Butuh Perlindungan, Beleid Baru Pasar Karbon Terbit

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) diharapkan dapat mengakselerasi pertumbuhan pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) di Tanah Air.

Butuh Perlindungan, Beleid Baru Pasar Karbon Terbit
Foto oleh Marcin Jozwiak / Unsplash
Daftar Isi

Akhir pekan lalu, pemerintah Indonesia resmi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yang diharapkan dapat mengakselerasi pertumbuhan pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) di Tanah Air.

Perpres tersebut, sekaligus menggantikan perpres sebelumnya Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (NDC) dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional

Dengan adanya aturan baru itu, diharapkan bisa memastikan perdagangan karbon terlindungi dan mampu memaksimalkan keunggulan kompetitif.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengungkapkan, pemerintah memandang nilai ekonomi karbon sebagai masalah lintas sektoral dan lintas negara. Namun, tanpa kesepakatan yang jelas dalam melaksanakan Pasal 6 Paris Agreement, setiap negara mengembangkan skema masing-masing dalam menjalankan perdagangan karbon. Perbedaan skema inilah yang mendorong lahirnya pasar karbon sukarela (voluntary carbon market, VCM) di berbagai negara.

"Indonesia saat itu masih menganut compliance market yang wajib dari Paris Agreement. Namun, compliance market Indonesia tidak ditanggapi, tidak ada buyer yang datang, karena pasar internasional telanjur dikuasai skema VCM. Ini harus kita kolaborasikan dan tidak boleh dibenturkan satu terhadap yang lain," ungkap Hanif dalam seminar "Mewujudkan High-Integrity Carbon Pricing melalui Penguatan Social, Economic, and Legal Safeguards di Indonesia" yang diselenggarakan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kejaksaan Agung di Jakarta, Rabu (15/10/2025).

Kegigihan Indonesia untuk memaksimalkan perdagangan karbon, menurut Hanif, disebabkan sejumlah latar belakang biodiversitas Indonesia yang sangat tinggi, dengan kepemilikan 22 dari 31 macam ekosistem yang ada di seluruh dunia. Selain itu, Indonesia juga mengemban tanggung jawab untuk menurunkan gas emisi rumah kaca sesuai target NDC yang ditentukan.

"Dalam inventarisasi tahun 2019, Indonesia memiliki angka landasan 1.145 juta ton emisi gas rumah kaca yang harus direduksi sejumlkah 43% pada 2030 dan 60% pada 2035. Kita sudah sangat keras berusaha mencapai itu, tetapi kita tidak cukup biaya untuk menurunkan emisi sedemikian besar," jelasnya.

Selain pertimbangan tanggung jawab lingkungan, Hanif menekankan bahwa skema pasar karbon Indonesia memiliki keunggulan komparatif terhadap negara-negara lain. Dia mengingatkan, tanpa pasar karbon yang berintegritas, keunggulan karbon itu akan bernasib seperti komoditas lain, yang harganya ditentukan orang lain.

"Cukuplah sudah kelalaian kita menjaga komoditas. Kalau keunggulan komoditas saja gagal kita jaga, apalagi karbon yang hanya berbentuk surat efek? Di sinilah peran norma-norma dalam safeguard ini dapat memberi guidance sebelum adanya undang-undang yang kuat, agar keunggulan komparatif yang kita miliki tidak sia-sia," tutup Hanif.

Tahun lalu, Presiden RI Prabowo Subianto menyatakan target Indonesia bisa mencapai emisi nol bersih pada 2050, atau lebih cepat dari target sebelumnya, di 2060.

Sementara dalam kontribusi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contributions-NDC) pada 2022 lalu, Indonesia berjanji untuk lebih menurunkan emisi gas rumah kaca ke target tanpa syarat sebesar 31,89% dan target bersyarat sebesar 43,2%.

Emisi karbon merupakan salah satu penyumbang terbesar dari gas rumah kaca. Nantinya, perusahaan yang menghasilkan emisi karbon dioksida dalam jumlah sedikit bisa menjual kredit karbon kepada perusahaan yang menghasilkan banyak CO2. 

Pembeli kredit karbon adalah industri, negara, atau perusahaan yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tinggi karena menggunakan bahan bakar fosil atau mengkonsumsi energi dalam jumlah yang besar. Misalnya pada pabrik baja, pembangkit listrik batubara, atau pembangkit listrik gas, pusat data, dan juga sektor transportasi.

Dalam pasar karbon, yang diberdagangkan sesungguhnya adalah hak atas emisi gas rumah kaca dalam satuan setara ton CO2 yang tercatat dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim.

Foto udara panel tenaga surya terpasang di atap Living quarter Harita Nickel, di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Rabu (17/9/2025) ( ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/rwa.)

Pasar Butuh Perlindungan

Perpres baru itu, menegaskan perlindungan untuk pelaku pasar, selain menyempurnakan koridor aturan yang telah ada selama ini.

CEO IOJI Mas Achmad Sentosa menyatakan, perhatian terhadap dekarbonisasi menjadi dorongan utama untuk meninjau dan mengevaluasi kembali kinerja pasar karbon Indonesia. Komitmen untuk melaksanakan Perjanjian Paris (Paris Agreement) dan memitigasi krisis iklim lewat National Determined Contribution (NDC) akan diuji dengan melihat cara Indonesia melindungi perdagangan karbon domestiknya.

"Penyelenggaraan nilai ekonomi karbon memerlukan instrumen safeguard sebagai pagar integritas untuk menjaga tujuan Paris Agreement terjaga, dan memperlancar bisnis ekonomi karbon berjalan sesuai prinsip transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab sosial, dan pencegahan sengketa," cetus Achmad saat memberikan sambutan.

Guna memastikan tujuan perdagangan karbon tercapai, IOJI bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kejaksaan Agung untuk mewujudkan sinergi pemerintah, pelaku pasar karbon, dan masyarakat untuk menjalankan instrumen safeguard tersebut.

Dalam pembagian peran antaragensi pemerintah itu, KLH berperan menyelaraskan perdagangan karbon dengan kebijakan lingkungan dan konservasi alam. KKP menjadi otoritas yang melindungi ekosistem kelautan yang memiliki daya serap karbon terbesar.

Sementara itu, Kejaksaan Agung menjamin kepatuhan serta penegakan hukum terhadap kasus-kasus kejahatan terkait karbon (carbon-related crime) yang sangat luas, mulai dari kejahatan penipuan, penggelapan, korupsi, hingga pencucian uang berselubung perdagangan karbon.

"Menjelang COP 30, kita diingatkan bahwa perjuangan menghadapi krisis iklim adalah komitmen bersama. Kita bersama-sama memastikan nilai ekonomi karbon tetap bertujuan mengatasi krisis iklim, dan tidak hanya semata-mata demi keuntungan ekonomi," pungkasnya.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq dan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono meluncurkan secara simbolis Instrumen Safeguard Nilai Ekonomi Karbon di Jakarta, Rabu (15/10/2025). Foto: SUAR/Chris Wibisana

Tutup celah

Mewakili Indonesia Carbon Trade Association (IDCTA), Novita Kumala menyatakan bahwa keharusan integritas reduksi karbon selama ini terasa cukup memberatkan bagi para pelaku usaha.

Untuk menjawab keragu-raguan terhadap integritas itu, sejumlah langkah dari sisi permintaan maupun penawaran telah ditempuh, seperti membentuk Integrity Council of Voluntary Carbon Market (ICVCM) pada 2021.

Novita menjelaskan, perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam pasar karbin membutuhkan sertifikasi Core Carbon Principles (CCP) dari ICVCM untuk bisa mendapatkan label integritas. Dari sisi pembeli, VCM Indonesia juga menyediakan aturan dan panduan untuk memastikan perusahaan pembeli itu genuine dalam misi dekarbonisasi.

"Integritas dalam hal ini jangan hanya dilihat dari satu pihak. Penegak hukum jangan hanya melihat dari sisi pengembang karbon, tetapi semua pihak berkepentingan dari hulu ke hilir," ucap Novita.

Instrumen safeguard yang dapat menjadi turunan Perpres 110/2025, menurut Novita, dibutuhkan untuk mengisi kekosongan peraturan dan kebijakan, bukan menambah-nambah aturan yang sudah ada sebelumnya. Dia mencontohkan, safeguard tidak perlu lagi mengatur mekanisme seperti Upaya Kelola Lingkungan Hidup (UKL) dan AMDAL, tetapi fokus pada aspek yang belum tercakup.

"Safeguard harus mengecek perusahaannya, apakah benar mereka mengimplementasikan dekarbonisasi atau tidak, ada dokumentasinya atau tidak, kalau tidak izin usahanya akan diapakan. Aturan tindak lanjut seperti ini yang belum ada," cetusnya.

Novita mengingatkan bahwa tujuan utama dalam proyek karbon adalah masyarakat yang terdampak krisis iklim. Untuk itu, keterbukaan informasi menjadi faktor utama yang pada akhirnya menentukan integritas pasar karbon.

"Safeguard dapat menjadi pedoman memperbaiki registry mechanism yang menyediakan dokumen proyek karbon secara transparan. Mekanismenya sudah ada, tetapi masih ada celah yang harus ditutup. Jangan sampai kepatuhan pelaku pasar karbon justru menambah cost karena menambah hal-hal yang sebenarnya tidak diperlukan," pungkas Novita.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional