Indonesia bergantung pada impor untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan LPG dalam negeri, yang mencapai sekitar 80% dari total kebutuhan nasional. Meskipun Indonesia adalah produsen gas alam, produksi LPG dalam negeri tidak mencukupi, sehingga sisa kebutuhannya diimpor dari negara lain.
Ketergantungan pada impor LPG membebani neraca dagang maka dari itu, perlu dilakukan upaya untuk mengurangi impor LPG.
Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral dan Batu Bara Indonesia (Aspebindo) Anggawira mengatakan pemerintah berupaya mengurangi impor LPG dengan mencari substitusi, salah satunya melalui pengembangan Dimethyl Ether (DME) yang diharapkan dapat menggantikan LPG. Secara sederhana, DME adalah senyawa kimia yang bisa diolah untuk menjadi gas alam.
Pihaknya sangat mendukung rencana pengembangan DME, bahwa batubara kalori rendah memiliki struktur yang cocok untuk digunakan dalam hilirisasi batubara menjadi Dimethyl Eter (DME) sebagai substitusi dari LPG.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM tahun 2023 dan BP Statistical Review, Indonesia memiliki cadangan batu bara kalori rendah yang sangat besar, sekitar 65% dari total cadangan.
“Teknologi gasifikasi batu bara untuk menghasilkan DME sudah terbukti dan dikembangkan di berbagai negara. Proses ini mengubah batubara menjadi syngas, kemudian melalui beberapa tahapan dapat menghasilkan DME,” ujar dia dalam Diskusi “Future Gas Economy 2025”, di Jakarta (18/11).
Kebutuhan LPG nasional bisa mencapai sekitar 9 juta ton per tahun, namun produksi dalam negeri hanya sekitar 1,2 hingga 1,3 juta ton. Kekurangan ini dipenuhi dengan mengimpor hingga 7 juta ton LPG setiap tahunnya.
Porsi impor LPG terbesar datang dari Amerika Serikat, disusul oleh negara-negara lain seperti Uni Emirat Arab, Qatar, dan Arab Saudi. Dengan adanya rencana pengembangan DME maka Indonesia tidak lagi ketergantungan pada impor LPG dan berdampak positif pada neraca perdagangan.
Bio-CNG Bisa Jadi Alternatif Lain
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Liquefied and Compressed Natural Gas Indonesia (APL-CNGI) Dian Kuncoro mengatakan selain DME, alternatif lain untuk menggantikan LPG adalah pengembangan biogas menjadi Biomethane-Compressed Natural Gas (Bio-CNG)
Bio-CNG berpotensi untuk menggantikan LPG, terutama untuk sektor industri, komersial, dan transportasi, karena dapat diproses dari biogas (seperti dari limbah sawit, pertanian, dan peternakan) yang dimurnikan. Potensi ini didukung oleh ketersediaan bahan baku melimpah di Indonesia dan tujuan mengurangi ketergantungan pada impor LPG.
Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar memiliki potensi besar memanfaatkan limbahnya untuk diolah menjadi Bio-CNG, selain limbah pertanian dan peternakan lainnya.
“Bio-CNG dapat digunakan sebagai pengganti langsung untuk LPG, LNG, dan bahkan solar di sektor industri, komersial, dan transportasi,” ujar dia.
Pengembangan Bio-CNG merupakan salah satu langkah strategis untuk mendorong transisi energi terbarukan di Indonesia dan mengurangi konsumsi energi fosil.Selain sebagai bahan bakar, pengembangan Bio-CNG dari limbah juga membantu pabrik atau perkebunan kelapa sawit dalam mengurangi emisi karbon dan mengatasi masalah limbah.
PGN Perkuat Ekosistem CNG
PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) berkomitmen memperkuat ekosistem Compressed Natural Gas (CNG) di Indonesia, energi tersebut memiliki berbagai keunggulan sehingga dapat menjadi substitusi LPG untuk menekan impor.
Melalui anak usahanya, PT Gagas Energi Indonesia (PGN Gagas), konsisten mengembangkan pemanfaatan CNG yang memiliki kadar karbon lebih rendah, efisien, dan ekonomis, sekaligus berperan dalam menekan impor LPG.
Direktur Utama PGN Gagas, Santiaji Gunawan, menjelaskan bahwa CNG yang merupakan gas bumi hasil proses kompresi memiliki keunggulan dari sisi penyimpanan dan distribusi, serta telah dimanfaatkan oleh berbagai sektor seperti industri, komersial, UMKM, dan transportasi.
“Kami mendukung penuh langkah Pemerintah dalam mengembangkan beragam produk gas domestik untuk memperkuat ketahanan energi nasional. Selain CNG, kami juga mengupayakan pemanfaatan Liquefied Natural Gas (LNG) agar jangkauan penggunaan gas bumi semakin luas,” ujar dia.
PGN Gagas juga terus memperluas infrastruktur gas bumi. Pada Agustus 2025, perusahaan melakukan groundbreaking LNG Hub di Bandung dengan kapasitas produksi 0,5 MMSCFD.
Sementara pada September 2025, pembangunan Mother Station (MS) CNG Medan berkapasitas 1 MMSCFD dilakukan untuk memenuhi kebutuhan gas sektor industri, komersial, dan UMKM di Sumatera Utara dengan potensi pemanfaatan hingga 4,48 BBTUD.
Selain untuk industri, CNG juga dimanfaatkan dalam proyek strategis Pemerintah seperti penyediaan energi bagi dapur layanan Makan Bergizi Gratis di Batam, Bogor, dan Boyolali.
PGN Gagas turut menyediakan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) dan Mobile Refueling Unit (MRU) bagi transportasi umum seperti bus kota (BRT), bajaj, dan taksi. Saat ini, PGN Gagas mengoperasikan 11 SPBG di 7 provinsi, dengan rata-rata pengisian sekitar 2.200 kendaraan per hari.
Tren Penggunaan Gas Domestik Meningkat
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyampaikan tren pemanfaatan gas bumi untuk pasar domestik terus mengalami peningkatan.
Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah dalam mendukung kebutuhan gas untuk pasar domestik cukup jelas. Di mana gas bumi selama ini diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri.
“Bahkan secara persentase, pemanfaatan gas bumi untuk domestik kurang lebih telah mencapai 69,26%. Sementara itu, sisanya sekitar 30% untuk kebutuhan ekspor,” ujar dia
Ia menekankan pentingnya untuk menjaga pasokan gas domestik. SKK Migas akan terus memantau perkembangan di lapangan.