Peraturan royalti musik untuk penggunaan komersial seperti di kafe dan restoran menimbulkan keresahan di kalangan pelaku usaha. Banyak pemilik kafe, restoran, dan hotel merasa prosedur penarikan royalti tidak transparan dan terlalu membebani, apalagi di tengah pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Hal ini membuat mereka harus putar otak demi mendapatkan untung di tengah polemik kasus ini, namun juga terbebas dari denda penalti akibat lalai dalam hal royalti itu.
Contohnya pemilik restoran Jepang di kawasan Pamulang dan Cipete. Mereka memutuskan menghentikan pemutaran musik di restoran sejak isu ini mengemuka beberapa minggu belakangan ini.
Dia tak ingin dikenakan kewajiban membayar royalti sebesar Rp120.000 per kursi per tahun untuk pemutaran musik komersial.
Kafe yang tadinya selalu memutar musik kekinian itu tampak sunyi. Tak terdengar alunan lagu-lagu hits dari musisi terkenal di tanah air.
"Sebagai pemilik restoran, saya merasa keberatan dengan pembayaran royalti karena sudah banyak tumpukan finansial lain, seperti pembayaran pajak restoran ke pemerintah, pembagian gaji pegawai yang juga dikenai pajak. Belum lagi, penghasilan restoran itu tidak menentu jadi ketika dipatok Rp 120.000 per kursi dalam setahun itu terasa berat,” kata pemilik kafe itu kepada SUAR (6/8/2025).
Ia memilih untuk tak menyebutkan namanya demi alasan menyelamatkan usahanya.
"Sebagai pemilik restoran, saya merasa keberatan dengan pembayaran royalti karena sudah banyak tumpukan finansial lain, seperti pembayaran pajak restoran ke pemerintah, pembagian gaji pegawai yang juga dikenai pajak." kata pemilik kafe yang tak mau disebut namanya.
Sebagaimana kita ketahui, Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 mengatur tentang pengelolaan royalti hak cipta lagu dan/atau musik. Aturan ini mewajibkan tempat-tempat usaha komersial, termasuk kafe dan restoran, untuk membayar royalti kepada pencipta lagu dan pemegang hak terkait jika mereka memutar musik. Royalti dikumpulkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Banyak pemilik usaha merasa keberatan dengan aturan ini karena dianggap menambah beban biaya operasional, di samping kewajiban lain seperti pajak daerah dan gaji karyawan. Pemilik restoran Jepang di Pamulang dan Cipete tersebut mengungkapkan bahwa aturan ini terasa memberatkan, terutama karena biaya yang dikenakan cukup besar dan ketidakpastian pendapatan harian restoran.
“Saya juga tidak mengerti Kenapa baru sekarang pembayaran royalti itu mulai ramai. Sebelumnya ada aplikasi Spotify yang juga langganan, terus mekanismenya bagaimana, apakah bisa menggunakan spotify?" tanyanya.
Ia juga menyoroti kurangnya sosialisasi mengenai aturan ini, terutama terkait pemutaran musik dari aplikasi seperti Spotify.
Ia juga menyoroti kurangnya sosialisasi mengenai aturan ini, terutama terkait pemutaran musik dari aplikasi seperti Spotify.
Sebelum aturan royalti diberlakukan, pemilik restoran ini memutar musik untuk berbagai alasan penting demi kenyamanan pelanggan dan suasana restoran. Menurutnya, musik membuat pelanggan merasa nyaman saat menyantap hidangan dan tidak merasa bingung saat menunggu pesanan.
Mencari inovasi pengganti musik
Alih-alih terus memutar musik dengan potensi biaya royalti, pemilik restoran tersebut mencari solusi lain untuk tetap menciptakan suasana nyaman bagi pelanggan.
Ia mengadopsi beberapa inovasi yang mampu menarik pengunjung. Salah satu solusinya adalah memutarkan radio dan aransement musik sebagai pengganti musik yang ia nilai tidak memerlukan pembayaran royalti.
Selain itu, ia juga menyediakan berbagai permainan untuk pelanggan guna menciptakan interaksi antar pelanggan.
"Kami juga menyediakan games seperti permainan kartu, catur, dan congklak karena juga pelanggan dan target market kami mahasiswa,” tuturnya.
Inovasi lain adalah dengan memanfaatkan interior restoran yang bernuansa Jepang. Desain interior yang unik ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung, terutama bagi mereka yang gemar membuat konten di media sosial.
Ketika ditanya mengenai efektivitas inovasi ini, pemilik restoran tersebut menjawab, "Oh, efektif banget, Itu berbeda kan. Saya juga percaya bahwa pelanggan akan tetap kembali karena kualitas makanan, namun inovasi-inovasi ini mampu meningkatkan pengalaman mereka saat berada di restorannya,” ungkapnya.
"Saya juga percaya bahwa pelanggan akan tetap kembali karena kualitas makanan, namun inovasi-inovasi ini mampu meningkatkan pengalaman mereka saat berada di restorannya," ungkapnya.

Isu ini mengemuka pasca pemberitaan Direktur PT Mitra Bali Sukses (Mie Gacoan), I Gusti Ayu Sasih Ira, yang resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pelanggaran hak cipta pada Kamis (24/7/2025).
Ira diduga tidak membayar royalti musik atas penggunaan lagu atau musik yang diputar di outlet Mie Gacoan Bali. Nilai tunggakan royalti musik yang perlu dibayar PT Mitra Bali Sukses selaku pemegang merek Mie Gacoan di luar pulau Jawa diperkirakan senilai Rp 7 miliar. Penghitungan ini dilakukan dengan metode berdasarkan regulasi tentang royalti.
Menanggapi polemik ini, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Nusa Tenggara Barat menyerukan pelaku usaha kafe dan restoran untuk tidak memutar musik bila tidak ingin terkena kasus pidana atas aturan royalti.
"Kalau memang berat rasanya (membayar royalti) tidak usah memutar lagu biar tidak jadi masalah," kata Ketua PHRI NTB Ni Ketut Wolini seperti dikutip Antara.
Tidak akan buat bangkrut
Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menanggapi keresahan para pengusaha kafe dan restoran terkait kewajiban pembayaran royalti musik. Ia menegaskan bahwa membayar royalti sebgai penghargaan kepada pelaku industri kreatif dan tidak akan membuat usaha bangkrut.
“Seakan-akan membayar royalti bangkrut. Padahal pembayaran royalti justru melindungi pelaku-pelaku industri kreatif. Tarif ini paling rendah disesuaikan dengan keadaan perekonomian nasional,” ungkapnya dikutip dari Kompas TV (5/8/2025).
Menurutnya, LMKN juga sudah mempertimbangkan berbagai hal. Misalnya, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) akan diberikan perhitungan berbeda dan tentunya lebih murah dibandingkan restoran. Ia menambahkan LMKN tidak menghitung tarif berdasarkan 365 hari penuh karena adanya bulan-bulan tertentu seperti bulan puasa.
Anang Hermansyah, seorang penyanyi, musisi, penulis lagu, produser musik Indonesia, menjelaskan bahwa pembayaran royalti dari pemutaran musik di kafe dan restoran merupakan hak yang sudah diatur dan dilindungi dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
“Seniman saat ini hanya meminta haknya saja. Dalam undang-undang sudah dijelaskan mengenai hak cipta, hak performing, ada hak mechanical, hak fiksasi, dan ada hak lainya yang dilindungi oleh undang-undang. Kita sepakat dengan undang-undang itu,” katanya kepada SUAR (7/8/2025)
Ia menambahkan para pencipta lagu tidak serta merta meminta haknya saja, melainkan hak tersebut lahir dari karya dan kerja kreatif para seniman. menurutnya, lagu yang digunakan oleh orang lain untuk tujuan komersial berkontribusi bagi pemilik kafe dan restoran sehingga seniman juga perlu mendapatkan manfaat atas usaha menciptakan lagu tersebut.
Menurut Vokalis Band D'Masiv, Rian Ekky Pradipta, pembayaran royalti bukan beban bagi pengusaha,melainkan apresiasi kepada para pencipta lagu.
"Regulasi itu sudah jelas sudah ada sejak lama. Sejak 11 tahun yang lalu, sudah banyak juga restoran, kafe, mal, dan stasiun membayarkan royalti itu ke LMKN, " Ujar Rian D'Masiv dikutip dalam tayangan Kompas TV (6/8/2025)
Cari jalan keluar yang tidak memberatkan
Menurut Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, pemerintah menyadari adanya polemik seputar pembayaran royalti musik di kafe dan restoran. Pemerintah saat ini sedang berupaya mencari jalan keluar terbaik untuk mengatasi permasalahan ini.
“Kita sedang mencari jalan keluar ya, sebaik-baiknya," ujarnya seperti dalam rilis Sekretariat Presiden.
Prasetyo menekankan bahwa tujuan dari aturan ini pada dasarnya adalah untuk melindungi para pencipta lagu. Ia juga menyebutkan bahwa pemerintah akan terus melakukan sosialisasi dan dialog dengan seluruh pihak terkait, termasuk Asosiasi Kafe dan Restoran, serta Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Diharapkan melalui pendekatan ini, akan tercapai solusi yang adil dan seimbang bagi semua pihak.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad meminta Kementerian Hukum (Kemenkum) segera merumuskan regulasi teknis yang tidak memberatkan para pelaku usaha, namun tetap melindungi hak-hak ekonomi pencipta lagu.
“DPR RI juga mencermati dunia permusikan yang beberapa saat ini ada dinamika, dan kami sudah minta Kementerian Hukum yang kemudian juga membawahi LMK-LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) untuk juga kemudian membuat aturan yang tidak menyulitkan,” kata Dasco dalam pernyataan pers yang diterima tim SUAR.
Menurut Dasco, saat ini Komisi X DPR RI tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Revisi ini diharapkan mampu memberikan kejelasan hukum dan sistem pengelolaan royalti yang lebih transparan dan akuntabel.
“Sambil menunggu revisi Undang-Undang Hak Cipta yang sedang direvisi oleh DPR, pemerintah perlu menciptakan regulasi yang adil,” ujar dia.
Data dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) mencatat, pada tahun 2023 total pendapatan royalti mencapai lebih dari Rp 150 miliar, namun distribusinya ke para pencipta lagu masih menjadi sorotan. Saat ini, ada sekitar 10 Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang beroperasi di Indonesia dengan tugas menarik dan mendistribusikan royalti dari berbagai jenis penggunaan lagu.
Data dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) mencatat, pada tahun 2023 total pendapatan royalti mencapai lebih dari Rp 150 miliar, namun distribusinya ke para pencipta lagu masih menjadi sorotan.
Di sisi lain, para musisi dan pencipta lagu menuntut hak ekonomi mereka dipenuhi sebagaimana diatur dalam hukum. Mereka menyebut pemutaran karya tanpa kompensasi adalah bentuk pembajakan yang dilegalkan.
Dasco menekankan bahwa aturan teknis yang akan disusun pemerintah dan LMK harus bersifat adil dan tidak menimbulkan konflik baru antara pelaku usaha dan pencipta lagu. “Harus ada kejelasan mekanisme, transparansi besaran tarif, serta saluran pengaduan jika ada pelanggaran dari kedua pihak,” ujarnya.
DPR, lanjut Dasco, juga berharap revisi UU Hak Cipta nanti dapat mengatur lebih rinci klasifikasi tempat usaha berdasarkan skala bisnis, sehingga pemberlakuan royalti bisa lebih proporsional.