Bank Indonesia (BI) mencatat tren peningkatan data transaksi uang elektronik dari tahun 2015 hingga 2025 (Januari-Oktober) yang konsisten baik dari segi nilai maupun volume. Pada tahun 2015, volume transaksi tercatat sebesar 590,74 juta transaksi dan melonjak drastis menjadi lebih dari 25.890,89 juta transaksi hingga Oktober 2025.
Sejalan dengan peningkatan volume, pada periode yang sama nilai transaksi juga menunjukkan lonjakan yang fantastis dari Rp 14.756 miliar menjadi Rp 2.700.290 miliar. Peningkatan transaksi ini mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia semakin mempercayai instrumen digital sebagai metode pembayaran utama dalam aktivitas ekonomi sehari-hari.
Pertumbuhan transaksi menunjukkan lonjakan yang sangat signifikan terjadi antara tahun 2018 hingga 2020. Dimulai dari tahun 2018, nilai transaksi tumbuh hingga 180,41% dibanding tahun sebelumnya, atau tumbuh dari Rp 38.080 miliar di tahun 2017 menjadi Rp 106.780 miliar di tahun 2018. Lonjakan transaksi ini terjadi kembali di 2020. Volume transaksi meningkat bahkan mencapai 113,3% dari tahun sebelumnya, yaitu hingga mencapai 15.043.475 ribu transaksi dengan nilai transaksi Rp 504.965 miliar.
Faktor utama lonjakan ini adalah akselerasi digital selama pandemi COVID-19 yang membatasi kontak fisik, sehingga memaksa masyarakat dan pelaku UMKM beralih ke pembayaran digital. Selain itu, hadirnya ekosistem e-commerce yang semakin matang dan promosi agresif dari berbagai penyedia layanan finansial turut menjadi motor penggerak pertumbuhan yang eksponensial tersebut.
BI juga mencatat instrumen uang elektronik menunjukkan persaingan yang menarik antara chip based (kartu fisik) dan server based (aplikasi dompet digital). Pada awal periode (2015-2017), instrumen berbasis chip masih mendominasi karena penggunaannya yang masif pada sektor transportasi seperti tol dan parkir dan juga transaksi kartu kredit serta debit.
Namun, dalam satu dekade terakhir pola dominasi ini terlihat bergeser sejak 2018. Instrumen berbasis server mulai menyalip dan tumbuh sangat pesat. Hingga tahun 2024, instrumen server based mencapai angka 807,46 juta unit, jauh meninggalkan chip based yang berada di angka 114,61 juta unit. Perkembangan instrumen server based menjadi faktor pendorong transaksi uang digital yang terus meningkat signifikan dalam satu dekade ini.
Lonjakan instrumen berbasis server ini terjadi karena fleksibilitasnya yang jauh lebih tinggi dibandingkan kartu fisik. Integrasi dengan teknologi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) memungkinkan aplikasi mobile digunakan di jutaan merchant, mulai dari pedagang kaki lima hingga ritel besar.
Selain itu, pendaftaran yang mudah tanpa perlu memiliki rekening bank formal (unbanked population) serta fitur-fitur tambahan seperti pembayaran tagihan, top-up game, hingga investasi, menjadikan server-based sebagai gaya hidup digital yang tak terpisahkan dari masyarakat modern Indonesia saat ini.
Melihat tren yang ada, transaksi uang elektronik diprediksi akan terus tumbuh dengan volume transaksi menembus 25.890.888 ribu dengan nilai Rp 2.700,290 miliar pada tahun 2025 (Januari-Oktober). Hal ini merupakan sinyal positif bagi ekonomi digital Indonesia karena meningkatkan inklusi keuangan secara luas.
Tingginya transaksi digital menciptakan efisiensi dalam peredaran uang, mengurangi biaya cetak uang fisik bagi negara, serta mempermudah pemerintah dan lembaga keuangan dalam memetakan profil ekonomi masyarakat untuk penyaluran bantuan atau kredit yang lebih tepat sasaran.
Guna menjaga momentum pertumbuhan ini, terdapat beberapa aspek krusial yang perlu dipersiapkan dan dijaga. Keamanan siber (cyber security) dan perlindungan data pribadi harus menjadi prioritas utama guna menjaga kepercayaan masyarakat di tengah maraknya ancaman kejahatan digital.
Selain itu, pemerataan infrastruktur internet ke wilayah pelosok sangat penting agar manfaat ekonomi digital tidak hanya terkonsentrasi di kota besar. Dengan sinergi antara regulasi yang adaptif dan kesiapan infrastruktur, Indonesia berpotensi menjadi raksasa ekonomi digital di Asia Tenggara.