan hewani (terutama minyak sawit), alas kaki, dan elektronik.
Perjanjian IEU-CEPA yang diharapkan selesai pada September 2025 akan menghapus tarif ekspor Indonesia ke UE dan mendorong sebagian besar komoditas bebas tarif pada tahun 2027. Termasuk akses bebas bea untuk minyak sawit mentah.
Potensi diversifikasi komoditas ekspor Indonesia dari AS ke Eropa sangat dimungkinkan, terutama karena perbedaan kebijakan tarif dan regulasi. Di saat AS memberlakukan tarif 19% pada banyak komoditas Indonesia, IEU-CEPA justru menawarkan penghapusan tarif – yang menjadikan pasar UE lebih menarik dari segi biaya.
Di sisi lain, pasar Eropa memiliki permintaan yang kuat dan terus meningkat untuk produk-produk berkelanjutan, didorong oleh regulasi seperti Peraturan Deforestasi UE (EUDR) yang mewajibkan produk bebas deforestasi dan pemantauan yang ketat untuk komoditas seperti minyak sawit, kopi, kakao, dan karet. Meskipun kepatuhan terhadap standar UE ini menimbulkan tantangan, hal ini juga menciptakan peluang bagi Indonesia untuk mengakses pasar premium yang menghargai keberlanjutan.