Agar Kembali Bergairah, Industri Butuh Harga Gas Terjangkau dan Jaminan Pasokan

Industri yang tengah lesu membutuhkan suntikan tenaga dari harga gas yang terjangkau dan pasokan yang terjamin.

Agar Kembali Bergairah, Industri Butuh Harga Gas Terjangkau dan Jaminan Pasokan
Foto: Parker Sturdivant/Unsplash

Industri manufaktur yang tengah tertekan butuh dorongan tenaga baru agar bisa kembali bergairah. Salah satunya adalah kepastian harga gas yang terjangkau dan pasokannya yang terjamin.

Kondisi manufaktur yang masih tertekan tercermin dari Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia yang terus terkontraksi selama empat bulan berturut-turut. Riset yang dirilis S&P Global ini menunjukkan PMI Indonesia pada Juli 2025 berada di level 49,2 berada di bawah angka 50 yang jadi ambang batas.

Ini melanjutkan posisi kontraksi sejak April yang berada pada level 46,7; Mei 47,4; dan Juni 46,9. Angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi, sementara di atas 50 menunjukkan ekspansi.

Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan mengatakan, gas bumi merupakan salah satu unsur pokok dalam proses produksi manufaktur. Porsi biaya gas bumi dalam struktur ongkos produksi industri manufaktur bisa mencapai 15% hingga lebih dari 50%.

“Maka harga gas bumi yang terjangkau dan pasokan yang terjamin jadi kebutuhan kami,” ujar Yustinus, Minggu (10/8/2025).

Upaya ini coba dipenuhi pemerintah melalui program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Melalui program ini, pasokan gas akan dialokasikan untuk tujuh sektor industri manufaktur antara lain pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Mereka akan menerima pasokan gas dengan harga USD 6,5–USD 7 per MMBTU (million metric British thermal unit).

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai dalam situasi ini, Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) berfungsi sebagai automatic stabilizer di sisi biaya. Harga gas yang ditetapkan mampu menahan komponen energi dari biaya produksi, meredam tekanan biaya input, dan membantu menjaga utilisasi pabrik agar tidak semakin turun ketika permintaan melemah.

"Dengan kata lain, HGBT memberi bantalan pada sisi biaya sehingga penurunan output tidak semakin dalam," ujarnya.

Josua menambahkan, kontraksi PMI sejak awal semester 2025 menegaskan adanya pelemahan permintaan baru dan kenaikan harga input. Intervensi di sisi biaya energi menjadi semakin mendesak untuk mencegah penurunan produksi yang lebih dalam.

Posisi HGBT sebesar USD 6,5 per MMBTU untuk bahan baku dan USD 7 per MMBTU untuk bahan bakar berada di kisaran bawah dibandingkan dengan harga gas berbasis liquefied natural gas (LNG) di Asia maupun harga LNG domestik yang dapat mencapai USD 16,77 per MMBTU.

Selisih ini, kata Josua, "dapat mencapai 40% sampai 60% dan menjadi faktor material dalam menjaga daya saing harga jual maupun keputusan pabrik untuk tetap beroperasi."

Namun, Josua menyatakan, realisasi HGBT yang tidak penuh menciptakan two-tier energy price di lantai pabrik, membuat biaya produksi lebih volatil dan memengaruhi strategi bisnis. Dampak keterbatasan pasokan ini terlihat pada industri keramik, salah satu sektor pengguna HGBT.

Belum sesuai harapan

Yustinus dari FIPGB menilai realisasi volume HGBT harus 100% sesuai alokasi yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri ESDM agar benar-benar berdampak pada industri. Namun, menurutnya, sampai Juli 2025, realisasi oleh PGN masih jauh di bawah alokasi.

Keluhan yang sama juga disampaikan Ketua Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (ASAKI) Edy Suyanto. Ia menyebut realisasi kuota HGBT untuk industri keramik hanya sekitar 60% di wilayah Barat dan 40% di wilayah Timur.

Selebihnya, industri harus membeli gas regasifikasi LNG dengan harga USD 14,8 per MMBTU, jauh di atas harga HGBT. Ia mengingatkan, jika situasi ini berlanjut, kapasitas produksi akan semakin terbatas dan akan berisiko mengurangi tenaga kerja.

"Kondisi ini menggerus daya saing dan membuat banyak pabrik memproduksi sebatas kuota gas yang diberikan," kata Edy.

Direktur Eksekutif Indonesia Development Energy and Sustainability (IDEAS) Zinedine Reza mengatakan, meskipun kebijakan ini sudah memberikan kepastian harga di kisaran USD 6,5 sampai USD 7 per MMBTU untuk tujuh sektor industri strategis, masih terdapat sejumlah laporan dari pelaku industri mengenai harga aktual yang lebih tinggi dari ketentuan itu.

Ia menilai informasi mengenai penerima manfaat, besaran volume, dan alur distribusi gas bersubsidi perlu dibuka secara sistematis agar kepercayaan publik dan dunia usaha tetap terjaga.

Disparitas harga dan ketidaksesuaian volume yang diterima industri dinilai menjadi indikator perlunya evaluasi mekanisme distribusi yang berjalan saat ini.

"Jika informasi distribusi dapat diakses secara terbuka, maka partisipasi masyarakat sipil dan pelaku industri dalam pengawasan kebijakan bisa diperkuat," ujarnya dalam siaran pers, Jumat (8/8/2025).

Dari sisi pelaku industri, Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil, Agus Riyanto, menilai akses terhadap gas industri dengan harga terjangkau sangat menentukan daya saing sektor padat karya seperti tekstil.

"Namun dalam praktiknya, masih banyak perusahaan tekstil yang belum merasakan manfaat harga gas USD 6 per MMBTU secara konsisten. Kejelasan mekanisme distribusi dan jaminan kepastian pasokan menjadi hal yang sangat kami harapkan," katanya dalam siaran pers.

IDEAS juga mendorong audit independen atas pelaksanaan distribusi HGBT serta publikasi berkala mengenai data distribusi dan dampaknya terhadap industri. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat keadilan energi dan menjaga efisiensi alokasi subsidi negara.

"Kami percaya dengan memperbaiki tata kelola dan membangun budaya transparansi, kebijakan energi kita dapat berkontribusi lebih besar terhadap daya saing industri nasional dan kesejahteraan masyarakat," tutur Zinedine.

Dua petugas memeriksa jaringan distribusi pipa gas di PT Kalimantan Jawa Gas (KJG) di kawasan Tambaklorok, Semarang, Jawa Tengah, Senin (28/7/2025). Menurut data KJG yang juga salah satu anak perusahaan PGN ketersediaan gas saat ini melimpah sehingga mengoptimalkan penjualan untuk menjaga dan mendukung persaingan perusahaan di Indonesia dengan volume gas yang disalurkan saat ini mencapai 35 BBTUD atau naik dari tiga tahun sebelumnya 0,2 BBTUD untuk 26 pelanggan di antaranya PLN dan sejumlah perusahaan industri. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/nz.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk memberikan pasokan gas untuk kebutuhan domestik. Hal ini tercermin dari sebesar 61% dari produksi gas bumi di semester pertama 2025 yang sebesar 5.598 billion British thermal unit (BBTU) dipasok untuk kebutuhan domestik.

"Memanfaatkan sebisa mungkin kekayaan alam dalam negeri untuk kebutuhan dalam negeri," ujar Bahlil dalam jumpa pers paparan kinerja semester pertama 2025 Kementerian ESDM, Senin (11/8/2025).

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengemukakan, HGBT dapat memacu daya saing industri. Sebab, kebijakan ini terbukti mampu menekan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi operasional bagi pelaku industri di kawasan industri.

Apalagi, lanjutnya, berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, bahwa industri wajib berlokasi di kawasan industri. Hal ini tentu akan membawa manfaat bagi industri yang beroperasi di kawasan industri karena adanya ketersediaan infrastruktur yang terintegrasi, termasuk dalam pasokan bahan baku energi.

Namun demikian, Menperin mengakui, dalam pelaksanaan kebijakan HGBT bagi industri masih ditemui kendala di lapangan. Padahal, pemberlakukan kebijakan ini sudah ditegaskan dan diperkuat dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 121 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

"HGBT harus terus dilanjutkan, tetapi dalam implementasinya belum berjalan optimal di seluruh kawasan industri," ujar Agus.