Sampah bukan lagi sekadar urusan bau dan tumpukan, namun punya potensi investasi triliunan dari bisnis pengolahan sumber energi baru. Melalui proyek waste to energy (WTE), atau pengolahan sampah menjadi listrik, Indonesia berencana membangun fasilitas serupa di 33 kota. Tahap awal akan dimulai di 10 kota besar, termasuk Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Bali, hingga Makassar.
CEO Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara), Rosan Roeslani, menyebut total investasi proyek ini bisa menembus Rp91 triliun. Angka itu dihitung dari kebutuhan setiap kota yang rata-rata menghasilkan seribu ton sampah per hari. Namun di beberapa wilayah, kapasitas pengolahan bisa jauh lebih besar.
“Total investasinya diperkirakan sekitar Rp91 triliun untuk 33 daerah. Tapi karena di beberapa kota volume sampahnya lebih tinggi, nilainya bisa meningkat,” kata Rosan di sela Indonesia International Sustainability Forum (ISF) di Jakarta Convention Center, Jumat (10/10/2025).
Satu fasilitas Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) membutuhkan investasi sekitar Rp2–3 triliun dan mampu mengolah hingga 1.000 ton sampah per hari. Di Jakarta, misalnya, potensi pengolahan bisa mencapai tiga hingga empat titik karena volume sampah yang tinggi.
“Jakarta menghasilkan sekitar 8.000 ton sampah per hari. Jika tidak ada perubahan signifikan, tumpukannya bisa mencapai 55 juta ton, setara 16.500 lapangan bola,” ujar Rosan.
Melalui proyek besar ini, Danantara berambisi mengubah cara kota-kota besar mengelola sampah, sekaligus membuka pasar energi baru di sektor pengelolaan limbah. Namun dibalik besarnya investasi, tantangan tetap terbuka: memastikan proyek padat modal ini tidak hanya menghasilkan listrik, tapi juga model bisnis yang berkelanjutan di tengah fluktuasi harga energi dan kompleksitas infrastruktur perkotaan.
Bisnis Energi dari Limbah
Konsep waste to energy (WTE) bukan hal baru. Di Eropa, teknologi ini sudah lama digunakan untuk mengubah limbah padat menjadi energi panas atau listrik, sebuah model yang menjanjikan efisiensi ganda: mengurangi timbunan sampah sekaligus menambah pasokan listrik non-fosil. Indonesia kini mencoba mengikuti jejak itu lewat proyek District Waste to Energy (DTE), yang digarap dengan skema kerja sama investasi publik-swasta. Danantara, sebagai pengelola investasi energi pemerintah, ditugaskan mengawal proyek ini.
Namun, di balik jargon transisi energi dan ekonomi hijau, proyek WTE ternyata bukan sekadar urusan listrik. “Saya melihat DTE itu lebih tepat disebut sebagai solusi sampah, bukan solusi energi,” ujar analis energi dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, saat dihubungi. “Kita ini sedang darurat sampah. Hampir semua TPA di kota-kota besar sudah penuh, dari Jakarta sampai Semarang. Jadi, ini lebih tentang mengurangi timbunan yang sudah krisis.”
Menurut Fabby, pendekatan pemerintah untuk membakar sampah dan mengubahnya jadi energi panas memang masuk akal, tapi mahal. “Membakar sampah itu biayanya tinggi. Tapi karena dari proses itu kita dapat panas yang bisa menggerakkan turbin, akhirnya dimunculkan konsep waste to energy,” jelasnya. Dengan kata lain, listrik hanyalah produk sampingan dari misi utama: memusnahkan sampah.
Di atas kertas, WTE bisa terlihat menjanjikan. Tapi di lapangan, urusannya jauh lebih rumit dari sekadar “bakar lalu jadi listrik.” Volume sampah yang dikumpulkan harus stabil untuk menjaga pasokan energi. Lalu, listrik yang dihasilkan juga harus punya pembeli jangka panjang, dan itu biasanya hanya PLN. “Kalau listriknya dihasilkan, ya harus ada yang beli. Kalau PLN disuruh memilih, dia pasti lebih pilih refuse derived fuel (RDF) karena bisa jadi substitusi batubara dengan harga yang lebih masuk akal,” kata Fabby.
Masalah klasik lain ada di harga. Pemerintah sebelumnya menetapkan harga beli listrik WTE maksimal 13 sen per kWh dengan tambahan tipping fee Rp500 ribu per ton untuk pemerintah daerah. Namun, banyak pemda tak sanggup membayar biaya itu, membuat proyek WTE sulit jalan. Kini, lewat revisi Peraturan Pemerintah terbaru, harga beli listrik dari WTE ditetapkan naik menjadi 20 sen per kWh, tanpa tipping fee. “Dengan harga itu, harusnya sudah cukup menarik buat investor,” ujar Fabby.
Kendati demikian, dari sisi energi, kontribusi WTE terhadap bauran listrik nasional masih kecil. Dengan kapasitas rata-rata hanya 18–25 megawatt per lokasi dan total potensi sekitar 400 MW, proyek ini tak akan banyak menggeser dominasi batu bara yang mencapai puluhan gigawatt. “Kalau mau bicara transisi energi, ini porsinya kecil sekali. Ini proyek sampah, bukan proyek energi strategis,” tegas Fabby.
Ia menilai, WTE sebaiknya dilihat sebagai solusi jangka menengah, 15 sampai 20 tahun ke depan. Setelah itu, jika kebijakan ekonomi sirkular dan pengurangan sampah dari sumber berjalan efektif, pasokan sampah yang bisa dibakar justru akan berkurang. “Kalau pengelolaan sampah (3R) makin baik, nanti seribu ton per hari itu sulit dipenuhi. Jangan sampai akhirnya kita malah impor sampah,” ujarnya, setengah berkelakar.
Dengan begitu, baginya proyek WTE memang bukan jalan pintas menuju transisi energi hijau, melainkan penanganan realistis atas darurat sampah kota. Namun tetap saja, bagaimana proyek ini dikelola, dari kepastian harga, skema investasi, sampai tata kelola sampah di hulu, akan menentukan apakah Indonesia benar-benar mendapat manfaat ganda dari limbah: kebersihan kota dan energi yang berkelanjutan.