Banyak Cara Agar Pemda Bisa Ciptakan Fiskal Ideal

Keterbatasan fiskal atau anggaran daerah bisa diantisipasi dengan berbagai cara antara lain diversifikasi sumber pendapatan lain untuk mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD), mengoptimalkan Dana Bagi Hasil (DBH), hingga menghitung secara jeli dana transfer dari pusat.

Banyak Cara Agar Pemda Bisa Ciptakan Fiskal Ideal
Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Alwis Rustam, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik, Kepala Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri Badan Riset dan Inovasi ( BRIN) Mardyanto Tryatmoko,Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit dan Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Suparman saat Diskusi mengenai " Otonomi Daerah, di Ujung Jalan?", di Gedung Permata Kuningan, Jakarta (17/12) (Ridho-Suar.id)

Keterbatasan fiskal atau anggaran daerah bisa diantisipasi dengan berbagai cara antara lain diversifikasi sumber pendapatan lain untuk mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD), mengoptimalkan Dana Bagi Hasil (DBH), hingga menghitung secara jeli dana transfer dari pusat. Ini perlu dilakukan agar pembangunan bisa tetap terlaksana di tengah ketersediaan fiskal yang terbatas.

Hal ini menyeruak dalam Diskusi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) bertajuk 'Otonomi Daerah, Di Ujung Jalan? Refleksi Implementasi Otonomi Daerah Tahun 2025’ pada Rabu (17/12/2025).

Direktur Eksekutif KPPOD Herman Suparman menjelaskan, peran PAD dalam otonomi daerah sangat krusial sebagai tulang punggung keuangan untuk membiayai pembangunan dan pelayanan publik, mengurangi ketergantungan pada pusat. Selain itu juga meningkatkan kemandirian fiskal daerah sehingga daerah lebih responsif terhadap kebutuhan warganya sendiri dan dapat mengembangkan inovasi lokal. 

Dana dari PAD digunakan untuk membiayai program prioritas, infrastruktur, serta pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan kebersihan sesuai potensi dan kebutuhan lokal.

“Dengan PAD yang kuat, pemerintah daerah memiliki fleksibilitas lebih besar dalam mengalokasikan anggaran untuk inovasi dan respons cepat terhadap isu-isu lokal,” ujarnya.

Ia menjelaskan, strategi peningkatan PAD antara lain intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, digitalisasi pelayanan, pendataan ulang wajib pajak, kerja sama dengan swasta dan BUMD. Selain itu juga upaya peningkatan kapasitas SDM (pelatihan), penguatan regulasi dan pengawasan, optimalisasi aset daerah, dan diversifikasi sumber PAD seperti pariwisata.

Tak hanya itu, pemda juga bisa mengandalkan Dana Bagi Hasil (DBH) dalam postur fiskalnya. Meskipun DBH penting untuk menunjang belanja daerah, menurutnya, pemda harus mengoptimalkan PAD dan mendiversifikasi sumber pendapatan lain.

Herman menambahkan, baiknya DBH dijadikan sebagai pendukung, bukan tulang punggung utama, agar pembangunan lebih berkelanjutan dan tidak mudah goyah oleh perubahan kebijakan pusat, seperti yang dilakukan oleh Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud.

Baca juga:

Momentum Menuju Kemandirian Fiskal Daerah
Kota-kota metropolis seperti Surabaya dan Bandung menjadi kota yang mampu bertahan di tengah guncangan kebijakan fiskal. Berdasarkan data mengenai Pendapatan Asli Daerah (PAD), secara stabil Surabaya dan Bandung menempati posisi dua teratas PAD tertinggi selama 4 tahun, sejak 2022 hingga 2025.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Alwis Rustam mengatakan Apeksi secara aktif mendorong otonomi daerah dengan fokus pada penguatan kemandirian fiskal, peningkatan kualitas layanan publik, serta memastikan kebijakan nasional selaras dengan kebutuhan daerah, terutama melalui sinergi pusat-daerah untuk mewujudkan pelayanan yang lebih baik, 

“Kami berupaya agar semangat otonomi daerah benar-benar berujung pada kesejahteraan rakyat tanpa mengurangi kewenangan daerah,” ujar dia.

Penguatan kemandirian fiskal dapat dilakukan dengan mengelola PAD dengan baik dan benar bisa dengan cara pengembangan sektor pariwisata dan binaan terhadap UMKM 

Apeksi juga menjembatani prioritas nasional dengan realitas dan kebutuhan spesifik kota melalui forum-forum seperti Rakor DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah) untuk memastikan kebijakan mendukung implementasi otonomi.

Berperan aktif dalam dialog terkait undang-undang baru seperti UU Cipta Kerja untuk memastikan tidak ada penggerusan otonomi daerah.

Digitalisasi

Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit mengatakan peningkatan layanan publik berbasis digital merupakan salah satu indikator keberhasilan otonomi daerah.

Layanan digital seperti e-government dan aplikasi online mempercepat administrasi dan pengambilan keputusan, mengurangi birokrasi berbelit.

Layanan digital juga bisa mengurangi biaya,masyarakat tidak perlu lagi datang ke kantor fisik, menghemat waktu dan biaya transportasi mereka, serta mengurangi biaya operasional pemerintah.

“Proses menjadi terukur dan dapat diawasi, meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah sehingga layanan publik berbasis digital penting,” ujar dia.

Akses digital membantu Usaha Kecil Menengah (UKM) di daerah memperluas pasar dan meningkatkan daya saing, mendorong pertumbuhan ekonomi daerah secara merata.

Kepala Pusat Pemerintahan Dalam Negeri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mardyanto Tryatmoko mengatakan kualitas aparatur daerah (ASN) sangat menentukan keberhasilan otonomi daerah.

ASN berperan sentral dalam otonomi daerah sebagai pelaksana kebijakan, pelayan publik,perencana,dan pengawas pembangunan di daerah,

"ASN dituntut profesional, berintegritas, inovatif, serta adaptif untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif, bersih, dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan yang optimal dan pengelolaan sumber daya lokal," ujarnya.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik pengembangan sumber daya alam, pariwisata, dan energi terbarukan melalui kolaborasi dengan swasta dan komunitas adat juga mulai dijalankan. Ini bisa jadi alternatif untuk menjalankan pembangunan di tengah fiskal yang terbatas.