Di tengah ketidakpastian global, tensi geopolitik yang memanas, dan pengetatan likuiditas global, Indonesia mencatat penurunan utang luar negeri (ULN) swasta. Akankah ini jadi sinyal positif atau sebaliknya?
Mengutip data Bank Indonesia (BI), ULN Swasta pada Mei 2025 mencapai US$196,4 miliar atau terkontraksi 0,9 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (year on year/YoY). ULN Swasta Mei terkontraksi lebih besar ketimbang April yang sebesar 0,4 persen YoY.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso mengatakan, perlambatan itu bersumber dari ULN lembaga keuangan yang melambat 1,2 persen YoY dan ULN swasta bukan lembaga keuangan yang juga melambat 1,4 persen.
Berdasarkan sektornya, ULN swasta terbesar berasal dari Sektor Industri Pengolahan; Jasa Keuangan dan Asuransi; Pengadaan Listrik dan Gas; serta Pertambangan dan Penggalian, dengan pangsa mencapai 80,2 persen dari total ULN swasta.
“Adapun ULN swasta tetap didominasi oleh utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 76,5 persen terhadap total ULN swasta,” ujar Ramdan dalam siaran persnya, Senin (14/7/2025).
Ekonom Segara Institute Piter Abdullah Rejalam mengatakan, turunnya ULN swasta sebenarnya tak lepas dari kondisi perekonomian domestik yang juga sedang melambat.
“Kalau utang luar negeri swasta turun karena mereka makin hati-hati, itu bagus. Tapi kalau turunnya karena ekonomi kita lesu, investasi turun, itu jadi alarm,” ujarnya dihubungi Senin (14/7/2025).
Ia menjelaskan, beberapa tahun terakhir, sektor swasta cenderung “wait and see” di tengah ketidakpastian global. Harga komoditas seperti batu bara dan sawit, yang sempat menjadi tumpuan ekspor kita, mulai melemah.
“Swasta jadi menunda ekspansi. Padahal ULN itu biasanya untuk investasi. Ketika investasi melambat, permintaan ULN juga otomatis melambat,” ujar ekonom Piter Abdullah.
Konflik geopolitik di Laut Cina Selatan dan perang Rusia–Ukraina masih membayangi rantai pasok dan harga energi dunia. Sementara itu, suku bunga global yang tetap tinggi membuat biaya utang juga tak murah. Semua faktor ini membuat pelaku usaha berpikir dua kali untuk menambah pinjaman luar negeri demi ekspansi.
“Swasta jadi menunda ekspansi. Padahal ULN itu biasanya untuk investasi. Ketika investasi melambat, permintaan ULN juga otomatis melambat,” tambah Piter.
Piter melihat tren ini sebagai cermin dari kehati-hatian pelaku usaha. “ULN swasta turun bukan karena mereka lebih efisien atau tak lagi butuh modal, tapi karena mereka menahan ekspansi,” ungkapnya.
Meski begitu, struktur ULN swasta kita sebenarnya cukup sehat: 78,9 persen di antaranya adalah utang jangka panjang. Ini membantu menekan risiko gagal bayar dalam waktu dekat.
Namun, ada risiko lain yang tak kalah penting: jika tren penurunan ULN swasta ini terus berlanjut, artinya ada kemungkinan sektor riil tak lagi bergairah untuk berinvestasi. Dan kalau investasi swasta menurun, dampaknya tak main-main: pertumbuhan ekonomi bisa melambat, penyerapan tenaga kerja ikut turun, dan mesin pertumbuhan jangka panjang Indonesia menjadi melemah.
Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengatakan, pihaknya belum mau berkomentar banyak. Saat ini pengusaha, masih banyak fokus pada isu perang tarif Donald Trump.
Pemerintah juga rem ULN
Di sisi lain, ULN pemerintah juga melambat. Data BI menyebutkan, pada Mei 2025 ULN pemerintah sebesar US$ 209,6 miliar tumbuh sebesar 9,8 persen YoY, lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 10,4 persen YoY pada April 2025.
Ramdan dari BI menjelaskan, perkembangan ULN pemerintah tersebut dipengaruhi oleh pembayaran jatuh tempo Surat Berharga Negara (SBN) internasional, di tengah aliran masuk modal asing pada SBN domestik, seiring tetap terjaganya kepercayaan investor global terhadap prospek perekonomian Indonesia di tengah ketidakpastian perekonomian global.
Sebagai salah satu instrumen pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemanfaatan ULN terus diarahkan pada program prioritas dalam mendukung stabilitas dan momentum pertumbuhan ekonomi dengan tetap memperhatikan aspek keberlanjutan pengelolaan ULN.
Peneliti Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan mengatakan, posisi ULN ini baik untuk stabilitas karena meminimalkan risiko nilai tukar. Namun, jika porsi utang pemerintah yang besar ini diserap dari dana domestik, ada kekhawatiran munculnya efek crowding out: swasta jadi makin sulit mendapat pembiayaan murah karena pemerintah keburu menghabiskan ruangnya.
Ia menambahkan, meski ULN secara total terkendali, namun perlu dilihat lebih jauh penggunaannya.
“Utangnya mungkin ada, tapi pertanyaannya produktif atau tidak? Banyak belanja pemerintah yang nilainya besar, tapi seringkali belum jelas prioritas dan efektivitasnya,” ujar Deni.
Fokus produktivitas
Deni mencontohkan, program-program besar yang nilainya ratusan triliun rupiah, tapi pelaksanaannya kerap terbentur kapasitas birokrasi dan desain kebijakan yang belum matang.
Baik Deni maupun Piter sepakat: bukan utangnya yang harus dikejar naik, tapi bagaimana ekonomi riil di sektor swasta dan pemerintah bisa kembali bergerak.
“Solusi bukan menaikkan ULN. Yang kita perlukan adalah kebijakan konkret yang bikin pelaku usaha lebih optimis: insentif fiskal, deregulasi, stimulus belanja pemerintah yang terarah, dan koordinasi fiskal dan moneter yang lebih harmonis,” tegas Piter.
Deni juga menekankan pentingnya evaluasi program pemerintah: “Jangan hanya bikin program banyak, tapi harus realistis sesuai kapasitas fiskal dan birokrasi.”
Pelambatan ULN swasta, secara angka, mungkin tampak melegakan, risiko utang menurun. Namun di baliknya, ada cerita ekonomi yang sedang kehilangan daya dorong.
Di sinilah letak pentingnya langkah konkret pemerintah: memulihkan kepercayaan pelaku usaha, menjaga iklim investasi, dan memastikan setiap rupiah utang benar-benar produktif.
“Ekonomi hanya akan bergerak kalau pelaku usaha yakin dan pemerintah punya arah jelas. Itulah pekerjaan rumah kita ke depan,” pungkas Piter.