Bioetanol Bisa Bikin Negara Hemat Devisa Rp 46,5 Triliun per Tahun

Pemerintah berpotensi menghemat hingga Rp46,5 Triliun per tahun dengan melakukan inovasi peningkatan bauran 5% bioetanol pada bensin atau E5, sekaligus bisa membuka 75.000 lapangan kerja baru

Bioetanol Bisa Bikin Negara Hemat Devisa Rp 46,5 Triliun per Tahun
Petani memanen sorgum di Pusat Pengembangan Sorgum Nasional, Sein Farm, Bandung, Jawa Barat, Kamis (27/11/2025). Sorgum merupakan salah satu penghasil molase yang potensial untuk produksi bioetanol, di samping tebu dan singkong. Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/YU
Daftar Isi

Pemerintah berpotensi menghemat hingga Rp 46,5 Triliun per tahun dengan melakukan inovasi peningkatan bauran 5% bioetanol pada bensin atau E5, sekaligus bisa membuka 75.000 lapangan kerja baru, demikian pemaparan berjudul Revitalisasi Bioetanol Jalan Menuju Kemandirian Energi.

Laporan yang diterbitkan Medco per hari ini (8/12/2025) menyebutkan impor BBM terus meningkat karena konsumsi bensin domestik yang mencapai 36 kiloliter (kL) per tahun. Hal itu kian menggerus cadangan devisa untuk alokasi impor dan subsidi BBM.

"Di tengah upaya global menuju transisi energi bersih, Indonesia sebagai negara agraris dan tropis memiliki peluang besar dalam mengembangkan bioenergi, khususnya bioetabol," demikian laporan tersebut.

Dalam penciptaan lapangan kerja, pengembangan lahan seluas 100 ribu hektare untuk tanaman tebu dan singkong di Jawa Tengah diperkirakan dapat menyerap sekitar 150 ribu pekerja.

Sementara di Papua Selatan, pembukaan 50 ribu hektar lahan diproyeksikan menyerap 75 ribu pekerja. "Dari pekerja pabrik sampai rantai pasoknya bisa menyerap lebih dari 100 ribu orang," demikian laporan tersebut.

Direktur Utama Sinergi Gula Nusantara Mahmudi menjelaskan terdapat dua tantangan utama untuk mencapai potensi tersebut. Di sektor hulu, peningkatan produktivitas tebu perlu dilakukan bersamaan dengan diversifikasi bahan baku seperti sorgum dan aren.

"Dengan rata-rata produktivitas gula hanya 5 ton per hektare kebun tebu dan 86% tebu rakyat membutuhkan replanting guna memastikan mutu pembentukan sukrosa dalam molase, persoalan bahan baku bioetanol belum diatur secara saksama," kata Mahmudi dalam suatu diskusi di Jakarta, Senin (8/12) .

Peraturan Presiden Nomor 40/2023 yang menjadi regulasi dasar penyediaan bahan baku bioetanol pun belum menegaskan ini secara serius. Di sisi hilir, pemasaran bioetanol dan kendaraan bermesin fleksibel membutuhkan insentif yang menarik agar mampu bersaing di pasar.

"Akibatnya, petani sekarang dibuat transaksional saat menjual ke pabrik gula. Pola penataan varietas menjadi kurang tepat, dan karena semuanya dikumpulkan di akhir, pabrik menggiling tebu yang belum benar-benar masak. Akibatnya, angka panen tebu tidak mencerminkan kualitas rendemen," ucap Mahmudi.

Meski demikian, dalam kurun 2024-2025, petani mulai melihat industri gula sebagai komoditas unggulan mereka, ditandai perluasan lahan perkebunan tebu sekitar 40.000 hektare. Menurut Mahmudi, dengan ketersediaan bibit yang cukup untuk penanaman tebu baru, tidak perlu ada kekhawatiran ketersediaan bahan baku, terutama dalam persaingan antara molase bahan baku etanol dan produksi gula.

"Kebutuhan molase untuk industri makanan-minuman tidak lebih dari 500.000 ton. Selebihnya, ada 800.000 ton lebih yang diekspor. Kalau bioetanol menjadi mandatory, ekspor inilah yang perlu ditahan. Tidak ada pertentangan dengan industri makanan, karena kalau dipertentangkan terus, bioetanol niscaya tidak akan jalan," tegasnya.

Diversifikasi bahan baku

Di samping memacu peningkatan produktivitas tebu melalui replanting dan perluasan lahan, Vice President of Technology and Engineering Pertamina NRE Nanang Kurniawan menjelaskan, diversifikasi bahan baku atau multi feedstock menjadi strategi yang ditempuh untuk meningkatkan akselerasi bioetanol. Jerami, sekam, sorgum, aren, tongkol jagung, tandan kosong kelapa sawit, hingga mikroalga memiliki kandungan molase yang dapat diekstrak sebagai bahan baku.

"Dengan kebutuhan bensin domestik 36 juta kL, kalau mengandalkan produktivitas tebu, hanya akan tercukupi 10%, dan itupun perlu waktu. Karena itu, kami memanfaatkan kapasitas produksi molase 1,7 juta ton yang existing, sebelum memetakan pembangunan pabrik-pabrik baru," ucap Nanang.

Kapasitas pabrik saat ini, menurut Nanang, memungkinkan produksi 200,5 ribu kiloliter bioetanol dalam 2-3 tahun ke depan. Saat ini, dengan perluasan dan peningkatan produktivitas bahan baku, kapasitas ini dapat berlipat ganda sehingga bauran 10% bioetanol dapat dipercepat.

"Studinya sudah banyak, dan perlu kolaborasi berbagai pihak dengan pertanian, pihak kampus, media, dan juga masyarakat. Kami akan mulai quick-win dalam waktu cepat bisa tereksekusi. Penting juga kebijakan yang mendorong dari sisi pricing, di samping juga permintaan," jelasnya.

Pengajar Fakultas Pertanian dan peneliti Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada Prof. Dr. Irham menambahkan, selain intensifikasi tebu, singkong dan sorgum dapat segera diprioritaskan dalam jangka pendek. Menghadapi masalah serupa, petani singkong cenderung melakukan penanaman berulang mengakibatkan kualitas sukrosa dalam molase untuk bahan baku bioetanol juga berkurang.

"Persaingan singkong masih cukup tinggi karena bersaing dengan produksi tapioka. Berbeda dengan sorgum yang hampir tidak ada persaingan karena fungsi utamanya untuk pakan, maka sorgum bisa dikonsentrasikan untuk produksi bioetanol," jelas Irham.

Ketua Program Studi Pascasarjana Fakultas Pertanian UGM tersebut menegaskan bahwa regulasi yang melarang ekspor molase menjadi kebutuhan utama agar ekosistem produksi bioetanol dapat berkembang. Regulasi yang kuat, menurut Irham, akan menjadi landasan sinergi hulu ke hilir agar produksi bioetanol tidak sekadar menjadi wacana.

"Sistemnya harus closed loop, karena posisi petani kita masih lemah. Kalau terbuka, petani akan habis. Untuk bisa mencapai ini, butuh penyuluhan, terutama dari perusahaan yang bergerak di bioetanol untuk menjelaskan A to Z kepada petani dan mencegah moral hazard akibat kesenjangan pengetahuan," pungkasnya.

Petugas UPT Metrologi Legal Kabupaten Boyolali melihat takaran Bahan Bakar Minyak (BBM) pada alat bejana ukur saat sidak pengawasan di SPBU Mudal, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (8/12/2025). (ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/nz.)

Insentif menentukan

Dengan pemantapan produktivitas dan diversifikasi di sisi hulu, insentif untuk meningkatkan permintaan diperlukan dari sisi hilir. Vice President Business Development Pertamina Patra Niaga Sigit Setiawan menyatakan, peta jalan industri bioetanol sejatinya dapat berkaca pada kesuksesan biodiesel yang saat ini sudah berhasil mencapai bauran B40.

"Dari B2,5 pada 2008, kita tidak punya mimpi bisa mencapai B40 seperti saat ini. Dengan koordinasi berbagai pihak, ada pemerintah yang mendesain dan memutuskan agar gap harga antara energi nabati dan energi fosil ditanggung BPDP Kelapa Sawit. Inilah yang menyebabkan bauran biodiesel bisa naik dari tahun ke tahun," ujarnya.

Sigit menggarisbawahi, dari keberhasilan biodiesel, terdapat empat pertimbangan dalam memasarkan energi nabati di Indonesia: availability, accessibility, affordability, dan sustainability. Contoh paling sederhana adalah lokasi pengolahan pabrik yang harus dipikirkan, karena terminal BBM yang terletak di pinggir pantai tidak dapat diaplikasikan pada produksi BBM bioetanol.

Keekonomian menjadi faktor lain yang harus dipertimbangkan. Sigit mengungkapkan, faktor inilah yang menjadi tantangan utama Pertamina Patra Niaga untuk memperluas ekspansi bioetanol yang dipasarkan dengan jenama Pertamax Green sejak Oktober 2023.

"Selain membeli etanol sendiri dengan Harga Indeks Pasar Rp8.500 per liter, kami juga harus membayar cukainya sebesar Rp20.000 per liter. Respons masyarakat sangat baik, tetapi scale up tidak bisa ekspansif karena pengenaan cukai ini membuat kami masih merugi," jelasnya.

Sebagai produsen, Sigit menilai insentif pembebasan bea cukai untuk produk etanol sebagai komponen bensin perlu diperhatikan. Saat ini, produksi Pertamax Green baru terpusat di dua terminal BBM, yakni di Surabaya, Jawa Timur dan di Plumpang, Jakarta Utara. Produksi bioetanol di Surabaya telah berhasil bebas cukai, meski melewati prosedur yang panjang, tetapi pembebasan cukai untuk hasil produksi terminal Plumpanglah yang menentukan ekspansi Pertamax Green.

Tidak hanya dari permintaan masyarakat, kesiapan pasar otomotif pun menentukan keberhasilan serapan bioetanol sebagai BBM. Direktur Produksi dan Kontrol Logistik Toyota Motor Manufacturing Indonesia Koko Widjanarko menjelaskan, kendaraan bermesin flex fuel yang dapat menerima bensin bauran saat ini baru dipasarkan di Thailand, India, dan Brazil.

"Indonesia punya berbagai potensi, dan kami berusaha comply. Prototype kendaraan E85 sudah ada dan teknologinya sudah siap, tetapi perlu dipastikan dulu permintaan bioetanol dari masyarakat untuk bisa membuat pengadaan masif untuk seluruh Indonesia," ucap Koko.

Penulis

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Wartawan Makroekonomi, Energi, Lingkungan, Keuangan, Ketenagakerjaan, dan Internasional