Citra Baru Nasi Campur Sedap Wangi, Bisnis Waris yang Laris Manis

Kevin Fernando, 25 tahun, menceritakan bagaimana dirinya mentransformasi bisnis keluarga tiga generasi mengikuti inovasi seiring dengan perubahan zaman.

Citra Baru Nasi Campur Sedap Wangi, Bisnis Waris yang Laris Manis
Cabang pertama Sedap Wangi di Bandengan Selatan, ca. 1996. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Daftar Isi

Serombongan anggota keluarga merapat ke gerai Nasi Campur Sedap Wangi di bilangan Pinangsia, Jakarta Barat, pada suatu siang dengan perut keroncongan. Usia mereka beragam, dari anak-anak, pria dewasa, dan seorang laki-laki baya. Nuansa yang tercipta demikian akrab saat tegur sapa terjadi dengan perempuan yang berjaga di balik meja kasir.

"Kami baru mampir lagi, nih, Ci. Sekarang kami tinggalnya jauh, mampir ke sini karena Papa kangen mau makan," tukas si pria dewasa, menunjuk si laki-laki baya.

Cerita kekeluargaan itu melekat di ingatan Kevin Fernando. Di usia yang baru 25 tahun, Kevin merasa pemandangan seperti itu sangat mengharukan.

Nilai-nilai kekeluargaan, bagi Kevin, merupakan salah satu kunci yang membuat gerai nasi campur yang kini dia pimpin bisa melangkah sejauh ini.

"Langganan kami menikmati nasi campur sudah dari kakek, ayah, hingga anak. Artinya, kami dipercaya setiap keluarga dari generasi ke generasi," ujarnya.

Kepercayaan, baginya, adalah sesuatu yang tidak mudah didapatkan. Bukan hanya dari para pelanggan terhadap konsistensi dan citarasa nasi campur yang disajikan, melainkan juga kepercayaan dari orang tua yang merintis usaha tersebut dari nol.

Kepada SUAR, Kevin membagikan ceritanya menerima tongkat estafet bisnis keluarga yang kini sudah memiliki tiga cabang dan tengah mempersiapkan cabang keempat itu.

Alih-alih sekadar menikmati hasil kerja keras orang tua, Kevin mematahkan stigma generasi pewaris dengan caranya sendiri, dari membangun brand lewat pemasaran digital yang gigih hingga melakukan inovasi yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Tujuannya? Tak lain agar gerai legendaris itu tidak sekadar menjadi legenda, melainkan terus berselancar mengikuti zaman yang terus berlari, membuat lidah menari untuk setiap generasi.

Kevin Fernando (kiri) dan Datuk Wong Pei Hu, pemilik Restoran Wong Mei Kee, Kuala Lumpur, Malaysia. Kevin belajar dari Restoran Wong Mei Kee yang meraih bintang Michelin dengan menu unggulan nasi campur dan babi panggang. Foto: Dokumentasi Pribadi

Setapak demi setapak

Muasal cerita Sedap Wangi tak berbeda dengan kisah para perintis yang banting tulang dan mandi keringat untuk memulai segalanya. Ayah Kevin, yang akrab disapa Ahui, mengadu nasib dari Riau ke Jakarta pada awal 1990-an.

Uang di saku hanya Rp200.000 , sedangkan ongkos kapal sekali jalan Rp150.000. Modal usaha sebesar Rp50.000 itulah yang Ahui gunakan memulai hidup di tanah rantau

Ketika itu, Ahui bahkan belum bisa berbahasa Indonesia, karena bahasa ibunya adalah Hokkian, di samping bahasa Melayu Riau yang menjadi saat itu menjadi bahasa pengantar. Berbekal kemampuan berdagang, Ahui mengawali bisnis dengan menjadi reseller daging babi, sambil mengumpulkan modal dari laba yang tidak seberapa.

Sesudah beberapa waktu berdagang, Ahui kesampaian membeli sebuah oven bermerek Apollo dan mencobanya untuk memanggang daging babi. Dia pun merekrut seorang juru masak dari Hong Kong agar gerainya tidak sekadar menjual daging babi panggang, melainkan juga mengembangkan menu secara bertahap.

"Awal mulanya gerai pertama di Gedung Chandra, Glodok. Terus sempat buka cabang baru di Bandengan Selatan, tetapi itu hanya sewa. Ketika sudah agak ramai, pemilik properti memutuskan menjual tempat, dan kami tidak sanggup beli. Kami terpaksa pindah, dan bertempat di Pinangsia ini dari 2014, yang juga menjadi pusat," kisah Kevin.

Dunia bisnis kuliner yang telah Kevin kenal sejak kecil menjadi salah satu motivasinya untuk menempuh studi sarjana Manajemen Bisnis di Universitas Prasetiya Mulya pada 2018.

Kevin sedang memanggang babi di dapur restoran Sedap Wangi di Jakarta (24/10/25). (Foto: Dokumen Pribadi)

Bergaul dengan teman-teman yang berasal dari keluarga berada, Kevin memahami bahwa anak pebisnis yang berkuliah bisnis tidak serta-merta cakap berbisnis, apalagi meneruskan bisnis keluarga.

"Karena saya lihat teman-teman saya tidak berani mengambil risiko. Juga, mereka banyak bicara, tetapi tidak melakukan apa-apa. Padahal mereka hidupnya sangat enak, dikasih mobil, sedangkan saya kuliah hanya dikasih motor dan pulang-pergi naik kereta. Rasa haus dan tidak mau kalah dari mereka itu yang mungkin membuat saya berani maju," ucapnya.

Selain motivasi dari lingkungan perkuliahan, ilmu yang Kevin dapatkan juga menjadi bekal yang berarti. Sementara orang tuanya hanya fokus berdagang, kuliah Manajemen Bisnis membantunya memahami pentingnya pembukuan yang rapi, membangun promosi dan brand yang kuat, strategi operasional yang efisien, hingga pedoman menavigasi bisnis ke masa depan.

Meski demikian, ilmu itu tidak membuatnya bisa ikut campur mengurus bisnis. Tantangan terberat Kevin sebagai generasi pewaris adalah membuktikan dirinya pantas, bukan hanya kepada orang tua, melainkan juga karyawan-karyawan senior yang sudah bekerja, bahkan sejak dia belum lahir.

"Saya bikin konten, promosi menu, bikin menu baru, membuat inovasi baru seperti membuat kemasan vakum sehingga menu daging babi dapat dikirim ke luar kota. Pelan-pelan, karyawan mulai percaya bahwa saya pantas dan karenanya bisa hormat. Tidak mulai dengan mengatur, tetapi dengan membuktikan agar mereka lihat sendiri dan percaya," ungkap Kevin.

Tak selamanya upaya pembuktian itu mulus. Sekitar 2019, Kevin mulai belajar bekerja langsung di Sedap Wangi cabang Pademangan. Saat itu, di usia 19 tahun, rekan sekerja Kevin adalah karyawan-karyawan senior dan sanak saudara yang jauh lebih tua dan berpengalaman. Sekalipun anak pemilik, ketahanan mentalnya diuji saat karyawan senior memberikan teguran keras.

"Ketika itu saya tidak bisa menjaga kerapian meja saat restoran sedang ramai-ramainya. Seorang karyawan senior menegur, 'Masa kamu tidak bisa menangani keramaian begini?' Saya tertampar dan merasa harus membuktikan bahwa saya bisa merapikan ini semua," kisahnya.

Inovasi dan kepercayaan

Tidak hanya berupaya membuktikan mampu bekerja di bawah tekanan, Kevin juga menyuntik Sedap Wangi dengan terobosan-terobosan baru. Ide-ide inovasi itu bersifat organik, yaitu berasal dari permintaan pelanggan yang ditindaklanjuti setelah mengadakan serangkaian uji coba.

Salah satunya, kemasan vakum yang memungkinkan menu-menu seperti bebek panggang dikirim hingga ke luar kota.

Untuk memahami metode kemasan vakum itu, Kevin bahkan mencari perbandingan hingga ke Nanjing, Tiongkok. Sebuah gerai bebek panggang di sana sukses membuat kemasan vakum yang memungkinkan produk mereka dikirim ke seluruh penjuru Tiongkok. Kini, dengan metode kemasan vakum yang sama, Kevin bertekad agar produk Sedap Wangi dapat menjangkau seluruh Indonesia.

Produk bebek panggang yang siap dikirim dalam kemasan vakum. Foto: Dokumentasi Pribadi
"Menu vakum itu menjadi favorit pelanggan kita di luar kota. Mungkin, gerai nasi campur yang menjual menu daging babi dan bebek dalam kemasan vakum hanya Sedap Wangi," cetus Kevin bangga.

Tentu saja, keberhasilan kemasan vakum itu terjadi sesudah serangkaian uji coba, mulai dari kecocokan mesin vakum yang bisa kedap tanpa membuat daging babi hancur, hingga memilih paket ekspedisi yang dapat dipercaya.

Di samping inovasi dalam pengiriman produk, Kevin berusaha memecahkan tantangan-tantangan bisnis lain. Belajar dari pengalaman saat harus pindah tempat usaha saat pemilik lokasi tidak bersedia melanjutkan sewa, dia bertekad menjadikan cabang Pinangsia berstatus hak milik. Selain itu, strategi pemasaran di media sosial dan memilih lokasi untuk cabang baru juga masuk dalam senarai tugas Kevin.

Dalam strategi pemasaran media sosial, misalnya, Kevin berinovasi dengan membuat konten organik, dengan menghadirkan cerita-cerita human interest yang sungguh-sungguh terjadi di gerai dan cabang-cabang Sedap Wangi. Selain itu, konsistensi produk dan citarasa dijaga ketat, agar pelanggan yang tergiur setelah melihat konten tidak kecewa.

"Konten kami berani beda. Belum ada orang dagang masakan babi bikin konten banyak-banyak di media sosial. Kekuatan story telling yang jujur dan tidak dibuat-buat, tanpa pernah rekrut selebgram atau food vlogger, bikin orang lihat dan follow. Asli, autentik, dan punya produk yang unik."

Sebagai generasi pewaris, masa depan Sedap Wangi kini ada di tangan Kevin. Sang ayah telah memberinya kepercayaan penuh, tetapi tidak memberinya warisan selain bumbu, resep, dan karyawan. Selain itu, Kevin akan menentukan seluruhnya, mulai dari operasional restoran, hingga prospek ekspansi cabang. Kunci yang telah dia peroleh, baginya, adalah kepercayaan terbesar yang dapat dia terima dari sang ayah.

"Tidak semua bisnis keluarga layak diwarisi. Kita harus lihat apakah bisnis ini sedang menanjak atau menurun. Karena saya melihat bisnis ini sedang menanjak, saya bertekad melanjutkannya, apapun yang terjadi, dan mati-matian membuktikan bahwa saya pantas. Kepercayaan itu mahal, sekalinya hancur, saya tahu saya tidak akan pernah mendapatkannya kembali," pungkas Kevin.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional