Harga beras yang semakin tinggi di tengah maraknya isu pengoplosan beras membuat pedangang dan pengusaha diliputi keresahan.
Hal ini dikarenakan upaya pemerintah untuk menggencarkan penegakan hukum tata niaga beras dari oplosan ke penimbunan dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahpahaman antara beras stok yang ditimbun dan stok yang berjalan.
Ketua Umum Perkumpulan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan, sejumlah pengusaha padi kini mengalami kesulitan dan memutuskan menghentikan penggilingan padi.
"Kekhawatiran akan pemeriksaan beras oplosan juga menambah keraguan para pengusaha (untuk beroperasi) karena berisiko dipersoalkan di tengah situasi harga produksi tidak seimbang dengan harga jual," kata Sutarto kepada SUAR di Jakarta, Rabu (14/8).
Harga beras di Indonesia terpantau terus merangkak naik, mencapai level tertinggi dalam sejarah.
Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga beras premium kini menembus angka Rp 15.622 per kilogram, sementara beras medium mencapai Rp 13.860 per kilogram.
Harga tersebut telah melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 14.900 per kilogram untuk beras premium dan Rp 12.500 per kilogram untuk beras medium.
Sutarto menjelaskan, tidak beroperasinya sebagian penggilingan padi di Indonesia sangat kompleks dan tidak disebabkan oleh satu faktor tunggal.
Beberapa faktor penyebabnya antara lain ketidakseimbangan antara kapasitas produksi dan ketersediaan bahan baku, hingga kekhawatiran para pengusaha terkait regulasi dan persaingan pasar.
“Sebenarnya kalau penggilingan padi tidak beroperasi, itu sebenarnya sebabnya bukan hanya satu sebab. Salah satunya karena jumlah penggilingan padi di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 169.000 unit, sementara ketersediaan gabah jauh di bawah kapasitas terpasang," katanya.
Ia menambahkan bahwa gabah yang tersedia hanya sekitar 54 juta ton gabah kering giling (GKG), atau jauh di bawah kapasitas produksi penggilingan yang tersedia, yaitu lebih dari 200 juta ton.
Menurutnya, kondisi tersebut secara alami memicu faktor lain, yakni, adanya persaingan ketat sehingga menyebabkan beberapa penggilingan padi tidak dapat beroperasi secara optimal.
"Dengan situasi segitu, pasti akan terjadi persaingan. Persaingan itu akan terjadi pada suatu saat, pasti ada yang tidak beroperasi," katanya.
Sutarto juga menguraikan masalah lain timbul akibat kebijakan harga. Ia menjelaskan bahwa kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah menjadi Rp 6.500 per kilogram tidak diimbangi dengan kenaikan harga eceran tertinggi (HET) beras. Hal ini menciptakan dilema bagi para pengusaha, terutama yang berskala kecil.
"Tapi harga eceran tertinggi (HET)-nya kan tidak ikut naik. Ini dilema bagi para pengusaha, terutama yang kecil-kecil ini, pasti tidak mampu memproduksi dengan harga di atas Rp 6.500," ungkapnya.
Tinjau ulang HET
Sutarto menawarkan sejumlah solusi yang bisa diambil oleh pemerintah dan pelaku usaha.
Pertama, pemerintah perlu segera meninjau ulang HET. Kedua, ia meminta pemerintah untuk tidak menambah tekanan pasar dengan membeli gabah atau beras saat produksi sedang rendah, seperti pada bulan Juni, Juli, dan Agustus.
Dari sisi pengusaha, ia mengingatkan agar tidak melakukan kecurangan. Menurutnya, satu kecurangan dapat berdampak buruk bagi seluruh ekosistem penggilingan padi.
"Kalau satu (pengusaha) melakukan kecurangan, itu akan berpengaruh terhadap penggilingan padi yang lain, kemudian terjadilah persoalan. Jadi yang terkena imbas itu bukan hanya konsumen, tapi juga berimbas kepada penggilingan padi yang lain," tegasnya.
Untuk solusi jangka panjang, Ia menekankan pentingnya kolaborasi dan sinergi. Ia mengusulkan agar penggilingan padi menjalin kerja sama dengan petani lokal.
"Sudah waktunya penggilingan padi itu membuat satu perencanaan yang baik, yaitu harus bekerjasama dengan petani. Dengan demikian, gabah bisa langsung dijual dari petani ke penggilingan padi setempat, tanpa melalui perantara, yang akan menciptakan efisiensi," katanya.
Sutarto juga menekankan pentingnya kerjasama antara penggilingan padi kecil dengan yang berkapasitas menengah dan besar. Ia menegaskan bahwa penggilingan padi kecil tidak boleh dimatikan. Sebaliknya, mereka harus diselaraskan dengan yang menengah dan besar.
"Pada saat panen besar, penggilingan padi kecil bisa memproduksi beras pecah kulit atau beras yang mutunya masih di bawah standar, lalu menyuplainya ke penggilingan padi menengah dan besar," jelasnya.
Dengan demikian, penggilingan padi menengah dan besar akan berperan untuk pengolahan akhir dan distribusi ke antar-pulau atau antar-daerah. Kerja sama ini menciptakan pembagian keuntungan yang adil menurut Sutarto.
"Jadi, nanti harapan kita gabah itu tidak perlu bergerak antar wilayah. Cukup dikeringkan, diolah di tempat, masuk ke penggilingan padi kecil, baru nanti masuk lagi ke penggilingan padi besar untuk didistribusikan ke daerah lain," jelasnya.
Dengan adanya inisiatif ini, ia berharap gabah tidak perlu lagi berpindah antar wilayah, sehingga dapat menciptakan ekosistem industri beras yang lebih nyaman dan stabil bagi semua pihak. Mulai dari petani, penggilingan, distributor, hingga konsumen.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas, juga menyoroti tekanan yang dihadapi para pengusaha penggilingan padi akibat intervensi pemerintah terhadap harga gabah.
Menurut dia, kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) tidak sebanding dengan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan.
"Justru di sisi persoalan besarnya, harga gabah dinaikkan dari Rp 6.000 ke Rp 6.500. Tapi tidak diikuti oleh kenaikan HET, sudah barang tentu itu amat sangat membebani penggilingan. Karena untuk gabah Rp 6.500 saja, itu biaya produksi per kilogram beras medium sudah Rp 13.808," katanya kepada SUAR (14/8/2025).
Dwi Andreas mengusulkan solusi konkret untuk mengatasi masalah ini, yaitu dengan menaikkan HET beras. Namun, ia menyarankan agar HET hanya diberlakukan untuk beras medium yang dikonsumsi oleh masyarakat luas. Sementara itu, untuk beras premium, ia menyarankan agar harganya diserahkan pada mekanisme pasar.
"Jika pemerintah ingin melindungi konsumen, pengaturan HET cukup beras medium saja sudah selesai, karena konsumen beras premium adalah kelompok spesifik dan jumlahnya tidak terlalu besar. Sehingga, mekanisme pasar akan berjalan dengan sendirinya dan justru membaik tanpa intervensi,” ungkapnya

Tidak perlu khawatir
Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, memastikan bahwa pemerintah telah mengambil langkah-langkah konkret untuk menjaga stabilitas dan para pengusaha penggilingan padi dan beras tidak perlu khawatir selama mereka mematuhi aturan yang berlaku.
"Tidak usah khawatir mengenai kegiatan dalam usaha beras sepanjang mereka (pengusaha) semua ikut aturan. Jika beras premium, maka kandungan broken-nya tidak boleh melebihi 15%. Selain itu, berat kemasan harus sesuai dengan yang tertera," ujarnya kepada SUAR (14/8/2025).
Kepala Bapanas tersebut juga menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mentolerir praktik kecurangan, seperti menipu konsumen dengan menjual beras medium dalam kemasan premium. "Kalau pengusaha yang melakukan tindak kecurangan, ya, itu kan harus kita tegakkan, kita luruskan," ujarnya.
Ia mengimbau para pedagang untuk tidak menarik beras dari rak, melainkan menyesuaikan harga dengan mutu beras yang ada di dalamnya, sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen.
Sebelumnya, pemerintah berencana merevisi kebijakan kualitas hingga harga eceran tertinggi (HET) beras. Revisi ini akan menghapus ketentuan dua kualitas beras premium dan medium, sehingga menjadi satu standar dan satu HET.
Namun, Dwi Andreas menolak usulan penghapusan klasifikasi beras medium dan premium. Menurutnya, kebijakan tersebut adalah sebuah kesalahan besar karena mengingkari pengembangan teknologi yang ada di industri beras.
"Karena itu mengingkari pengembangan teknologi yang sekarang ada. Jika klasifikasi beras dihapus, akan menghambat upaya produsen meningkatkan kualitas beras dan mengurangi loss atau kerusakan," jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa teknologi seperti color sorter berperan penting dalam memisahkan beras berdasarkan warna dan ukuran, sehingga menghasilkan beras berkualitas tinggi dengan umur simpan yang lebih lama.
Sebagai penutup, Dwi Andreas menegaskan bahwa pemerintah harus memilih, apakah akan melindungi petani dengan menaikkan harga gabah, atau melindungi konsumen dengan menjaga harga beras tetap rendah.