Bersiap Hadapi Ancaman Radiasi (3)

Indonesia belum siap mencegah ancaman paparan radiasi yang bisa terjadi kapanpun dan dimanapun. Perlu peningkatan prosedur dan penguatan regulasi.

Bersiap Hadapi Ancaman Radiasi (3)
Papan peringatan terkait bahaya radiasi di Kawasan Industri Modern Cikande (Suar.id/Dian Amalia)
Daftar Isi

Di pinggir jalan ke arah pabrik PT Bahari Makmur Sejati 2, sebuah mobil angkot tua berwarna merah berkarat tampak terparkir dengan pintu belakang terbuka. Di dalamnya, serbuk bahan minuman dalam kemasan sachet renteng berwarna-warni tergantung di sisi kiri, sementara di dasar jendela yang jadi alas dagangan, roti dan gorengan masih tersusun rapi di atas nampan, nyaris tak tersentuh meski hari sudah beranjak siang. 

Di dalam mobil itu, Bu Masti, begitu ia akrab dipanggil, duduk sendiri di atas bangku kayu kecil, tersenyum ramah saat SUAR menghampiri, Jumat 17 Oktober 2025 lalu. Di depannya, empat kardus air mineral masih utuh. Pembeli seperti menghilang sejak pabrik di ujung jalan itu berhenti beroperasi akibat kasus radiasi. “Sekarang mah seadanya aja, neng,” katanya.

Ia berharap pabrik bisa beroperasi lagi sehingga warungnya kembali ramai. Sebelumnya di wilayah pabrik sudah dilakukan dekontaminasi. Namun warga seperti Bu Masti tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi khususnya di dalam pabrik. “Nggak ada yang ngasih tahu,” katanya. “Kalau dengar-dengar sih, udah dibersihin. Tapi kami nggak tahu,” ujarnya lagi. 

Warga menaiki sepeda listrik saat melintas di dekat plang pengawasan kerawanan bahaya radiasi yang terpasang di lokasi ditemukannya cemaran Cesium-137 (Cs-137) di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten, Kamis (2/10/2025). ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto

Bagi Bu Masti, persoalannya sederhana: bagaimana bertahan hidup. Karena ketika pabrik berhenti beroperasi, bukan cuma produksi yang terhenti, tapi juga aliran uang di kantong para penjual, tukang parkir, dan pedagang kecil yang bergantung pada pekerja pabrik.

Tak jauh dari warung Bu Masti, di dekat bangunan pabrik PT Jongka Indonesia yang pada saat itu baru dinyatakan aman dari paparan radioaktif, seorang penjual minuman keliling yang menjajakan minumannya di mobil pikap sederhana, Andi Buang, masih semangat bekerja mencari nafkah.

Ia mengaku meski ada insiden paparan radioaktif Cesium-137 ini tidak terlalu memberikan dampak yang signifikan terhadap usaha jualan minumannya. Ia juga tidak mendapatkan perintah untuk berhenti berjualan di zona merah kawasan tersebut. “Nggak ada (sosialisasi), aman-aman aja, gak ada larangan. Tapi kalau ada larangan mah kita gimana?” tanyanya. 

Sembari menyiapkan puluhan minuman es teh untuk para pekerja pabrik di kawasan tersebut, Andi yang sudah tinggal di kampung dekat dengan lokasi kejadian sejak sekitar tahun 1980-an itu mengaku tidak takut terkait dengan masalah paparan radioaktif yang menerpa kawasan industri.

Ia malah takut jika banyak karyawan yang diliburkan akibat insiden itu, sehingga berpengaruh pada omzet usahanya. Karenanya ia minta Pemerintah segera bisa menyelesaikan masalah ini. 

“Ya kasihan itu karyawan-karyawan yang terdampak, yang di sini kan ada juga yang jemputan karyawan-karyawan itu yang terdampak. Ada juga yang sering nongkrong di sini menjemput, semenjak pabriknya ditutup ya hampir mau jalan tiga bulan,” lanjutnya.

Perlunya penyelidikan menyeluruh 

Paparan radiasi yang terjadi di Cikande memang berdampak luas bagi masyarakat, juga ke perekonomian. DI sisi lain, prosedur penanganan kasus seperti ini perlu lebih diperkuat di masa depan. 

Dr. Ir. Arnold Sutrisnanto, Ketua Umum Masyarakat Energi Baru Nuklir Indonesia (MEBNI) menekankan bahwa radiasi sendiri tidak selalu berbahaya, karena merupakan bagian alami dari alam semesta. “Tubuh manusia pun memancarkan radiasi, begitu pula matahari. Hanya saja, tingkat paparan dan lama terpapar menentukan dampaknya bagi kesehatan,” ujarnya.

Petugas kesehatan mengambil sampel darah warga terdampak radiasi saat pemeriksaan kesehatan di Puskesmas Cikande, Kabupaten Serang, Banten, Rabu (22/10/2025). ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto

Meski begitu. ia menambahkan, masalah utama bukan pada tingkat paparan, melainkan pada sistem pengawasan di Indonesia yang gagal mendeteksinya. “Kita kecolongan dua kali: pertama, udang mengandung radiasi lolos dari pelabuhan Indonesia; kedua, baru ketahuan setelah sampai di Amerika,” katanya.

Paparan tersebut diperkirakan dapat menyebar hingga dua kilometer dan berpotensi mencemari pabrik pengemasan udang di sekitar lokasi. “Ada juga kemungkinan lain, kontainer pengangkut udang menggunakan kontainer bekas angkutan scrap dari pabrik tersebut. Jadi bukan udangnya yang langsung terpapar, tapi wadahnya,” tambahnya. Arnold menekankan bahwa penyelidikan masih harus dilanjutkan untuk memastikan versi mana yang benar.

Menurut Arnold, apapun penyebabnya, kasus ini termasuk tindakan kriminal. “Ada hukum yang jelas mengatur penggunaan, penyimpanan, dan pembuangan bahan radioaktif. Kalau ada penyalahgunaan atau penyelundupan tanpa izin, itu pidana,” tegasnya.

Arnold menjelaskan, batas aman radiasi dalam makanan seperti udang beku adalah 1.200 Bq/kg. Dengan demikian, kadar 68 Bq/kg yang ditemukan di Amerika masih jauh di bawah ambang batas aman dan seharusnya tidak membahayakan kesehatan. Namun, persepsi publik berbeda. “Begitu mendengar kata ‘radiasi’ atau ‘nuklir’, orang langsung takut, meski levelnya kecil. Karena itu, produk bisa tetap ditolak oleh pasar luar negeri,” katanya.

Petugas BPBD mendata warga terdampak radiasi Cesium-137 (Cs-137) yang akan menempati tempat relokasi sementara di Desa Sukatani, Cikande, Kabupaten Serang, Banten, Rabu (22/10/2025). ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto

Arnold merinci tiga faktor yang menentukan tingkat bahaya radiasi, yaitu jarak – semakin jauh, maka semakin lemah efeknya. Kemudian waktu – semakin lama terpapar, semakin besar dampaknya, dan ketiga perlunya ada Pelindung (shielding),  misalnya pakaian pelindung atau dinding penahan.“Radiasi tidak bisa dihindari sepenuhnya, tapi bisa dikendalikan,” jelasnya. 

Ia pun mengingatkan pentingnya koordinasi antar lembaga dalam pengawasan dan pengamanan bahan radioaktif, terutama pada aktivitas ekspor-impor.“Idealnya Bapeten atau Badan Pengawas tenaga Nuklir bekerja bersama Direktorat Jenderal Bea Cukai, aparat keamanan, dan lembaga terkait lainnya. “Kalau jalur resmi, biasanya mudah terdeteksi. Tapi kalau lewat penyelundupan, itu jadi ranah aparat penegak hukum,” ujarnya.

Ia menyatakan perlunya penguatan fungsi dan tugas Bapeten dalam pengawasan penggunaan materi berbahaya seperti ini. Juga Penyempurnaan alat monitoring agar deteksi bisa lebih akurat dan cepat. “Kasus di Amerika harus jadi pelajaran. Kalau di sana bisa mendeteksi 68 Bq/kg, kenapa di Indonesia tidak? Itu artinya sistem monitoring kita masih perlu diperbaiki,” ujar Arnold.

Penguatan dalam pengawasan

Sedangkan Plh Kasubdit Impor Direktorat Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea Cukai, Kementerian keuangan Chairul Anwar memaparkan bahwa secara teknis, setiap barang yang masuk ke Indonesia wajib melalui proses pemberitahuan dan pemeriksaan. 

Bea Cukai bekerja sama dengan instansi teknis lain seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Bapeten akan selalu memastikan barang-barang tersebut memenuhi ketentuan larangan dan pembatasan (lartas).

Namun, Chairul mengakui bahwa untuk mendeteksi barang yang terpapar radiasi, bukan yang mengandung bahan radioaktif secara langsung, masih ada keterbatasan. “Kalau bahan radioaktif seperti uranium atau senyawa tertentu, itu jelas kode HS-nya dan bisa kami deteksi. Tapi kalau barangnya terpapar radiasi, belum ada sistem yang bisa otomatis membaca itu,” jelasnya.

Tim Satgas Bidang Mitigasi dan Penanganan Kontaminasi Sumber Radiasi melakukan dekontaminasi terhadap material yang tercemar radiasi Cesium-137 (Cs-137) di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten, Senin (20/10/2025). ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto

Chairul menyinggung pentingnya penggunaan alat pemindai radiasi (radiation portal monitor/RPM) di pelabuhan-pelabuhan besar. Saat ini, beberapa pelabuhan seperti Tanjung Priok telah memiliki X-ray container dan hipo scan untuk pemeriksaan umum, namun belum semuanya dilengkapi detektor khusus radiasi.

“Ada teknologi yang bisa mendeteksi radiasi di kontainer, tapi alatnya terbatas. Kami di Bea Cukai hanya memastikan barangnya di scan sesuai kewajiban, sementara kalau ada indikasi radiasi, tentu itu ranahnya BAPETEN yang punya kewenangan pengukuran dan verifikasi,” ujarnya.

Chairul menambahkan bahwa kerja sama lintas lembaga perlu diperkuat agar sistem deteksi dini terhadap barang impor atau ekspor yang terpapar radioaktif bisa dijalankan lebih efektif. “Idealnya, ada mekanisme kerja yang jelas. Kalau detektor bunyi, barangnya dipisahkan dulu di lokasi tertentu, lalu ditangani dengan prosedur dekontaminasi yang sesuai,” katanya.

Selain jalur laut, Chairul menyoroti bahwa potensi masuknya barang terpapar radiasi juga bisa melalui berbagai pintu lain seperti jalur udara, pos kilat, maupun kiriman PMI (Pekerja Migran Indonesia). “Hampir semua barang bisa berpotensi terpapar. Tidak hanya dari kontainer besar, tapi juga lewat paket kiriman, kargo udara, atau barang pribadi penumpang,” katanya.

Kesadaran bersama cegah musibah terulang

Dengan adanya musibah ini menurut Dicky Edwin Hindarto, dari Thamrin School - Climate and Sustainability, diharapkan bisa menyadarkan semua pihak tentang pentingnya kepedulian terhadap isu lingkungan yang semakin sering muncul belakangan ini. 

Menurutnya, kasus ini bukan sekadar persoalan ekspor, melainkan sinyal bahwa sistem pengawasan kita memiliki celah besar, terutama dalam memastikan keamanan produk yang keluar dari Indonesia.

“Ketika udang kita ditolak, orang berpikir Amerika berlebihan. Tapi kalau ternyata ada kebenaran di balik alasan itu, ini jadi masalah besar. Karena bukan cuma soal udang dari Banten atau Surabaya, tapi seluruh ekspor kita berpotensi terdampak,” ujarnya.

Dicky memperkirakan, jika persoalan ini tidak segera ditangani dengan serius, potensi kerugian ekonomi Indonesia bisa mencapai US$ 20 miliar, mengingat Amerika adalah pasar utama ekspor udang nasional.

Ia menambahkan, kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena lokasi industri tersebut berdekatan dengan kawasan permukiman. Radiasi, menurutnya, bersifat akumulatif, semakin lama terpapar, semakin besar resikonya bagi kesehatan warga.

Warga mengisi formulir pendataan masyarakat terdampak radiasi radionuklida Cesium-137 (Cs-137) di sekitar Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten, Senin (20/10/2025). ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto

“Bayangkan masyarakat sekitar, anak-anak, ibu-ibu, atau pekerja yang setiap hari berada di sana. Apakah paparan mereka sudah pernah diukur? Bahkan tukang warteg pun bisa terpapar tanpa tahu,” katanya.

Dicky menyoroti lemahnya pengawasan terhadap barang impor yang masuk ke Indonesia. Ia menyebut, bahan baku yang menjadi sumber paparan kemungkinan masuk melalui jalur impor resmi, yang seharusnya sudah diawasi lembaga negara.

Ia mencontohkan banyak komoditas lain yang berpotensi membawa kontaminan serupa, mulai dari logam bekas, kertas bekas, pakaian bekas, hingga bahan kimia industri seperti semen dan pupuk. “Kita impor banyak sekali barang, dan kalau tanpa pengukuran radioaktif, semuanya bisa berpotensi bahaya,” katanya.

Dicky juga menyoroti belum jelasnya standar nasional penanganan dekontaminasi terhadap paparan radioaktif di tingkat industri maupun masyarakat. Ia menyebut, dalam kasus Fukushima di Jepang, wilayah terdampak dilarang ditempati selama bertahun-tahun hingga benar-benar dinyatakan aman.

Di sisi lain, ia mengapresiasi langkah awal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang sudah mulai melakukan penanganan dekontaminasi dan mempertimbangkan relokasi warga. Namun, ia menekankan bahwa pendekatan penanganan harus komprehensif, tidak hanya sementara.

“Radioaktif itu kayak orang toksik, harus dijauhkan dulu. Tapi setelah itu, bagaimana cara membersihkan lingkungan dan memastikan tidak ada paparan lanjutan? Itu yang harus dijawab bersama,” ujarnya.

Dicky juga mengingatkan jika warga  Indonesia selama ini belum cukup sadar dengan risiko nuklir dan radioaktif di sekitar kehidupan sehari-hari. “Kita belum punya PLTN, tapi manusianya sudah bisa terpapar radiasi. Itu artinya ada yang salah dalam sistem kita. Jangan sampai tiba-tiba semua orang BPS-nya naik karena paparan radiasi yang kita sendiri tidak pernah ukur,” katanya. 

Melihat persoalan secara proporsional

Sementara Kepala Pusat Kebijakan Strategis Badan Kajian Strategis Daerah dan Nasional (BKSDN) Kementerian Dalam Negeri, Fahsul Falah menekankan pentingnya melihat persoalan radioaktif secara proporsional dan solutif, bukan dengan rasa takut atau antipati berlebihan.

“Jangan kita lihat radioaktif ini hanya sebagai musibah. Memang musibah, tapi yang terpenting adalah mencari solusinya. Kalau kita gagal dan bingung, akhirnya kita jadi antipati dengan radioaktif. Padahal, apakah Indonesia tidak boleh punya nuklir? Apakah kita harus takut dengan radioaktif?” ujar Fahsul.

Menurutnya, masyarakat perlu memiliki kemerdekaan berpikir dan kemampuan untuk bersikap kritis terhadap isu-isu seperti ini. Ia mencontohkan, radiasi sebenarnya bukan hal asing dalam kehidupan sehari-hari. “Radiasi itu setiap hari kita temui, misalnya dari sinar matahari. Pagi hari itu baik, tapi kalau berlebihan bisa menyebabkan kanker kulit. Jadi intinya bukan menolak radiasi, tapi bagaimana kita mengelolanya,” jelasnya.

Sedangkan Haendra Subekti Deputi Bidang Pengkajian Keselamatan Nuklir Bapeten menjelaskan, selama ini pemakaian unsur radioaktif di Indonesia selalu diawasi oleh Bapeten. Persoalanya memang di pengawasan saat barang masuk  atau ke luar dari Indonesia yang perlu diperketat. 

Selain itu juga perlunya prosedur yang bisa dipahami semua pihak tentang pengelolaan limbahnya. Ketika sudah selesai penggunaannya, maka ada langkah-langkah yang perlu ditaati agar tidak merusak lingkungan. 

“Misalnya kalau untuk industri, logam, itu biasanya umur paruhnya ada sekitar 3 bulan, 100 hari. Nah kalau sudah 3 bulan dianggap tidak bisa digunakan lagi. Nah, kalau sudah tidak digunakan lagi, itu alurnya adalah dikirim ke luar negeri kalau dia impor, kalau dia produksi dalam negeri nanti dikirim ke tempat pelimbahan, yaitu di Serpong,” jelas Haendra.

Namun, jika karena satu hal tidak bisa dikirim, misalnya perusahaannya bangkrut, atau perusahaan yang di luar negeri sudah tidak ada, nanti bisa dikirim ke tempat pelimbahan di Serpong. “Bapeten bisa membantu bagi perusahaan yang memang tidak memiliki dana, karena bangrut untuk pengelolananya,” katanya. 

Mukhlison, Dian Amalia, dan Gema Dzikri