Undang-Undang Kepariwisataan yang baru menandai pergeseran arah pariwisata Indonesia. Yaitu, pembangunan kepariwisataan yang berorientasi pada berkelanjutan dan berbasis masyarakat lokal sebagai fondasi utama.
Perubahan ini krusial untuk mengatasi isu-isu pariwisata Indonesia, seperti pemerataan daya tarik tujuan wisata hingga pemasaran wisata.
Konsep baru "Ekosistem Kepariwisataan" yang diusung dalam UU ini menjadi fondasi utama, menggantikan konsep industri lama, dengan memadukan seluruh komponen pendukung, seperti UMKM, untuk menciptakan pariwisata yang lebih inklusif dan tersebar. Restrukturisasi tata kelola melalui penambahan pasal baru (4A-C) menjamin perencanaan pembangunan yang terintegrasi, pengaturan destinasi yang lebih rinci, dan pemasaran modern berbasis data serta terkoordinasi.
Inti dari perubahan ini adalah menempatkan masyarakat dan budaya lokal sebagai pilar utama (4D), termasuk mendorong pariwisata berbasis komunitas dan menguatkan promosi sebagai instrumen soft power budaya (4E), serta mengakui peran kreasi dan event sebagai daya tarik wisata (4F).
Modernisasi kerangka pendukung semakin diperkuat dengan pelembagaan partisipasi masyarakat, penguatan aspek hukum, dan implementasi pendanaan inovatif dari pungutan wisatawan mancanegara untuk menjamin keberlanjutan finansial sektor pariwisata. Modernisasi ini juga membuka keterlibatan dunia usaha yang lebih luas untuk berpartisipasi.
Tata kelola sektor pariwisata yang baru diperlukan untuk lebih mengoptimalkan potensi yang ada meski secara tahunan jumlah pengunjung wisata dalam dan luar negeri sudah menunjukkan tren positif. Data Badan Pusat Statistik setahun terakhir menunjukkan kenaikan kunjungan wisatawan mancanegara mencapai puncaknya pada Agustus 2025 dengan angka 1,505 juta kunjungan, naik 12,33% dibandingkan Agustus 2024.
Sementara itu, perkembangan perjalanan wisatawan nusantara juga menunjukkan pertumbuhan kuat, meskipun mengalami sedikit penurunan menjadi 93,57 juta perjalanan pada Agustus 2025 dari puncak sebelumnya di April 2025 (128,58 juta). Jumlah ini secara keseluruhan tetap mencatatkan lonjakan sebesar 23,31% dibandingkan Agustus 2024.
Kedua data ini mengindikasikan bahwa sektor pariwisata Indonesia, baik pasar internasional maupun domestik, berada dalam fase pertumbuhan yang solid. Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya, Indonesia menempati posisi ke-5 dengan total kunjungan sekitar 7 juta pengunjung.
Thailand menempati posisi teratas dengan jumlah kunjungan tertinggi mencapai 16,61 juta, jauh melampaui negara lainnya. Disusul Vietnam dan Malaysia dengan angka yang berdekatan, yaitu masing-masing 10,7 juta dan 10,1 juta kunjungan. Meski menunjukkan tren positif sepanjang paruh awal tahun 2025, kunjungan wisatawan ke Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya.
Hadirnya UU Pariwisata yang baru diharapkan dapat memaksimalkan potensi Indonesia. Tren pariwisata modern tidak hanya menjadikan keberlanjutan sekadar aspek pendukung, melainkan prinsip yang wajib diterapkan. UU ini dapat memaksa pengelola destinasi untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan budaya lokal. Harapannya, hal ini akan mendorong diversifikasi wisata ke daerah-daerah baru, memberdayakan komunitas setempat, dan mengurangi tekanan pada destinasi klasik seperti Bali dan Jakarta.
Konsep "Ekosistem Kepariwisataan" yang diperkenalkan bertujuan untuk integrasi holistik, memastikan bahwa perencanaan dan pengembangan pariwisata dilakukan secara sistematis dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Pasal-pasal yang mendukung pengembangan desa wisata dan kampung wisata, misalnya, berpotensi besar untuk menyebar manfaat ekonomi, sekaligus mengangkat dan melestarikan kekayaan budaya lokal yang otentik dan unik, menciptakan destinasi baru yang inklusif.