Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) di Belém, Brasil yang digelar dari 10 November 2025 hingga 21 November 2025, menjadi momen penting bagi Indonesia sebagai pendorong dalam menghimpun dana dalam pembiayaan energi terbarukan.
Presiden Prabowo Subianto pernah menyatakan, rencana membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 100 gigawatt (GW) dalam satu dekade masih terbentur tingginya biaya modal (cost of capital) energi bersih di Indonesia.

Strategi Indonesia di Brasil adalah salah satunya menyusun National Adaptation Plan (NAP) yang disesuaikan kebutuhan Indonesia. "Ini merupakan suatu dokumen yang diminta dari semua negara untuk disampaikan ke UNFCCC untuk parameter pengukuran terkait dengan upaya adaptasi yang kita lakukan," kata Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq di sela-sela Konferensi PCOP30) di Belém, Brasil, Jumat 14 November 2025.
Dokumen NAP memiliki fungsi strategis untuk memanfaatkan peluang sumber daya untuk aksi-aksi adaptasi perubahan iklim. Beberapa elemen penting yang masuk dalam Rencana Adaptasi Nasional diantaranya inventarisasi dampak, proyeksi perubahan iklim, penyusunan adaptasi berdasarkan dampak, strategi implementasi, serta elemen pengawasan dan evaluasi.
Dalam COP30, sejumlah prioritas Indonesia, antara lain penguatan diplomasi hijau untuk mendorong investasi dan pendanaan iklim. Kemudian penguatan pasar karbon yang berintegritas, dan mempromosikan pertumbuhan ekonomi hijau melalui solusi berbasis alam dan inovasi teknologi.
Selain itu, Indonesia juga menekankan transisi energi yang adil, perlindungan hutan, dan implementasi kebijakan seperti Perpres Penanganan Sampah dan Nilai Ekonomi Karbon.
Selain itu juga ada penguatan tata kelola Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yang akan dijadikan menjadi kunci untuk menarik investasi global. menteri Hanif menyebut, NEK menjadi instrumen strategis yang memastikan manfaat transisi energi sampai ke masyarakat. “NEK bukan sekadar transaksi, melainkan instrumen keadilan dan akselerator transisi ekonomi hijau,” ujarnya.
Pemerintah juga mengumumkan keberhasilan mobilisasi investasi lintas sektor senilai US$ 7,7 miliar per tahun melalui pasar karbon, sekaligus menegaskan komitmen untuk menghentikan pendanaan PLTU baru dan mempercepat pensiun dini pembangkit lama. Kejelasan arah kebijakan ini mulai menarik modal hijau ke Indonesia, mulai dari energi bersih, restorasi ekosistem, hingga teknologi pengelolaan limbah modern.
Dari forum COP30 di Belem, setidaknya dua peluang besar muncul bagi Indonesia. Pertama, potensi mobilisasi pembiayaan iklim internasional yang dapat mempercepat pembangunan energi terbarukan nasional hingga US$ 1,3 triliun.
Kedua, menguatnya posisi Indonesia dalam perdagangan karbon, didorong oleh inisiatif BUMN seperti Pertamina yang mulai mencatat transaksi signifikan dalam skema karbon.
Reformasi regulasi dan pendanaan
Agar berbagai peluang itu bisa direalisasikan, pemerintah menyiapkan sejumlah percepatan regulasi di sektor energi. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, menyampaikan bahwa investasi energi terbarukan tetap diarahkan sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), baik oleh PLN maupun pengembang non-PLN.
Ia menyampaikan bahwa pemerintah tengah membahas revisi Peraturan Pemerintah (PP) 14 tentang Ketenagalistrikan, PP 7 tentang Panas Bumi, serta memfinalkan revisi Perpres 112 mengenai harga energi terbarukan. “Kami juga menyiapkan Permen ESDM baru untuk mengatur skema harga hybrid energi terbarukan,” kata Eniya kepada Suar, Ahad 16 November 2025.
Salah satu isu krusial di COP30 adalah usulan Presidensi Brasil untuk mendorong pendanaan iklim global hingga US$ 1,3 triliun per tahun. Hal ini penting bagi negara berkembang seperti Indonesia yang menghadapi biaya modal proyek energi bersih jauh lebih tinggi dibanding negara maju.
Menurut Direktur Climate Policy Initiative Tiza Mafira, tingkat biaya modal Indonesia dapat mencapai 8%–12%, dua kali lipat dari negara maju. Kondisi ini membuat proyek energi terbarukan sulit bersaing dan memperlambat ekspansi PLTS.
Tiza menegaskan bahwa penurunan biaya modal adalah syarat mutlak untuk mencapai target energi surya nasional. Jika Indonesia tidak menurunkan biaya modal, maka target 100 GW PLTS dalam satu dekade akan sulit tercapai. "COP30 adalah forum untuk meyakinkan investor global bahwa Indonesia siap dengan kebijakan yang memberi kepastian jangka panjang,” kata Tiza.
Reformasi pendanaan ini juga terkait langsung dengan ketahanan energi. Dalam laporan World Energy Outlook 2025, International Energy Agency (IEA) menyebut negara berkembang dapat menambah kapasitas energi terbarukan hingga 600 GW per tahun pada 2035. Bila Indonesia mampu menangkap sebagian peluang ini, ketergantungan nasional terhadap energi fosil, terutama batu bara, akan berkurang drastis.
Dari sisi keadilan iklim, Indonesia juga menegaskan prinsip tanggung jawab berbeda negara maju (CBDR). Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development (FESD) Institute for Development of Economics & Finance (INDEF), Abra Talattov, menilai pendanaan transisi harus adil dan tidak membebani fiskal.
“Pendanaan transisi energi harus adil dan tidak membebani APBN. Negara maju punya tanggung jawab historis, dan Indonesia harus menegaskan itu dalam setiap negosiasi,” katanya, seperti dikutip dari Bisnis Indonesia, Kamis (14/11/2025).
Dunia usaha menunggu momentum
Ketua Bidang Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) Asosiasi Penguasaha Indonesia (Apindo), Eka Satria menilai, Indonesia memiliki modal hijau besar mulai dari tenaga surya, hidro, waste-to-energy (WTE), panas bumi, hingga penyerapan karbon hutan.
“Ini bisa menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan bahkan devisa melalui ekspor listrik hijau serta kredit karbon,” paparnya kepada SUAR.
Namun, dunia usaha membutuhkan fondasi kebijakan yang jelas. Menurut Eka, yang paling dibutuhkan investor di Indonesia adalah kepastian regulasi, harga energi yang kompetitif. "Serta akses pembiayaan hijau dengan biaya dana yang lebih rendah,” katanya. Industri nasional, menurutnya, akan bergerak jauh lebih cepat bila ketiga prasyarat ini terpenuhi.
Senada dengan Eka, Maria R. Nindita Radyati, Pengamat Bidang ESDM di Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) sekaligus Presiden Direktur Institute for Sustainaibility dan Agility (ISA), COP30 merupakan titik krusial bagi Indonesia untuk memperkuat daya saing industrinya di tengah pergeseran global menuju rantia pasok rendah karbon. Ia menilai bahwa kompetitivitas industri ke depan akan ditentukan oleh jejak emisi, efisiensi energi, dan kredibilitas transisi hijau yang dijalankan pelaku usaha.
Maria menyebut ada tiga peluang besar yang bisa ditangkap Indonesia dari COP30. Pertama, percepatan investasi energi bersih di kawasan industri dan sektor padat energi yang kini menghadapi tekanan standar internasional seperti CBAM, SBTi, serta IFRS S2 yang mulai diterapkan pada laporan tahunan 2027. “COP30 bisa menjadi katalis bagi strategi transisi, khususnya pengembangan energi terbarukan di kawasan industri dan skema green corridor,” katanya.
Kedua, penguatan tata kelola dan standardisasi Environmental, Social, and Governance (ESG) nasional. COP30 mendorong negara memperlihatkan kesiapan transparansi iklim, sejalan dengan inisiatif Kadin melalui Net Zero Hub dan penyelarasan dengan standar global seperti IFRS S1/S2 dan TNFD. Semakin kuat tata kelola, kata Maria, semakin besar peluang produk Indonesia diterima di pasar premium dunia.
Ketiga, kesempatan menampilkan pencapaian industri Indonesia di panggung internasional. Dari sektor minerba, energi, hingga FMCG, Maria melihat semakin banyak perusahaan yang memiliki roadmap net zero, menerapkan co-firing, efisiensi energi, elektrifikasi, hingga solusi berbasis alam. “COP30 adalah momentum untuk menunjukkan bahwa Indonesia siap menjadi trusted green manufacturing base di Asia,” tutur Maria.
Dari perspektif dunia usaha, masuknya investasi hijau ke Indonesia sangat ditentukan oleh tiga hal: kepastian regulasi yang harmonis, akses energi terbarukan yang kompetitif, dan skema pembiayaan hijau yang lebih menarik.
Dunia usaha membutuhkan model bisnis yang bankable, mulai dari PPA jangka panjang, wheeling system yang fleksibel, hingga percepatan infrastruktur energi terbarukan. Di saat yang sama, instrumen pembiayaan seperti blended finance, transition finance, tax incentives, dan green bonds dinilai krusial agar transisi tidak berhenti sebagai komitmen normatif.
Lebih jauh, Maria menegaskan empat kebutuhan utama agar modal hijau global benar-benar mengalir pasca-COP30: kepastian kebijakan jangka panjang, integrasi energi terbarukan di kawasan industri, kesiapan data ESG, serta insentif fiskal dan non-fiskal yang mampu bersaing dengan kompetitornya.
“Investor melihat policy consistency. Dunia usaha butuh roadmap energi bersih yang stabil 20–30 tahun dan integrasi energi terbarukan di kawasan industri,” ujarnya. Tanpa itu, menurutnya, Indonesia berisiko tertinggal dalam perebutan investasi hijau yang semakin kompetitif di kawasan.
“Negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand sudah agresif memberikan insentif untuk green manufacturing. Kalau Indonesia tidak kompetitif, kita bisa tertinggal dalam perebutan investasi hijau di kawasan,” kata Maria.
Bukan hanya green tapi juga gold
Gelaran COP30 ini juga dimanfaatkan perusahaan BUMN sebagai momen berkolaborasi. Pada sesi "Seller Meet Buyer" di Paviliun Indonesia, perusahaan energi pelat merah ini menandatangani dokumen Carbon Credit Trading yang disaksikan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq.
PT Pertamina sepakat menjual kredit karbon sebesar 37 ribu ton CO₂e kepada dua institusi perbankan, Bank Mandiri dan CIMB Niaga. Angka ini menambah portofolio penjualan sebelumnya yang telah mencapai 846 ribu ton CO₂e sejak 2023. Kredit karbon tersebut berasal dari PLT Biogas Sei Mangkei dan PLTP Lahendong.

Direktur Transformasi dan Keberlanjutan Bisnis Pertamina, Agung Wicaksono, menyatakan bahwa peluang global jauh lebih besar dari transaksi saat ini. “Proyek-proyek energi terbarukan kita bukan hanya green, tetapi juga gold. Pasar ini bisa mendukung Indonesia menjadi negara yang lebih maju dan lebih kaya,” ujarnya di sela-sela KTT, Belem, Brasil 12 November 2025 lalu.
Pertamina memandang COP30 sebagai katalis untuk mempercepat enam inisiatif bisnis hijau: biofuel, energi terbarukan, carbon sink, hidrogen bersih, ekosistem baterai dan kendaraan listrik, hingga perdagangan karbon.
Salah satu capaian yang disorot adalah produksi biofuel, mulai dari implementasi biofuel 40% atau B40 yang menekan impor bahan bakar dan menciptakan jutaan lapangan kerja, hingga pengembangan Sustainable Aviation Fuel (SAF). Kilang Cilacap kini mampu memproduksi 238.000 kiloliter SAF per tahun dan ditargetkan meningkat menjadi 300.000 kiloliter pada 2029.
“Pertamina telah memperluas peta jalan menuju Net Zero Emission 2060, tak hanya mencakup pengurangan emisi Scope 1 dan 2, tetapi kini termasuk Scope 3 untuk seluruh rantai bisnis.” ujar Muhammad Baron, juru bicara PT Pertamina (Persero), menjelaskan kepada Suar, Senin 17 November 2025.
Selain memamerkan capaian, Pertamina membuka peluang kolaborasi baru pasca-COP30. Perusahaan tengah menjajaki kerja sama di tiga sektor: biofuel, terutama bioethanol dan SAF, pengembangan rantai nilai hidrogen, serta proyek Carbon Capture and Storage/Utilization (CCS/CCUS).
Dalam pertemuan bilateral dengan Pemerintah Singapura, misalnya, pembahasan diarahkan pada dua agenda prioritas: potensi pasar SAF dan pengembangan CCS sebagai solusi penurunan emisi jangka panjang.
“Kami menjalankan strategi dual growth: memperkuat bisnis migas konvensional sekaligus mempercepat pengembangan bisnis rendah karbon seperti bioenergi, hidrogen, dan CCS.”
Di kesempatan lain PT PLN (Perusahaan Listrik Negara) juga membawa agenda elektrifikasi desa, super grid, dan penurunan emisi pembangkit eksisting melalui perdagangan emisi. Direktur Teknologi, Engineering, dan Keberlanjutan PLN, Evy Haryadi, menyebut RUPTL 2025–2034 akan “jauh lebih hijau”.
“Perluasan EBT menjadi fokus utama kami, namun kami juga bekerja menurunkan emisi dari pembangkit eksisting melalui perdagangan emisi di Indonesia,” katanya.
PLN menargetkan bauran energi hijau lebih dari 75% dalam sepuluh tahun dan memperkirakan potensi 250 juta ton sertifikat pengurangan emisi.“Potensi green attribute ini bukan hanya soal pemenuhan regulasi. Ini peluang untuk menciptakan nilai ekonomi hijau yang dapat mempercepat transisi energi nasional,” ujarnya.
Peluang besar dari PLTS 100 GW
Direktur Eksekutif SUSTAIN, Tata Mustasya, juga menilai adanya target 100 GW Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berpotensi menjadi mesin ekonomi baru bila didukung insentif dan pendanaan domestik yang memadai.
Ia menyebut potensi pungutan dari produksi batu bara dapat mencapai Rp360 triliun dalam empat tahun, yang dapat diarahkan untuk pembiayaan energi surya.
“Dipadukan dengan insentif untuk memperluas penggunaan energi surya oleh rumah tangga, industri, dan komersial dan pembangunan industri panel surya dalam negeri dengan menarik investasi domestik dan asing,” ujarnya.
Pengembangan PLTS desa dinilai dapat membuka lapangan kerja hijau dan memperluas industri panel surya dalam negeri.
Dari sisi ekonomi makro, Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengingatkan bahwa proyek energi bersih masih terhambat tingginya biaya modal. Ia menegaskan bahwa mempertahankan energi fosil justru menimbulkan kerugian ekonomi dan kesehatan dalam jangka panjang.
“Biaya modal proyek energi bersih di Indonesia masih dua kali lipat negara maju. Pemerintah perlu mengalihkan insentif fiskal, menghentikan kredit untuk PLTU, dan menurunkan risiko investasi energi terbarukan. Kalau tidak, target 100 GW PLTS hanya jadi slogan,” ujarnya.