Rojali Rohana, Nampan Makanan MBG, dan Pelajaran dari Singapura

Kurasi peristiwa terpenting yang perlu diketahui semesta dunia usaha untuk mengawali hari.

Rojali Rohana, Nampan Makanan MBG, dan Pelajaran dari Singapura
Daftar Isi

Selamat pagi Chief… 

Berikut informasi penting terkait pengembangan semesta dunia usaha yang perlu mendapat perhatian hari ini berdasarkan kurasi Tim SUAR.

Rojali dan Rohana: Bukan Sekadar Lesunya Daya Beli, tapi Titik Balik Perbaruan Strategi

  • Merosotnya jumlah kelas menengah dan daya beli masyarakat membuat pusat perbelanjaan pun turun omzetnya. Ini memunculkan fenomena rojali (rombongan jarang beli) dan rohana (rombongan hanya nanya). Fenomena rojali dan rohana yang kian sering muncul di pusat perbelanjaan belakangan ini, bukan semata tentang kantong tipis.
  • “Dulu konsumen brand-oriented, sekarang lebih realistis,” kata Solihin, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), asosiasi yang menaungi pelaku ritel di Indonesia. Ia menjelaskan bagaimana masa “festive” seperti Lebaran dan Natal, yang biasanya jadi andalan penjualan, sekarang durasinya makin pendek, sementara jarak antar-festive justru panjang. Dari Mei hingga Oktober, misalnya, praktis tanpa momen belanja nasional besar.
  • Alphonzus Widjaja, Ketua Umum Perhimpunan Pusat Belanja Indonesia (PPBI), melihat bagaimana konsumen kini makin selektif dalam membelanjakan uangnya.  “Kalau enggak perlu, ya enggak dibeli, atau beli barang yang harga satuannya murah,” ujarnya usai menghadiri acara kick-off 100 lisensi merek dan produk UMKM lokal di Pusat Grosir Cililitan (23/7/2025).
  • Tapi soal harga dan promo bukan satu-satunya persoalan. “Bukan cuma daya beli turun, tapi juga barangnya enggak lengkap, ukuran nggak ada, atau telat masuk ke Indonesia,” jelas Budihardjo Iduansjah dari Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan di Indonesia (Hippindo) kepada SUAR (31/07).

Selanjutnya bisa baca di sini.

Ketidakpastian Hukum, Keluhan Dunia Usaha, dan Pelajaran dari Singapura

  • “Keluhan soal isu ketidakpastian hukum ini memang cukup konsisten kami terima dari para pelaku usaha,” ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani.
  • Pada Juni lalu, Apindo menggelar survei terhadap lebih dari 100 perusahaan di 18 provinsi. Hasilnya mengonfirmasi kegelisahan itu: 72% responden merasa dokumen persyaratan terlalu banyak, 65% mengaku terpaksa memakai jasa pihak ketiga, yang justru memperumit sekaligus menambah biaya, dan 54% menyoroti lamanya proses rekomendasi, kendala teknis di sistem OSS, serta ketidakcocokan aturan pusat dan daerah.
  • Bagi dunia usaha, ketidakpastian bukan sekadar urusan dokumen. Ia berarti biaya tersembunyi: terhentinya rencana ekspansi, relokasi ke luar negeri, atau naiknya harga produk karena proses panjang dan biaya tambahan.
“Bisnis selalu tumbuh di atas perhitungan risiko. Tapi kalau aturannya sendiri tidak konsisten, susah sekali untuk merencanakan,” tegas Shinta.
  • Duta Besar RI untuk Singapura Suryopratomo membeberkan keberhasilan negeri tetangga ini bukanlah kebetulan belaka, melainkan hasil budaya regulasi yang konsisten dan dapat diprediksi.
“Pemerintah Singapura jarang sekali membuat perubahan kebijakan yang mendadak,” ujar Suryopratomo kepada SUAR (30/7/2025).
  • Setiap revisi kebijakan yang bersifat strategis selalu diawali proses konsultasi publik, regulatory impact assessment, hingga perencanaan multi-tahun. “Itu memberi ruang bagi pelaku usaha, baik lokal maupun asing, untuk beradaptasi dan menyusun strategi bisnis mereka,” tambahnya.

Selanjutnya bisa baca di sini.

Produsen Nampan Makanan Siap Suplai ke Program MBG

  • Para produsen nampan makanan (food tray) lokal yang tergabung dalam Asosiasi Alat Dapur dan Makan (Aspradam) dan Asosiasi Produsen Wadah Makan Indonesia (Apmaki) menegaskan bahwa mereka memiliki kapasitas produksi yang lebih dari cukup untuk menyuplai secara mandiri food tray dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) tanpa harus mengandalkan produk impor.
  • Rencana pemerintah untuk melakukan impor food tray untuk mempercepat perluasan program yang disebut sebagai proyek ambisius pemerintahan Presiden Prabowo Subianto itu menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengusaha lokal.
“Industri lokal mampu menyediakan food tray berkualitas tanpa harus bergantung pada impor,” ujar Andi, anggota Aspradam dalam Sarasehan Peran Produsen Food Tray Dalam Negeri Mendukung Makan Bergizi Gratis (MBG), Jakarta, (31/7/2025).
Komisaris PT Makmur Bersama Garuda, Alie Cendrawan di Jakarta, Kamis (1/8) (Arfan Tarigan/SUAR)

Selanjutnya bisa baca di sini.

Belajar dari Model Pembiayaan Hijau Global ala Temasek dan North Fund

  • Perusahaan sovereign wealth fund (SWF) asal Singapura Temasek Holding dan SWF asal Norwegia North Fund fokus membiayai proyek pembiayaan hijau demi mencapai emisi nol.
  • Temasek memiliki lima aturan kebijakan yang ketat terkait pendanaan, termasuk larangan masuk ke sektor energi fosil dan memastikan setiap entitas yang dibiayai mencapai ambisi net zero 2050. Mereka tidak hanya mendanai hanya ke perbankan saja, tapi juga masuk untuk membuka pembiayaan untuk industri dan aktivitas berbasis proyek.
  • North Fund dari Norwegia juga menjadi inspirasi. Dana institusi ini berasal dari dividen pengelolaan migas, dikenal karena transparansinya yang tinggi. Masyarakat umum dapat mengakses informasi detail mengenai portofolio investasi, daftar proyek, hingga tingkat pengembalian.

Selanjutnya bisa baca di sini.

Kredit Terbanyak Mengalir ke Usaha Perdagangan

  • Di tengah kondisi perekonomian yang penuh dengan ketidakpastian, penurunan BI-Rate yang ketiga kalinya sepanjang tahun ini, memberi angin segar untuk dunia usaha. Lapangan usaha perdagangan tampaknya masih akan menjadi sektor yang paling banyak mendapat kucuran kredit.
  • Hingga Maret 2025, data Bank Indonesia menunjukkan total pinjaman yang disalurkan oleh bank umum dan BPR mencapai Rp 7.818.235 miliar. Pinjaman yang dialokasikan untuk sektor usaha produktif (lapangan usaha) juga terus menunjukkan peningkatan, yakni mencapai Rp 5.581.160 miliar atau 71% dari total kredit.
  • Lapangan usaha yang paling banyak mendapat kucuran kredit hingga Maret 2025 adalah perdagangan, yakni 1.206,9 triliun atau 21,6 persen dari total kredit berdasarkan lapangan usaha. Secara nominal, kredit ke sektor perdagangan ini tumbuh rata-rata 3,5% per tahun (selama periode 2019-2024). Namun, porsinya cenderung menurun dari 25% (2019) menjadi 21,7% (2024).

Selanjutnya bisa baca di sini.

BPS Rilis Data Inflasi dan Ekspor-Impor Juli 2025: Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data inflasi dan ekspor-impor Juli 2025 Jumat (1/8/2025), pukul 14.00 WIB, di Gedung BPS, Jakarta. Selain itu, BPS akan merilis berita resmi statistik (BRS) lainnya seperti Luas Panen Produksi Jagung & Padi, Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) dan Harga Beras, Perkembangan Pariwisata, dan Perkembangan Transportasi. Data-data ini menjadi indikator penting dunia usaha dalam mengambil keputusan.

Realisasi Pajak Baru untuk Pembelian Emas Batangan di Bullion Bank: Mulai tanggal 1 Agustus 2025, Kementerian Keuangan akan mengenakan pajak pembelian emas batangan di bullion bank yang dibebankan kepada pembeli. Perubahan aturan pajak ini akan berdampak signifikan pada industri emas, investasi, dan pasar keuangan. Hal ini juga akan memengaruhi minat masyarakat untuk berinvestasi dalam emas fisik melalui bullion bank.

"Jika Anda memikirkan jangka panjang, Anda dapat menghasilkan keputusan yang sangat baik yang tidak akan Anda sesali."Jeff Bezos (pendiri Amazon)

Selamat beraktivitas Chief.

Tim SUAR