Terus Tumbuh, Besi dan Baja Topang Industri Logam Dasar

Industri logam dasar pada kuartal II dan III tahun 2025 tumbuh cukup tinggi, yakni hampir 20%. Meski demikian, sektor yang menyumbang porsi terbesar realisasi investasi Indonesia ini, terutama melalui industri besi dan baja, menghadapi tantangan yang tidak mudah.

Terus Tumbuh, Besi dan Baja Topang Industri Logam Dasar

Industri logam dasar di Indonesia terbukti menjadi jangkar pertumbuhan manufaktur nasional, bahkan di tengah kondisi pasar yang penuh gejolak. Sektor yang didominasi oleh pengembangan nikel, aluminium, dan terutama besi serta baja ini menunjukkan ketahanan yang baik.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) sektor Industri Logam Dasar terus mencatatkan pertumbuhan yang signifikan. Pada kuartal II tahun 2025, pertumbuhan sektor ini melonjak hingga 19,72% (yoy), dengan nilai PDB harga berlaku mencapai Rp 67.801,30 miliar. Di kuartal III sektor ini tumbuh 18,62%.

Kinerja positif tersebut dicapai di tengah kondisi pasar global yang penuh tantangan. Termasuk menghadapi fluktuasi harga energi, kebijakan moneter ketat di negara maju, hingga perlambatan ekonomi Tiongkok yang merupakan konsumen baja terbesar dunia. Namun, Indonesia berhasil memanfaatkan posisi strategisnya melalui program hilirisasi. Fokus pada produk turunan dengan nilai tambah tinggi, seperti stainless steel dari nikel dan berbagai produk baja, menciptakan permintaan baru yang lebih tahan dari gejolak harga komoditas mentah. 

Inisiatif pemerintah dalam membangun ekosistem kendaraan listrik juga menjadi tumpuan pertumbuhan dengan memastikan permintaan nikel dan turunannya tetap stabil. Langkah ini sekaligus menjaga sektor besi dan baja tetap bergerak sebagai penyuplai utama infrastruktur dan manufaktur domestik.

Di antara kelompok subsektor logam dasar, industri besi dan baja memainkan peran vital sebagai penopang utama pertumbuhan dan neraca perdagangan. Kebijakan hilirisasi berhasil mengubah neraca perdagangan baja dari defisit menjadi surplus. Data ekspor dan impor BPS menunjukkan neraca perdagangan baja sempat defisit Rp -3.532 miliar pada tahun 2020. 

Setelah itu, perlahan industri ini mencatatkan surplus Rp 5.715 miliar pada tahun 2024 dan mencapai Rp 5.943 miliar pada tahun kuartal III-2025. Kenaikan ekspor baja dari 9.209 ribu ton pada 2020 menjadi 17.885 ribu ton pada 2025 menunjukkan bahwa peningkatan kapasitas produksi baja domestik berhasil menembus pasar global.

Meskipun mencatatkan pertumbuhan PDB dan surplus ekspor, industri baja Indonesia kini menghadapi persoalan di pasar domestik dengan adanya persaingan tidak sehat dari produk impor. Masuknya produk baja dari luar negeri, yang diduga kuat melibatkan praktik dumping dan penyalahgunaan kode Harmonized System (HS Code) telah menekan utilitas pabrik lokal dan mengancam keberlangsungan investasi. 

Isu ini menjadi perhatian serius yang turut dibawa ke Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada 10 November 2025. Anggota dewan dan perwakilan industri sepakat bahwa impor baja murah yang masif berisiko melumpuhkan industri baja domestik, yang merupakan kunci bagi kemandirian manufaktur nasional.

Sebagai strategi menjamin kelangsungan subsektor besi dan baja sebagai penopang kuat industri logam dasar, dibutuhkan intervensi regulasi yang tegas. Komisi VI DPR RI mendesak pemerintah untuk memperketat pengawasan terhadap praktik impor ilegal dan mengoptimalkan penerapan instrumen perlindungan dagang seperti Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP). 

Selain itu, penguatan Neraca Komoditas (NK) dan prioritas penggunaan produk lokal (TKDN) pada proyek strategis harus dijalankan secara disiplin. Dengan langkah-langkah proteksi yang efektif terhadap pasar domestik, industri logam dasar Indonesia, yang didukung oleh kinerja industri besi dan baja, dapat melanjutkan tren pertumbuhan dan merealisasikan visi industrialisasi nasional.