Pujangga Ronggowarsito pernah menggambarkan, waktu di mana manusia modern hidup akan menjadi situasi di mana orang yang tidak ikut gila, maka ia tidak akan kebagian, "ora edan ora keduman". Orang yang hidup lurus-lurus saja, maka dia akan terpinggirkan.
Istilah ini bisa diterjemahkan sebagai, manusia modern harus jadi gila agar bisa eksis. Lihat saja, manusia zaman sekarang tak pernah lepas dari daftar tugas. Mulai dari membuka mata di pagi hari, hingga menutupnya kembali di malam hari. Semuanya terjadwal rapi dalam to-do list harian.
Notifikasi, kalender digital, bahkan jam tangan pintar menjadi pengingat setia, agar tak ada satu pun momen yang terlewat. Manusia zaman ini harus selalu bekerja, bekerja dan bekerja hingga jam kerja semakin kabur batasnya. Semua itu dilakukan agar tak hanya sekedar bisa bertahan hidup, tapi juga dikenal, hingga diterima di komunitasnya.
Lalu apakah dengan bekerja, menghasilkan banyak karya, kita semakin memiliki hidup yang bermakna? Dulu produktivitas dinilai sebagai hasil kerja yang besar secara kuantitas. Tapi kini seiring kesadaran tentang hakikat hidup, produktivitas juga berarti bekerja dengan kesadaran, efisiensi, dan arah yang jelas.
Manusia modern, gara-gara ambisinya, ia menjadi manusia yang dikendalikan oleh ambisi itu sendiri. Ia kehilangan pengendalian diri. Bila merujuk pada filsafat Stoikisme yang mengajarkan pentingnya kebijaksanaan, pengendalian diri, dan ketenangan batin untuk mencapai kebahagiaan, manusia perlu berfokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan oleh dirinya sendiri.
Seperti pikiran dan tindakan, serta menerima dengan lapang dada hal-hal yang berada di luar kendali. Ajaran Stoik membuat batas produktivitas bukan tentang hasil fisik, tapi tentang sejauh mana seseorang menjalani hidup dengan kesadaran, ketenangan, dan kebajikan. Stoikisme menekankan pentingnya memilih tindakan yang bermakna, bukan hanya yang menghasilkan.
Soal bekerja dengan bermakna, Hannah Arendt, filsuf kelahiran Jeman yang besar di Amerika Serikat dalam bukunya The Human Condition, membedakan antara labor (kerja untuk bertahan hidup), work (menciptakan sesuatu yang bertahan), dan action (mengungkapkan siapa kita). Ia mengkritik masyarakat modern yang terlalu fokus pada produktivitas dan konsumsi, hingga kehilangan ruang untuk tindakan yang bermakna.
Bagi Arendt, masyarakat modern terlalu terfokus pada labor dan work, hingga kehilangan action yang merupakan inti dari makna menjadi manusia. Padahal, makna hidup itu terletak dalam tindakan yang spontan, penuh kebebasan, dan mampu membentuk dunia sosial.
Manusia dalam pandangan Arendt, perlu selalu peduli pada ruang publik dan kemampuannya untuk mengubah dunia lewat tindakan bersama. Ia mengingatkan kita jangan tenggelam dalam produksi tanpa refleksi. Teknologi bisa membuat kita efisien, tapi kita butuh ruang untuk bertindak, berinteraksi, dan menjadi diri sendiri.
Di tengah distraksi digital, kita perlu mengendalikan pikiran, memfilter informasi, dan fokus pada yang bisa kita kendalikan—yaitu niat, etika, dan respon kita sendiri terhadap dunia.
Di sisi lain, kita perlu menyadari, manusia bukan sekadar mesin kerja, tapi makhluk dengan ruh, yang haus akan keterhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Doa, zikir, dan kontemplasi memberi ruang untuk menata ulang makna kerja: bukan sekadar cari rezeki, tapi menunaikan amanah dan ibadah.
Nah, kini saatnya kita bertanya, apa yang sebenarnya sedang kita kejar sembari bekerja?