Deregulasi yang Ditunggu Pengusaha (4)

Pemerintah perlu melakukan berbagai deregulasi aturan demi merangsang kinerja sektor bisnis. Aturan yang membebani seharusnya diganti. 

Deregulasi yang Ditunggu Pengusaha (4)
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua kanan) didampingi sejumlah menteri menjelaskan Paket Deregulasi Kebijakan Perdagangan dan Kemudahan Berusaha di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (30/6/2025).
Daftar Isi

“Industri otomotif itu kompleks,” kata Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara. Ia menjelaskan, di dalam satu unit mobil terdiri dari sekitar 30.000 komponen, dan ribuan pabrikan yang membuatnya di Indonesia. Sektor otomotif adalah industri padat modal dan padat tenaga kerja.

Maka, ketika kondisi ekonomi sedang tertekan, daya beli masyarakat melemah, akibatnya penjualan mobil turun, dampaknya bisa ke mana-mana. Yang mengejutkan, tahun lalu Indonesia hanya menjual 865.000-an unit mobil, sementara Malaysia mencapai 816.000-an unit. 

Padahal penduduk Indonesia 280 juta jiwa, empat kali lipat Malaysia yang hanya 34 juta. Penjualan mobil di Malaysia bisa melesat karena pemerintahnya memberi insentif terhadap industri otomotif sejak pandemi. Sementara di Indonesia, insentif hanya berjalan dua tahun, 2021–2023. "Itu yang membuat kita makin berat bersaing,” kata Kukuh. 

Pemerintah memang pernah memberikan insentif bagi industri otomotif. Seperti program relaksasi Pajak Penjualan Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM-DTP) kendaraan bermotor yang diluncurkan oleh pemerintah pada Maret 2021, dan ini efektif mendongkrak utilisasi industri otomotif nasional di tengah penurunan drastis selama pandemi Covid-19.

“Setelah insentif dijalankan, penjualannya langsung naik, dan naiknya tidak tanggung-tanggung. Terbukti bahwa dengan PPnBM waktu itu dihapus untuk sementara waktu penjualannya langsung meningkat," kata Kukuh.

Menurut Kukuh, stimulus ini bertujuan agar pabrik-pabrik ini jalan, termasuk pabrik komponennya. "Dan, kita sudah buktikan bahwa penerimaan pemerintahnya jadi melonjak naik. Saya harap pemerintah bisa memikirkan hal itu,” kata Kukuh.

Pengunjung memadati ruang pamer kendaraan pada hari terakhir pameran otomotif GIIAS 2025 di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD, Serpong, Kabupaten Tangerang, Banten, Minggu (3/8/2025). (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal)

Hanya dua tahun bertahan, insentif itu kemudian sudah dihapuskan. Di tengah ketidakstabilan kondisi ekonomi dunia, industri otomotif harus berjuang sendiri. Namun, perjuangan itu pada akhirnya memang belum bisa mendorong kembali gairah industri ini.

Pabrik otomotif di Tanah Air tercatat telah melakukan PHK sekitar 7.000 orang karena penjualan tidak meningkat. Padahal industri ini menyerap 1,5 juta tenaga kerja. Jika volume penjualan terus menurun, industri akan terganggu, lapangan kerja berkurang, dan kontribusi ke pertumbuhan ekonomi pun melemah.

Masalah utamanya memang daya beli. Biasanya penjualan mobil bisa di atas 1 juta unit per tahun, tapi sekarang stagnan di 865.000.

Masalah utamanya memang daya beli. Biasanya penjualan mobil bisa di atas 1 juta unit per tahun, tapi sekarang stagnan di 865.000. Kelas menengah, ada sekitar 10 juta orang, daya belinya hanya naik 3 persen, sementara harga mobil baru naik 7,5 persen.

a group of cars parked in a parking lot
Ilustrasi bursa mobil bekas Photo by Shane Ryan Herilalaina / Unsplash

Akibatnya, konsumen beralih ke mobil bekas. Pasar mobil bekas kini mencapai lebih dari 2 juta unit, yang artinya industri mobil baru tidak berkembang dan serapan tenaga kerja berkurang.

“Karena itu, jangka pendek kita masih butuh insentif. Dalam jangka panjang, perlu restrukturisasi pajak,” kata Kukuh.

Mobil-mobil seperti Avanza atau Xenia sudah menjadi kebutuhan mobilitas sehari-hari, bahkan dipakai untuk layanan transportasi daring. Sehingga, kendaraan jenis ini seharusnya tidak lagi digolongkan barang mewah yang dikenai PPnBM. 

Saat ini, Avanza diproduksi di Indonesia, tapi pajak tahunannya mencapai Rp5 juta. Sedangkan di Malaysia hanya sekitar Rp 500.000, dan di Thailand lebih murah lagi, sekitar Rp 150.000. “Perbedaan ini jelas memberatkan konsumen kita,” ujar Kukuh.

Selain itu, hambatan juga datang dari bahan baku. Misalnya, Indonesia punya pabrik baja dan pabrik pengolahan karet, tapi kualitas dan harga produknya belum memenuhi standar industri otomotif. Sehingga, tetap harus impor. Padahal jika bisa disuplai dari dalam negeri, industrinya akan lebih kuat.

Pabrik perakitan mobil di Boyolali, Jawa Tengah. (https://esemkaindonesia.co.id)

Ada juga persoalan kepastian hukum. Aturan yang sering berubah-ubah mengganggu ritme industri. “Industri otomotif menggunakan sistem just in time. Jadi, kalau ada satu komponen saja yang tersendat, produksi bisa berhenti dan biayanya mahal untuk memulai lagi. Itu yang sering tidak dipahami pembuat kebijakan,” tegasnya.

Intinya, jika orang bisa didorong untuk membeli mobil baru – bukan sekadar mobil bekas – industrinya akan tumbuh. Dengan populasi besar, Indonesia berpotensi memproduksi 3 juta unit per tahun. “Itu akan menarik investor,” ujar Kukuh. Tapi semua kembali pada dukungan kebijakan, insentif, kualitas bahan baku, dan kepastian hukum.

Ubah aturan demi keseimbangan

Akhir Juni 2025 lalu, pemerintah mulai melakukan perubahan aturan yang tujuannya untuk memberikan kemudahan berusaha kepada pebisnis di Indonesia. Salah satunya adalah terkait penyederhanaan aturan impor.

Dengan adanya Deregulasi Kebijakan Impor dan Kemudahan Berusaha ini, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencabut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 jo Nomor 8 Tahun 2024, dan menggantinya dengan Permendag Nomor 16 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Selain itu, Kemendag juga menerbitkan permendag baru yang terdiri dari delapan klaster komoditas untuk memudahkan perubahan, karena permendag bersifat dinamis.

Delapan klaster permendag tersebut, sesuai dengan klaster komoditas, yaitu Permendag Nomor 17 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Tekstil dan Produk Tekstil; Permendag Nomor 18 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Pertanian dan Peternakan; Permendag Nomor 19 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Garam dan Komoditas Perikanan. 

Pabrik Tekstil (Apindo.or.id)

Kemudian Permendag Nomor 20 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Bahan Kimia, Bahan Berbahaya, dan Bahan Tambang. Selanjutnya, Permendag Nomor 21 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Elektronik dan Telematika; Permendag Nomor 22 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Industri Tertentu. 

Lalu, ada Permendag Nomor 23 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Konsumsi; serta Permendag Nomor 24 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Dalam Keadaan Tidak Baru dan Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun.

Saat ini, kesembilan permendag tersebut dalam tahap pengundangan dan akan berlaku efektif 60 hari setelah diundangkan. Pemerintah berkomitmen untuk terus memantau dan mengevaluasi dampak dari kebijakan tersebut guna memastikan kebermanfaatan bagi dunia usaha dan masyarakat luas.

Pembentukan Satgas Deregulasi TKDN

Pemerintah saat ini juga sedang melakukan pembahasan terkait deregulasi mengenai kewajiban tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Pemerintah juga sudah membentuk Satgas Deregulasi khusus TKDN ini dan membahas perubahan format menjadi berbasis inovasi dan insentif, bukan hanya kewajiban persentase komponen dalam negeri, sebagai bagian dari paket kebijakan ekonomi untuk meningkatkan fleksibilitas dan daya saing industri. 

Deregulasi ini bertujuan memudahkan pelaku usaha mengurus sertifikat TKDN, mempercepat proses, dan membuatnya lebih murah, serta sebagai respons terhadap kebutuhan relaksasi TKDN dalam negosiasi dengan Amerika Serikat.

Presiden Prabowo Subianto menerima Dewan Ekonomi Nasional (DEN) di Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis, 5 Desember 2024. Foto: BPMI Setpres/Rusman.

Kebijakan ini juga sebagai bagian dari strategi negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) yang mengenakan tarif resiprokal dan meminta pembebasan TKDN untuk produk AS

Pemerintah mengakui bahwa aturan TKDN yang kaku kurang fleksibel dan dapat menghambat investasi perusahaan teknologi global yang tidak siap dengan aturan tersebut. 

Dari sisi pebinis, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyatakan, pihaknya mendorong adanya aturan yang bisa menekankan keseimbangan. Karena tidak semua industri siap memenuhi target TKDN yang tinggi, karena kondisi tiap sektor berbeda. Ada yang sudah siap, ada yang belum. 

Karena itu, pemerintah perlu membuat roadmap agar penerapan TKDN tidak justru menyulitkan pelaku usaha, terutama yang masih bergantung pada bahan baku impor. “Kami mendukung adanya insentif bagi perusahaan yang bisa memanfaatkan TKDN secara maksimal, bukan hanya sanksi,” katanya. 

Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menegaskan, dari perspektif pelaku usaha, deregulasi seharusnya membawa semangat penyederhanaan aturan yang selama ini membebani. Jika aturan terlalu banyak, otomatis menambah ongkos usaha. 

Dari perspektif pelaku usaha, deregulasi seharusnya membawa semangat penyederhanaan aturan yang selama ini membebani. Jika aturan terlalu banyak, otomatis menambah ongkos usaha. 

Padahal, semua sektor, baik energi, perhubungan, perikanan, perkebunan, maupun perhotelan, tentu berharap biaya operasionalnya bisa ditekan. “Karena itu, deregulasi dibutuhkan agar biaya operasional bisa turun,” ujarnya. 

Dalam konteks energi, ia menambahkan, khususnya batubara yang sampai sekarang kontribusinya hampir 70% terhadap kelistrikan nasional, deregulasi akan sangat membantu. Jika biaya operasional perusahaan batubara dapat ditekan, profit bisa dimaksimalkan. 

Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (25/8/2025). (ANTARA FOTO/Aditya Nugroho)

Dan damnpaknya, para pengusaha sektor ini juga bisa bayar pajak lebih besar, melakukan ekspansi investasi, membeli peralatan, dan membuka lapangan kerja baru. “Jadi, deregulasi ujungnya berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi,” tegasnya.

Supaya iklim investasi di pertambangan lebih kredibel, kata Hendra, deregulasi menyeluruh dibutuhkan. Misalnya, aturan soal royalti yang tinggi atau kewajiban penyimpanan DHE (devisa hasil ekspor) membuat biaya operasional semakin berat. Kalau regulasi ini disederhanakan, kepastian hukum terjamin, dan biaya lebih kompetitif, maka investor akan lebih tertarik masuk. Kalau tidak ada perubahan signifikan, kita akan kalah bersaing.

Perlu akselerasi perbaikan aturan 

Vice CEO PT Pan Brothers Tbk sekaligus Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Anne Patricia Sutanto, menegaskan, tantangan utama industri seperti di Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), adalah pada aspek perizinan dan regulasi.

Ia menyebut pemerintah sudah mulai membenahi aturan, namun langkah itu masih terlalu lambat dibanding kebutuhan persaingan global. “Kompetitor kita bukan hanya sesama produsen di Indonesia, tapi juga Vietnam, Bangladesh, Kamboja, Myanmar, China, Turki, dan Mesir. Mereka lebih efisien karena perizinan lebih sederhana dan murah,” ujarnya.

Anne menegaskan, percepatan penyederhanaan regulasi menjadi syarat penting agar industri TPT nasional bisa meningkatkan daya saing. Deregulasi akan langsung berimbas pada turunnya biaya produksi, yang pada akhirnya memperbaiki nilai free on board (FOB) produk ekspor Indonesia. “Kalau cost turun, otomatis kita lebih berdaya saing. Market share bisa bertambah dan perjanjian perdagangan bebas bisa dimanfaatkan optimal,” katanya.

Ia menilai, tanpa perubahan signifikan, Indonesia berisiko kehilangan momentum dari diplomasi ekonomi yang sudah dijalankan pemerintah. “Kalau kita tidak berdaya saing, bagaimana kita mau memanfaatkan perjanjian dengan Eropa, Amerika, dan RCEP secara optimal?” ujarnya.

Bagi Anne, tantangan terbesar industri TPT bukan pada pasar, melainkan pada kemampuan pemerintah menciptakan iklim usaha yang efisien dan kompetitif. Tanpa itu, kata dia, Indonesia hanya akan bisa mempertahankan posisi yang ada, bahkan tidak menutup kemungkinan kehilangan pangsa pasar.

Soal niatan pemerintah untuk melakukan deregulasi, menurut Head of Economic Department CSIS Riandy Laksono, sejauh ini beberapa deregulasi baru mencakup ratusan HS Code. Padahal barang yang diperdagangkan dunia jumlahnya puluhan ribu. Jadi pekerjaan rumah pemerintah masih panjang. 

Presiden Prabowo dan pemerintahannya perlu mempercepat hal ini. Apalagi potensi relokasi produksi masih besar akibat tarif tinggi yang dikenakan Amerika Serikat ke Cina. “Indonesia seharusnya bisa menarik pabrik dari Cina untuk ekspor ke Eropa, Timur Tengah, dan wilayah lain, tidak harus ke Amerika Serikat,” katanya. 

Ia mengusulkan deregulasi bisa dilakukan di  tiga hal utama: deregulasi perdagangan, reformasi ketenagakerjaan, dan perbaikan regulasi investasi.

Pertama, regulasi ketenagakerjaan saat ini tidak menguntungkan siapa pun. Pekerja tidak terlindungi, sementara swasta keberatan dengan rigiditas aturan. 

Sejumlah pencari kerja memadati Job Fair di Al Fath Building Center, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (20/8/2025). (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)

Kepatuhan membayar upah minimum hanya di bawah 40% pesangon untuk pekerja PHK hanya diterima sekitar 30%, dan perlindungan sosial masih rendah. Di sisi lain, upah minimum yang tinggi tidak merefleksikan upah riil, sehingga pabrik enggan masuk. Akibatnya, peluang kerja di dalam negeri hilang. Karena itu reformasi ketenagakerjaan mendesak dilakukan.

Kedua, regulasi investasi. Kepastian hukum menjadi faktor kunci. Investor dari AS atau Eropa jarang masuk karena menuntut kepastian yang belum bisa kita tawarkan. Yang lebih banyak masuk justru investor dari Cina, Hong Kong, atau Asia lain yang terbiasa menghadapi ketidakpastian di negara berkembang. 

Jika regulasi perdagangan, ketenagakerjaan, dan investasi dibenahi, Indonesia bisa menarik lebih banyak pabrik, meningkatkan jumlah pekerja formal, memperluas basis pajak, dan pada akhirnya memperkuat penerimaan negara.

Akibatnya, investasi per kapita Indonesia hanya sekitar US$ 1.000, jauh tertinggal dari Malaysia, Thailand, atau Vietnam yang dua kali hingga empat kali lipat lebih tinggi.

“Jika regulasi perdagangan, ketenagakerjaan, dan investasi dibenahi, Indonesia bisa menarik lebih banyak pabrik, meningkatkan jumlah pekerja formal, memperluas basis pajak, dan pada akhirnya memperkuat penerimaan negara,” ungkapnya. 

Menteri Perdagangan Budi Santoso, saat dikonfirmasi SUAR terkait perlunya insentif dan perluasan penyederhanaan aturan ini, mengaku pemerintah sedang menyiapkannya. “Masih dievaluasi,” katanya.

Penulis: Mukhlison, Harits Arrazie, Dian Amalia Ariani