Disparitas Inflasi Antardaerah dan Tantangan Ekonomi

Tingkat inflasi nasional per Oktober 2025 tercatat 2,86%. Meski masih dalam koridor target pemerintah, tren inflasi mulai menunjukkan peningkatan. Wilayah luar Jawa mencatatkan angka inflasi yang fluktuatif.

Disparitas Inflasi Antardaerah dan Tantangan Ekonomi

Tingkat inflasi di Sumatera Utara (Sumut) pada Oktober 2025 mencapai 4,97% (y-on-y) tercatat sebagai yang tertinggi dibandingkan provinsi lain. Sumut tercatat sebagai provinsi dengan inflasi tertinggi selama tiga bulan berturut-turut. Sementara Papua tercatat sebagai provinsi dengan tingkat inflasi terendah yaitu 0,53%.

Sumut menjadi provinsi dengan inflasi tertinggi tidak hanya terjadi di bulan Oktober. Di bulan Agustus dan September 2025 Sumut juga mencatatkan inflasi tertinggi dengan angka masing-masing 4,42% dan 5,32%.

Sebaliknya, Provinsi Papua mencatatkan inflasi tahunan hanya 0,53% pada Oktober 2025. Meski tidak selalu menjadi provinsi dengan inflasi terendah, Papua masuk dalam kelompok lima provinsi dengan inflasi yang rendah.

Tingginya inflasi di Sumut 4,97% (y-on-y) didorong oleh tekanan permintaan dan dorongan biaya yang kuat. BPS melaporkan faktor utama pendorong inflasi di Sumut (Oktober 2025) yaitu kenaikan tajam pada kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau (9,58%). Hal ini mencerminkan adanya pergerakan volatile food akibat ketidakseimbangan pasokan, besarnya permintaan domestik, dan masalah distribusi. Selain itu, inflasi juga didorong oleh kenaikan signifikan pada kelompok Perawatan Pribadi dan Jasa Lainnya (13,03%) serta Kesehatan (4,06%).

Sementara itu, rendahnya inflasi di Papua (0,53% Y-on-Y) disebabkan oleh gabungan intervensi harga, ketersediaan, dan penurunan harga di beberapa kelompok strategis. Secara bulanan, Papua mencatat deflasi M-to-M -0,24% dan bahkan deflasi year-to-date (YTD) -0,92% hingga Oktober 2025. Penurunan harga ini dipicu oleh kelompok pengeluaran penting seperti Transportasi (-4,16%) dan Pakaian dan Alas Kaki (-1,12%). 

Meskipun ada kenaikan indeks pada kelompok Perawatan Pribadi dan Jasa Lainnya (7,23%) dan Makanan, Minuman, dan Tembakau (1,22%), besarnya penurunan di kelompok transportasi, yang sering dipengaruhi oleh subsidi atau kebijakan harga yang diatur (administered prices) di wilayah kepulauan, berhasil meredam laju inflasi secara keseluruhan, menempatkan IHK Papua di level terendah nasional (104,69).

Perbandingan kedua provinsi ini memperlihatkan adanya dua tantangan ekonomi yang berbeda. Sumatera Utara, dengan ekonomi yang bertumpu pada sektor perdagangan dan dengan kepadatan penduduk tinggi sensitif terhadap gejolak pangan dan biaya logistik. Kenaikan harga merupakan salah satu indikator tekanan permintaan dan biaya. Angka inflasi yang tinggi secara terus-menerus akan memengaruhi daya beli dan konsumsi masyarakat. Hal ini pada akhirnya akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Sebaliknya, inflasi yang rendah di wilayah Papua merupakan hasil dari intervensi pemerintah yang masif terhadap harga untuk tujuan stabilisasi, di mana penurunan harga angkutan sangat signifikan dalam menahan indeks. Sementara inflasi yang rendah di Papua berisiko jika intervensi tidak berkelanjutan alias tanpa subsidi atau mengindikasikan rendahnya multiplier effect dari pembangunan.

Tantangan bagi otoritas yaitu menjaga keseimbangan. Bagi Sumatera Utara, fokus kebijakan harus mengatasi penyebab struktural inflasi inti dan harga pangan. Kenaikan harga kelompok jasa dan pangan menunjukkan perlunya peningkatan kapasitas produksi pangan lokal dan efisiensi rantai pasok. Sedangkan Papua, tantangan berada pada memastikan bahwa stabilitas harga ini tidak menghambat pertumbuhan sektor riil dan investasi swasta. Pemerintah harus memastikan bahwa deflasi M-to-M yang terjadi di Papua tidak berlanjut menjadi deflasi yang berkepanjangan yang justru menghambat investasi dan aktivitas produksi.

Bagi Sumatera Utara perlu memperhatikan penguatan rantai pasok melalui Kerja Sama Antar Daerah (KAD) untuk mengimpor pangan dari daerah surplus dan investasi modernisasi pasar untuk mengurangi markup harga distribusi. Sektor transportasi perlu diawasi agar deflasi M-to-M di Sumut (yang masih minus) dapat berlanjut. 

Sementara itu, untuk Provinsi Papua, fokus kebijakan harus diarahkan pada stimulus produksi pangan lokal melalui program ketahanan pangan dan penguatan BUMD untuk mengurangi ketergantungan pasokan dari luar pulau. Intervensi harga di sektor transportasi dan energi tetap dilakukan secara selektif, sambil mendorong diversifikasi ekonomi agar stabilitas harga tercipta dari efisiensi bukan hanya subsidi.