Alih-alih sekadar menunggu terbukanya lapangan pekerjaan, orang muda dapat menjadikan aktivitas sampingan sebagai sumber pemasukan yang menjanjikan di masa depan. Kuncinya, kemampuan menemukan, memahami, dan mengubah passion menjadi pembangkit tenaga untuk memulai dan pelecut semangat di saat jatuh. Dua pengusaha muda telah berhasil membuktikan kekuatan passion bagi bisnis mereka.
Sepuluh tahun lalu, Melvin Hade, tidak pernah membayangkan jalan hidup akan menuntunnya menjadi seorang investor ritel hari ini. Menamatkan pendidikan sarjana ekonomi dari Universitas Indonesia dengan predikat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) terbaik dalam tujuh semester, pengalaman magang di tiga bank besar membukakan jalannya diterima sebagai partner sebuah agensi konsultan terkemuka.
"Ketika saya lulus, tidak pernah terpikir menjadikan passion sebagai karier atau passion menjadi bisnis. Di Amerika Serikat atau kebudayaan Barat, mungkin itu dikenal, tetapi karena datang dari keluarga biasa, saya lebih dulu mengutamakan tanggung jawab sebelum passion," kisah Melvin saat berbagi cerita dalam gelar wicara "Side Hustle Era: Ubah Passion Jadi Bisnis Sejak Muda" di Jakarta, Sabtu (15/12/2025).
Capaian karier Melvin di agensi konsultan ketika itu tak ubahnya impian semua orang muda. Namun, pria yang kini berusia 30 tahun ini bercerita, di antara pekerjaannya mempresentasikan gagasan, bernegosiasi, dan bercerita, lambat-laun Melvin menemukan sesuatu yang selama ini tidak disadarinya: bisnis ritel yang tersegmentasi pada tiga aspek: wellness, gaya hidup, dan F&B.
Berbekal pengalaman sepuluh tahun malang-melintang sebagai konsultan, Melvin memahami satu hal terpenting: dalam bisnis ritel, untuk produk dengan substansi serupa, story telling yang dalam dan meyakinkan sama pentingnya dengan kualitas produk yang ditawarkan.
Sintesis soft skill komunikasi, story telling, dan pitching yang diperoleh dari pengalaman sebagai konsultan dan passion di bisnis ritel menjadi pendorong utama Melvin mendirikan Kayella Consumer Partners, sebuah perusahaan modal ventura yang menyuntikkan modal pada bisnis ritel tersegmentasi, seperti klinik kecantikan, pusat kebugaran, toko swalayan daring, klinik stem cell, dan sebagainya.
"Ketika saya passionate, otomatis saya merasa lebih yakin dan lebih memahami ketiga bidang itu, dibandingkan bisnis tambang, misalnya. Saya tidak tahu mulainya dan saya tidak passionate terkait itu. Dari sini, saya rasa ketika Anda menemukan sebuah passion, itu adalah niche yang harus difokuskan. Saya menemukannya di bisnis ritel," ucapnya.

Meski terlihat lancar dari luar, Melvin tidak menampik besarnya tantangan yang dia hadapi ketika memutuskan keluar dari pekerjaan konsultan dan merintis Kayella Consumer Partners. Dari sisi eksternal, pencapaian yang begitu cepat membuat banyak rekan sejawatnya iri dan berusaha menariknya mundur lewat rumor dan pembunuhan karakter.
Sementara itu, dari sisi internal, tak sekali Melvin dihinggapi keragu-raguan apakah keputusannya tepat. Perbedaan risk tolerance dan jaring pengaman sosial, menurutnya, sangat menentukan kapan seseorang bisa mulai fokus mengembangkan aktivitas sampingan sebagai mata pencaharian dan meninggalkan pekerjaan utama sebagai sumber pemasukan utama.
"Ada dua jenis kepercayaan diri para perintis bisnis: confidence dan delusional. Confidence adalah ketika kita percaya suatu hal, tetapi tetap skeptis pada diri sendiri, sehingga bisa melihat sisi lain ketika gagal. Bagi mereka yang memiliki passion, kegagalan adalah perhentian, sedangkan bagi yang tidak memilikinya, kegagalan adalah akhir segala-galanya," cetus Melvin.
Dari pengalamannya merintis perusahaan modal ventura di usia muda, Melvin mengungkap tiga katalis yang membantunya mengubah passion menjadi bahan bakar memulai bisnis.
Pertama, intuisi yang tajam untuk mempelajari, menaksir, dan memetakan bisnis secara realistis dalam 5-10 tahun ke depan. Kedua, kemampuan delivering contribution sebelum rekan bisnis berekspektasi, sehingga melahirkan integritas. Ketiga, tujuan hidup yang menjadikan seseorang memiliki kegigihan. Tanpa ketiganya, passion tidak lebih dari sekadar hobi yang kebetulan menghasilkan.
"Kegigihan saya datang dari tujuan hidup yang ingin membuat orang tua saya tersenyum. Ketika sampai di titik itu, saya paham bahwa kegigihan dan pengalaman adalah harta terbesar, bukan koneksi atau kepandaian," pungkas Melvin.
Learning by doing
Berbagi pandangan dengan Melvin, pendiri TEAMUP Circular Creative Business Ecosystem dan CEO M Bloc Space Ahmad Romero Comacho menegaskan usaha mengubah passion sebagai bisnis tidak memiliki manual atau buku pedoman. Meski demikian, hal tersebut tidak serta-merta berarti seseorang tidak dapat belajar untuk memulainya.
"Bisnis pertama saya sehabis lulus kuliah hancur berantakan sebelum satu tahun. Stress sekali, karena ada utang. Saya realistis: melamar kerja sebagai salesman di sebuah perusahaan otomotif. Di sana, saya belajar aspek manajemen yang memungkinkan passion ekonomi kreatif bisa menghasilkan keuntungan," ungkap pria yang akrab disapa Popo itu.
Bermula dari keresahan tidak mampu menemukan event organizer yang cocok untuk acara pemasaran kantor lamanya, Popo memulai TEAMUP dari lingkar pertemanan yang dimilikinya. Pasalnya, alih-alih menggunakan metode pemasaran konvensional, sejak awal Popo mempraktikkan pemasaran dengan mengajak mitra yang sangat spesifik: seniman grafiti!
"Aktivitas marketing lewat kompetisi grafiti ternyata tidak hanya mendatangkan antusiasme seniman yang rela datang jauh-jauh dari luar kota, tetapi berhasil menaikkan market share penjualan sepeda motor, karena brand value yang coba kami kembangkan cocok dengan metode pemasaran itu," ujar Popo.
Saat pengalaman sebagai salesman yang pernah mencetak rekor menjual 2.000 unit sepeda motor dalam 1 bulan bertemu dengan passion di bidang ekonomi kreatif, di sanalah Popo menemukan jalan mengembangkan ekosistem bisnis kreatifnya sendiri pada 2019. Satu tahun kemudian, saat pandemi Covid-19 berkecamuk, Popo memilih resign setelah 12 tahun bekerja di perusahaan otomotif demi mengembangkan TEAMUP.
Di bawah bendera TEAMUP, Popo memimpin 6 perusahaan subholding dan 9 perusahaan inti yang memiliki benang merah community engagement, digitalisasi, dan ruang kreatif. Hasilnya, sentuhan TEAMUP lewat Ruang Riang Millenial yang mengelola M Bloc Space berhasil mengembalikan kejayaan kawasan Blok M sebagai ruang kreatif bagi orang muda, demikian juga Urban Forest Cipete dan Cibis Park Cilandak.
"Di saat kami memiliki sebuah event, mungkin ideaTalks atau ideaFest, kita bikin di M Bloc. Produksinya dibantu, amplifikasi digitalnya didorong, kateringnya oleh Ruang Kopi, F&B milik kami. Ekosistem sirkular yang terus berputar di dalam lingkup perusahaan sendiri. Strategi kami bukan berkompetisi, tetapi sejak awal mendominasi," cetusnya.

Dalam mengembangkan ekosistem bisnis kreatif, Popo menyadari bahwa besarnya energi kreatif seseorang tidak serta-merta membuatnya mampu memahami operasional, membuat sistem, manajemen risiko, hingga rantai pasok sebagai penopang utama bisnis. Karenanya, Popo tak menyembunyikan bahwa keberhasilannya sebagai pengusaha tidak lepas dari pengalaman bekerja sebagai profesional selama 12 tahun.
"Challenge itu dipelajari saat di bawah sehingga saat merintis usaha baru, no time to fail. Setiap tempat punya sesuatu yang bisa dipelajari, paham ekosistem bisnisnya seperti apa. Di saat Anda menguasai sebuah bidang usaha, challenge itu akan hilang dengan sendirinya," cetus Popo.
Melengkapi pandangan motivasi Melvin yang menekankan intuisi dan integritas, hubungan interpersonal yang baik menjadi kunci Popo untuk mempertahankan ekosistem bisnis kreatifnya. Seniman yang selama ini diajaknya bekerja sama adalah mitra penuh yang diperlakukan sebagai anggota tim profesional.
"Dengan menjaga hubungan baik, one call away mereka akan membantu kita. Lebih dari sekadar bisnis, saya percaya value of life lewat persahabatan. Saya sendiri tidak terlalu mengejar personal branding, karena nilai uang tidak lebih berharga dari nilai-nilai hidup yang saya peroleh dari kerja sama itu," pungkas Popo.
Harus didorong
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Pengembangan Talenta dan Daya Saing Kementerian Koperasi Destry Anna Sari mengungkapkan bahwa pelajaran penting dari keberhasilan bisnis orang muda adalah kejelasan visi dan nilai yang menggerakkan bisnis mereka.
Dengan kejelasan visi dan nilai itu, usaha rintisan (startup) menjadi tidak lagi dipandang sebelah mata. Bentuk koperasi, menurutnya, bisa menjadi alternatif untuk orang muda yang tertarik mengembangkan bisnis dari passion yang dimilikinya.
"Pengarusutamaan koperasi sedang kami agendakan besar-besaran. Dengan kekuatan anak-anak muda, koperasi kita bisa menjadi perusahaan berskala internasional. Transformasi ekonomi tidak bisa dilakukan jika orang muda tidak menemukan gambar besar," ucap Destry.
Meski kejelasan visi dalam berbisnis dibutuhkan dan sangat penting, pendidik dan pendiri ESQ Business School, Ary Ginanjar Agustian menekankan bahwa yang menentukan sampai-tidaknya cita-cita bisnis orang muda adalah nilai yang menjadi rambu-rambu untuk mencapai impian tersebut.
"Jika visi adalah arah, maka nilai adalah tubuh yang memungkinkan ini terjadi. Kita ingin pada 2045, Indonesia untuk rakyat Indonesia. Jangan sampai Indonesia Emas tercapai, tapi orang Indonesia menjadi pembantu di rumah sendiri karena tidak menikmati apa-apa," pungkas Ary.