Surplus Neraca Komoditas Bubur Kayu dan Tantangan Industri Kertas

Produksi bubur kayu (pulp) Indonesia terus meningkat dan menciptakan surplus neraca perdagangan. Namun, industri kertas dalam negeri sebagian besar masih bergantung pada bahan baku yang diimpor.

Surplus Neraca Komoditas Bubur Kayu dan Tantangan Industri Kertas

Industri bubur kayu (pulp) Indonesia menunjukkan kinerja positif selama satu dekade terakhir. Produksi bubur kayu nasional terus meningkat, dari 5,46 juta ton pada tahun 2014 hingga diperkirakan mencapai 10,2 juta ton pada tahun 2024. 

Peningkatan produksi bubur kayu didukung oleh ketersediaan bahan baku di dalam negeri. Produksi bubur kayu domestik saat ini dikuasai oleh hasil industri kayu dari Sumatera, yang menyumbang lebih dari 60% total produksi kayu nasional. Dominasi Sumatra ini menjadi tulang punggung dalam menjaga pasokan bahan baku bagi industri hilir pulp dan kertas.

Peningkatan produksi ini mendorong kinerja ekspor yang menjadikan neraca perdagangan komoditas bubur kayu dan kertas Indonesia surplus. Volume ekspor bubur kayu dan kertas mencapai puncaknya sebanyak 12,52 juta ton di tahun 2023. Sementara impor tertinggi hanya berada di angka 5,61 juta ton pada tahun 2018.

Meski demikian, surplus neraca perdagangan mengalami perlambatan pertumbuhan dalam 2 tahun terakhir. Setelah mengalami lonjakan pertumbuhan pada tahun 2023 yang mencapai 26,7%, tahun berikutnya merosot hingga -7,26%.

Meski mengalami perlambatan pertumbuhan, tren kenaikan produksi dapat menahan surplus sebanyak 6 juta ton. Hal ini memperkuat daya saing industri bubur kayu dan kertas Indonesia di pasar global.

Meski demikian, industri kertas Indonesia menghadapi tantangan di sektor hulu. Sektor ini masih memiliki ketergantungan tinggi pada impor untuk bahan baku pendukung, terutama berupa kertas daur ulang (KDU/waste paper) dan bahan kimia penunjang lainnya. Ketergantungan ini menjadi ironi di tengah keberlimpahan bahan baku kayu dan menciptakan kerentanan dalam rantai pasok.

Ketergantungan pada impor di sektor hulu ini berdampak pada persaingan di sektor hilir. Lonjakan harga atau gangguan pasokan bahan baku impor dapat mengerek biaya produksi, yang pada akhirnya dapat melemahkan daya saing produk kertas Indonesia.

Kondisi ini perlu diantisipasi agar produksi kertas domestik mampu bersaing dengan produk kertas impor yang harganya lebih murah. Pemerintah perlu melakukan intervensi kebijakan guna menekan arus produk kertas impor yang berpotensi merugikan industri pengolahan dalam negeri.

Tantangan industri ini tidak hanya menyangkut ekonomi, tetapi juga ekologis dan keberlanjutan. Sebagai produsen bahan baku utama, wilayah Sumatra saat ini menghadapi masalah kerusakan alam, deforestasi, illegal logging hingga risiko bencana.

Persoalan-persoalan ini mengancam keberlanjutan pasokan bahan baku yang selama ini menjadi keunggulan utama Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan strategi mitigasi dan solusi jangka panjang yang mengintegrasikan pertumbuhan industri dengan tanggung jawab lingkungan, memastikan bahwa potensi ekonomi industri bubur kayu dan kertas dapat terus dinikmati tanpa mengorbankan alam Indonesia.