Satu babak baru dicapai setelah proses negosiasi yang panjang. Hari Ahad di Kantor Pusat Uni Eropa Berlaymont Building, Brussel, 13 Juli 2025 lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan European Union Commissioner for Trade and Economic Security Maroš Šefčovič menandatangani exchange letter yang menjadi pedoman untuk mengakselerasi penyelesaian perjanjian Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).
Kesepakatan ini ditargetkan bisa ditandatangani secara resmi di Indonesia pada bulan September mendatang. Menko Airlangga melanjutkan, pada saat Komisioner Maros datang ke Indonesia di September 2025 mendatang, sudah ada semacam notulen atau memorandum yang bisa ditandatangani. Dari sana akan dilanjutkan proses secara hukum, di mana ini membutuhkan ratifikasi dari 27 negara anggota Uni Eropa dan juga di Indonesia.
Dalam dokumen perjanjian itu, beberapa komoditas utama yang mendominasi ekspor Indonesia ke UE, yakni minyak kelapa sawit dan turunannya, bijih tembaga, fatty acids (oleokimia), produk alas kaki, bungkil kelapa, besi baja, lemak cokelat dan kopra, serta produk berbasis karet dan mesin.

Indonesia tengah memasuki fase strategis dalam memperkuat hubungan ekonominya dengan Uni Eropa (UE) melalui perjanjian Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Hubungan ekonomi antara Indonesia dan UE terus menunjukkan tren positif dengan nilai perdagangan mencapai USD 30,1 miliar pada 2024. Neraca perdagangan antara kedua pihak juga tetap surplus bagi Indonesia, dengan peningkatan signifikan dari USD 2,5 miliar di 2023 menjadi USD 4,5 miliar pada 2024.
Berdagang ke Eropa, sebuah jalan keluar
Pemerintah menargetkan 20 komoditas primadona ekspor Indonesia ke Uni Eropa. Perdagangan komoditas ini akan memperoleh keuntungan dari hasil implementasi IEU CEPA pada akhir 2026.
Menko Airlangga Hartarto percaya diri, nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa sendiri akan meningkat hingga 50% dalam tiga tahun setelah implementasi IEU CEPA berjalan. Nilai ekspor Indonesia ke EU sendiri pada 2024 sebesar US$ 17,3 miliar atau naik 4,01% dari tahun sebelumnya.
Peningkatan nilai ekspor itu disebabkan semakin terbukanya akses pasar komoditas ekspor andalan Indonesia ke Uni Eropa, karena tarif perdagangannya akan mencapai 0%. Terdiri dari 98,61% dari total pos tarif, dan 100% dari total nilai impor Uni Eropa dari Indonesia.
Terbukanya pasar Eropa ini juga menjadi harapan baru bagi pengusaha Indonesia setelah adanya perang tarif yang diberlakukan Amerika Serikat. Negara-negara Benua Biru bisa menjadi pasar baru bagi produk-produk Indonesia.
Menteri Perdagangan Budi Santoso meyakini Uni Eropa bakal jadi potensi pasar dagang baru yang menjanjikan buat Indonesia. Bahkan, Budi bilang pasar Eropa jauh lebih besar potensinya daripada Amerika Serikat.
Dia memaparkan sampai saat ini, Uni Eropa mengimpor barang-barang dari seluruh dunia hingga sebesar US$ 6,6 triliun. Sementara itu, Amerika cuma mengimpor barang senilai US$ 3,3 triliun saja. Artinya, pasar Uni Eropa dua kali lebih besar potensinya daripada Amerika Serikat. "Ini alternatif baru ya buat pasar kita," sebut Budi.
Pasar Uni Eropa dua kali lebih besar potensinya daripada Amerika Serikat.
Menurutnya, bila Indonesia bisa lebih banyak memanfaatkan pasar dagang Uni Eropa, tentunya ini akan baik untuk menggenjot ekspor. Dan jadi alternatif pasar daripada yang sudah ada. "Jadi kalau kita bisa masuk lebih besar ke Eropa. saya pikir ini pasar yang bagus buat kita untuk alternatif pasar-pasar di negara lain," kata Budi.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita, setuju perjanjian IEU-CEPA dengan Uni Eropa yang akan segera berlaku ini, bisa menjadi alternatif positif bagi ekspor produk Indonesia. Apalagi saat perjanjian ini berjalan, tarif ekspor ke Eropa akan menjadi 0%.
Menurutnya, ini bisa menjadi peluang baru, meskipun tidak bisa dimanfaatkan dalam jangka pendek. Karenanya, sembari menunggu kepastian final dari Amerika Serikat soal tarif 19 %, Redma mengatakan pelaku usaha masih bisa terus menjalin komunikasi dengan pembeli di Amerika.
Selain Eropa, potensi pasar lain yang sudah terbuka adalah BRICS sebagai kawasan potensial. Salah satu anggota BRICS, Rusia menjadi negara dengan daya beli besar yang bisa dijajaki. Namun, ia menyebut hambatan utama bukan di pembeli, melainkan pada sistem transaksinya. “Semua transaksi masih pakai US$, lewat bank-bank yang terhubung ke Amerika,” katanya.

Redma menjelaskan, jika transfer dana terdeteksi berasal dari Rusia atau Iran, rekening bisa dibekukan. Situasi ini menjadi sisa dari ketegangan geopolitik lama antara Amerika Serikat dan Rusia. Untuk mengatasinya, ia menyebut opsi barter pernah dilakukan dan terbukti efektif di masa lalu. Pemerintah, menurutnya, harus turun tangan membuka jalan ekspor ke pasar-pasar alternatif seperti Rusia.
Produk Indonesia dan isu lingkungan
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menyatakan, pihaknya sangat mendukung langkah pemerintah dan memberikan apresiasi, terkait usaha pembukaan keran ekspor ke Eropa. Namun Gapki tidak yakin ekspor CPO ke Uni-Eropa bisa meningkat, karena masih ada hambatan non tarif yaitu regulasi deforestasi atau European Union Deforestation Regulation (EUDR).
Eropa masih menganggap CPO Indonesia tidak ramah lingkungan, isu ini sudah dihadapi bertahun-tahun tetapi belum menemukan kesepakatan. Dalam regulasi EUDR, Indonesia termasuk dalam kategori negara risiko menengah, artinya produk sawit dari Indonesia akan melalui pemeriksaan lebih ketat, termasuk pelacakan asal usul lahan (traceability) dan sertifikasi legalitas.
Solusi untuk permasalahan ini adalah pemerintah harus melakukan pendekatan lebih serius dan membawa bukti ilmiah bahwa produk CPO Indonesia aman dan sudah tidak merusak lahan.
Eddy menjelaskan saat ini, Gapki terus melakukan diversifikasi pasar tujuan ekspor, selain Amerika Serikat, negara anggota BRICS juga menjadi incaran. Amerika Latin dan Afrika menjadi pasar alternatif yang sedang dijajaki, Eddy juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap risiko resesi global yang bisa menekan permintaan ekspor secara umum, dan menegaskan pentingnya strategi yang tidak hanya reaktif terhadap Amerika Serikat, tetapi juga antisipatif terhadap dinamika global.
Peluang perluasan pasar ekspor tetap terbuka jika pemerintah serius menggarap kerja sama seperti IEU-CEPA dan BRICS.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto melihat peluang perluasan pasar ekspor tetap terbuka jika pemerintah serius menggarap kerja sama seperti IEU-CEPA dan BRICS. Menurutnya, pasar alternatif perlu dibangun dari sekarang untuk mengurangi ketergantungan terhadap AS. Namun ia mengingatkan hasilnya tidak akan terlihat dalam satu atau dua tahun.
“Penguatan strategi ekonomi harus dilakukan secara sistematis. Pemerintah perlu menjalankan business matching, promosi dagang, hingga aktivasi jaringan informasi ekonomi di negara-negara mitra. Kalau nggak dilakukan dari sekarang, ya susah,” kata Eko.
Pasar Uni Eropa disebut sebagai peluang yang menjanjikan karena permintaannya terhadap alas kaki dan apparel bahkan lebih besar daripada Amerika. Di sisi lain, pasar-pasar stabil seperti Tiongkok dan ASEAN juga perlu digarap lebih agresif. Dengan peta geopolitik saat ini, Eko menilai penting bagi Indonesia untuk segera memperluas basis ekspornya.
Menurutnya, perluasan atau pencarian alternatif pasar ekspor itu semua itu harus dimulai dari rencana yang konkret dan terukur. “Karena jaringan kita di Uni Eropa itu masih kecil. Harus dibangun, bukan ditunggu,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan reaksi sesaat terhadap kebijakan Amerika. Menurut Eko, BRICS cocok untuk sektor dengan daya saing harga tinggi. Sebaliknya, Uni Eropa lebih cocok untuk industri padat karya yang menonjolkan kualitas.
Untuk Uni Eropa, tantangannya adalah soal standar. Produk ekspor Indonesia harus memenuhi kualitas premium untuk bisa bersaing. Sementara di BRICS, tantangan utamanya adalah soal harga dan homogenitas produk.
Jika ingin bersaing di BRICS, strategi harga dan efisiensi biaya produksi harus diperkuat.
Jika ingin bersaing di BRICS, strategi harga dan efisiensi biaya produksi harus diperkuat. Negara seperti Malaysia juga mulai berminat bergabung ke dalam BRICS, sehingga persaingan akan makin ketat. Kerja sama energi dan bahan baku dinilai bisa jadi kunci agar Indonesia tidak tertinggal.