Sebagai dua produsen utama minyak sawit mentah (CPO) dunia, Indonesia dan Malaysia terus berkompetisi ketat di pasar ekspor. Indonesia menguasai lebih dari 50% dari total produksi global atau sekitar 46 juta metrik ton (MT), sedangkan Malaysia sekitar 20% atau sekitar 19 juta MT.
Namun, di balik tingginya angka produksi tersebut, isu legitimasi dan sertifikasi keberlanjutan menjadi persoalan yang sangat menentukan – khususnya di pasar Eropa.
Uni Eropa (UE), yang memegang komitmen terhadap lingkungan dan hak asasi manusia, semakin mengutamakan produk yang bersertifikasi. Pada 10 September lalu, UE memberi pengakuan kepada produk minyak sawit Malaysia yang memenuhi standar berkelanjutan melalui sertifikat Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO). Perolehan legitimasi MSPO ini menjadi keunggulan dan memberi keuntungan strategis bagi Malaysia dalam mengakses pasar Eropa.
Pengakuan ini mempermudah produk sawit Malaysia untuk memenuhi standar impor UE yang ketat, mengurangi hambatan birokrasi, dan memberikan keyakinan kepada konsumen Eropa bahwa produk yang mereka beli berasal dari sumber yang berkelanjutan. Daya saing sawit Malaysia meningkat dan membuka jalan bagi ekspansi pasar yang lebih luas.
Sebaliknya, Indonesia, yang belum meraih pengakuan setara untuk sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), menghadapi tantangan besar. Meskipun ISPO merupakan skema sertifikasi wajib yang komprehensif, ketiadaan pengakuan secara resmi oleh UE membuat produk sawit Indonesia berpotensi menghadapi hambatan non-tarif dan pemeriksaan tambahan – yang memperlambat proses ekspor.
Tantangan regulasi UE terkait isu keberlanjutan dan lingkungan ini telah dirasakan tahun 2020. Pasar ekspor pun tertekan, karena saat itu UE mulai mempersulit produk yang terindikasi terlibat kasus deforestasi – termasuk kelapa sawit – untuk masuk ke pasar Eropa. Sehingga, dari sekitar 28% kebutuhan minyak nabati, yaitu sawit, berkurang menjadi hanya sekitar 20%.
Meski menurun drastis dari tahun ke tahun, posisi market share produk kelapa sawit Indonesia di pasar Eropa masih mengambil porsi lebih besar ketimbang Malaysia. Pasar sawit di Eropa itu sendiri semakin sempit, tapi legitimasi terhadap sertifikasi produk yang berkelanjutan berpeluang mendapatkan ruang yang lebih mudah dalam mengakses pasar.
Memang, pasar domestik mampu menyerap produksi minyak sawit dalam jumlah besar untuk berbagai kegunaan. Namun, kesadaran akan sustainability, lingkungan, serta isu kemanusiaan lainnya menjadi penting untuk merambah pasar Eropa.
Dengan kombinasi diplomasi, peningkatan standar, dan promosi yang efektif, Indonesia dapat meningkatkan daya saingnya dan memastikan masa depan yang berkelanjutan bagi industri kelapa sawitnya di pasar global.