Bunga Kian Murah, Saatnya Sektor Riil Ambil Kredit untuk Ekspansi

Terpicu oleh rententan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI), kalangan perbankan pun secara perlahan akan menurunkan bunga kredit mereka. Dengan makin murahnya bunga kredit, sektor riil bersiap untuk mengambil kredit investasi ataupun kredit modal kerja untuk siap berekspansi.

Bunga Kian Murah, Saatnya Sektor Riil Ambil Kredit untuk Ekspansi
Pekerja mengoperasikan ekskavator untuk mengeruk tanah di kawasan pembangunan Tol Serang-Panimbang seksi II, Cikulur, Lebak, Banten, Sabtu (6/9/2025). Pembangunan Jalan Tol Serang–Panimbang sepanjang 83,67 kilometer yang menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) ditargetkan dapat beroperasi penuh pada tahun 2027 mendatang dan diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten. ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/rwa.

Terpicu oleh rentetan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate), kalangan perbankan secara perlahan akan menurunkan bunga kredit mereka. Ketika bunga sudah murah, sektor riil pun bersiap mengambil kredit investasi ataupun kredit modal kerja untuk ekspansi bisnis.

Seperti dinyatakan Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno, penurunan BI Rate ini berdampak positif terhadap keberlangsungan dunia usaha – terutama yang berkaitan dengan ekspor.

Penurunan BI Rate memang strategis. Selain bisa menurunkan biaya dana (cost of fund), daya saing produk ekspor nasional pun meningkat dan mendorong pertumbuhan bisnis ekspor nasional. Pada gilirannya, pertumbuhan ekonomi bisa melaju lebih cepat lagi.

“Pemerintah sudah melihat perkembangan kondisi ekonomi sehingga menurunkan BI Rate. Saya mendukung keputusan ini karena bermanfaat sekali,” ujar Benny ketika ditemui dalam acara Roundtable Discussion SUAR.id di JS Luwansa Hotel,di Jakarta (18/9/2025).

Seperti diketahui, hasil rapat Dewan Gubernur BI September 2025, Rabu (17/9/2025), BI menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poins menjadi 4,75%. Dus, sepanjang tahun ini, BI sudah menurunkan BI Rate lima kali. Yakni, pada Januari, Mei, Juli, Agustus, September. Masing-masing penurunan sebesar 25 basis poins.

"Dengan BI rate di angka 4,75%, biaya dana pinjaman lebih murah, sehingga dapat mendorong perusahaan untuk meningkatkan aktivitas ekspornya," ujar Benny.

Senada dengan Benny, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana mengatakan, salah satu keuntungan dari penurunan BI Rate yang bisa dinikmati dunia usaha adalah biaya modal lebih rendah. Sehingga, pelaku usaha bisa mendorong bisnisnya.

Apalagi dunia usaha memerlukan bunga kredit yang lebih murah untuk kredit investasi maupun modal kerja. "Bunga yang lebih kompetitif bisa berdampak pada ongkos produksi yang bisa lebih kompetitif juga. Ujungnya adalah produksi kita bisa jauh lebih bersaing," ujar Danang.

Corporate Secretary Bank Mandiri M Ashidiq Iswara mengatakan, pihaknya memandang langkah BI menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,75% sebagai kebijakan moneter yang akomodatif dan selaras dengan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Penurunan suku bunga acuan yang dilakukan untuk kelima kalinya pada tahun ini diharapkan mampu memperkuat transmisi likuiditas ke sektor perbankan dan perekonomian riil, dengan tetap menjaga stabilitas inflasi serta nilai tukar.

Sejalan dengan hal tersebut, Bank Mandiri berkomitmen untuk mendukung percepatan penurunan suku bunga kredit secara sehat dan terukur. "Khususnya dalam mendorong sektor-sektor produktif dan strategis yang berorientasi pada penguatan daya saing ekonomi domestik sejalan dengan Asta Cita pemerintah," ujar Ashidiq, Kamis pekan lalu.

Bank Mandiri menegaskan bahwa penyesuaian suku bunga kredit pada portofolio berbasis reference rate telah dilakukan sesuai tren penurunan BI Rate. Di mana, efektivitas transmisi dipengaruhi oleh likuiditas industri, struktur biaya dana, dan strategi komunikasi kepada nasabah.

"Dalam melakukan penyesuaian suku bunga kredit dan simpanan, kami senantiasa mengedepankan prinsip kehati-hatian dengan mempertimbangkan likuiditas internal, perkembangan pasar, dan kebijakan moneter yang berlaku," ujar Ashidiq.

Untungkan konsumen dan pelaku usaha

Pengamat ekonomi Institute for Development Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto sepakat, pemangkasan BI Rate yang dilakukan BI menguntungkan konsumen dan pelaku usaha.

Dampak bagi pelaku usaha adalah biaya pinjaman lebih rendah, perusahaan dan UMKM dapat memperoleh modal dengan biaya bunga yang lebih murah. Ini memungkinkan mereka untuk berekspansi dan meningkatkan produksi. 

Penurunan BI Rate juga memberikan dampak terhadap konsumen, karena bisa mendorong daya beli. Biaya kredit pun menjadi lebih terjangkau untuk pembelian rumah atau kendaraan. Ini dapat meningkatkan permintaan di sektor-sektor tersebut, sehingga mendorong aktivitas ekonomi secara keseluruhan. 

“Masyarakat yang memiliki pinjaman dapat merasakan penurunan cicilan utang, yang memberikan ruang lebih untuk mengalokasikan dana ke kebutuhan lain,” ujar Eko kepada SUAR di Jakarta (20/9/2025).

Kepala Ekonom BCA David Sumual mengatakan, pelaku usaha – khususnya korporasi besar – sejatinya sudah meningkatkan belanja modal sejak triwulan kedua dan triwulan ketiga. Dari data tim ekonom BCA, peningkatan belanja modal perusahaan pada sampai dengan awal September mencapai 11,25% YoY. Artinya, meningkat ketimbang sepanjang triwulan kedua yang sebesar 4,40% YoY dan triwulan pertama yang sebesar 3,02% YoY.

"Secara natural memang pelaku usaha ini harus terus berekspansi untuk meningkatkan kapasitas domestiknya. Sebab, populasi Indonesia ini terus bertumbuh. Ini harus dipenuhi pasokannya oleh pelaku usaha," ujar David.

Apalagi saat ini dengan BI Rate terus turun, mengindikasikan bunga kredit bank bisa ikut turun – sehingga makin merangsang kredit sektor riil.

BI ikut pacu kredit sektor riil

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, keputusan BI menurunkan BI Rate, salah satunya, memang bertujuan untuk memacu sektor riil.

"Kebijakan moneter longgar juga mendorong kenaikan jumlah uang beredar, dan diperkirakan akan meningkat sejalan dengan ekspansi kebijakan fiskal pemerintah untuk mendorong sektor riil," ujar Perry.

Menurut Perry, pertumbuhan kredit perbankan perlu terus didorong untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Kredit perbankan pada Agustus 2025 belum kuat, meskipun meningkat dari Juli 2025 sebesar 7,03% YoY menjadi 7,56% YoY pada Agustus 2025.

Dari sisi permintaan, belum kuatnya perkembangan kredit dipengaruhi oleh sikap menunggu pelaku usaha (wait and see), suku bunga kredit yang masih tinggi, dan lebih besarnya pemanfaatan dana internal untuk pembiayaan usahanya.