Rayu AS, Indonesia Teken MoU Gandum USD1,25 miliar

Indonesia menandatangani nota kesepahaman (MoU) pembelian gandum senilai USD1,25 miliar dengan Amerika Serikat dalam upaya mencapai kesepakatan negosiasi untuk menghindari potensi beban tarif tinggi.

Daftar Isi

Indonesia menandatangani nota kesepahaman (MoU) pembelian gandum senilai USD1,25 miliar dengan Amerika Serikat dalam upaya mencapai kesepakatan negosiasi untuk menghindari potensi beban tarif tinggi.

Kesepakatan antara Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) dan US Wheat Associates ini diteken di Jakarta pada Senin (7/7), dan mencakup komitmen impor setidaknya satu juta metrik ton gandum per tahun selama lima tahun, mulai 2026 hingga 2030.

Akhir pekan lalu, pemerintah melalui PT Pertamina Geothermal Energy juga akan meneken kesepakatan (MoU) senilai US$ 34 miliar dengan perusahaan Amerika Serikat (AS).

Langkah ini dilakukan dua hari sebelum tenggat keputusan akhir dari pemerintah AS pada 9 Juli, yang akan menentukan nasib tarif atas produk Indonesia.

Saat ini, Indonesia menghadapi ancaman tarif tambahan sebesar 32 persen di luar tarif dasar 10 persen. Di tengah ketidakpastian ini, keterlibatan langsung pelaku usaha dinilai sebagai bentuk respons aktif Indonesia untuk menunjukkan keseriusan menyeimbangkan neraca perdagangan bilateral.

Ketua APTINDO Franciscus Welirang/Dokumentasi Pribadi

Ketua APTINDO Franciscus Welirang menyebut kesepakatan ini sebagai kontribusi dunia usaha untuk memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi.

Ia menyampaikan bahwa kerja sama pembelian gandum ini tidak hanya soal transaksi dagang, tetapi juga membangun hubungan jangka panjang antara pelaku usaha Indonesia dan petani gandum di Amerika Serikat.

"Ini bentuk memperkokoh hubungan business to business antara kita dengan para petani gandum di sana," ujarnya saat diwawancara SUAR melalui sambungan telpon di Jakarta pada Senin (07/07).

Franciscus menyebut bahwa selama ini volume impor gandum dari AS oleh anggota APTINDO berkisar di angka 500 ribu ton per tahun. Lewat MoU yang baru ditandatangani, pihaknya berencana meningkatkan volume tersebut menjadi satu juta ton mulai tahun depan.

Menanggapi situasi geopolitik yang tengah bergejolak, termasuk ketidakpastian akibat potensi perubahan kebijakan dagang AS di bawah Donald Trump, APTINDO menegaskan bahwa langkah ini tetap sejalan dengan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.

"Ini untuk kepentingan nasional. Indonesia kan netral, jadi harapannya kerja sama ini tetap bisa berjalan lancar dan tidak terdampak negatif," tambahnya.

Sudah terlibat aktif dari awal nego

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Sanny Iskandar menyatakan bahwa dunia usaha sejak awal telah terlibat aktif mengawal proses negosiasi kebijakan tarif antara Indonesia dan AS yang kini memasuki tahap krusial. Dalam 90 hari terakhir, APINDO dan pelaku usaha telah memberikan berbagai masukan resmi kepada pemerintah, mulai dari pemetaan ekspor-impor strategis hingga pemilihan komoditas prioritas yang bisa mendukung daya saing nasional di tengah tekanan proteksionisme.

“Kami memandang langkah pemerintah Indonesia yang mengajukan komitmen strategis senilai US$34 miliar kepada mitra-mitra strategis di Amerika Serikat sebagai bagian penting dari strategi negosiasi untuk meredam ancaman tarif resiprokal AS,” tulis Sanny dalam keterangannya kepada Suar pada Senin malam (7/7).

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sanny Iskandar/Dokumentasi Pribadi

Rencana pembelian energi, produk agrikultur, dan investasi jangka panjang oleh BUMN maupun lembaga investasi nasional seperti Danantara disebut sebagai bagian dari pendekatan win-win yang bisa menjaga akses pasar Indonesia ke AS. Sanny menilai bahwa komoditas seperti kapas, kedelai, produk susu, jagung, hingga crude oil bisa menjadi titik temu antara kebutuhan industri dalam negeri dan kekhawatiran defisit AS.

Meski kontribusi ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 10 persen dari total ekspor nasional, sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan mainan dinilai akan menjadi pihak paling terdampak jika tarif tinggi benar-benar diberlakukan. Di tengah tren pelemahan indeks manufaktur, biaya produksi yang meningkat, dan permintaan global yang melambat, Sanny mengingatkan pentingnya diversifikasi pasar, efisiensi produksi, serta penguatan daya saing rantai pasok.

“Stability, adaptability, dan competitiveness adalah prinsip kami. Dunia usaha mendorong diplomasi dagang yang berbasis data, sambil terus memberikan masukan agar pemerintah memiliki pijakan kuat dalam negosiasi,” lanjut Sanny.

Sebelumnya, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyatakan telah menyerahkan seluruh dokumen teknis yang diminta otoritas AS dan tengah mendorong MoU sebagai bahan tambahan dalam negosiasi.

Juru Bicara Kemenko Perekonomian Haryo Limanseto mengatakan bahwa dokumen MoU ini merupakan sinyal nyata dari keseriusan Indonesia untuk menyeimbangkan neraca perdagangan dengan AS.

“Kami ingin menunjukkan adanya potensi kerja sama konkret antara sektor usaha Indonesia dan AS. Harapannya, Indonesia bisa masuk dalam gelombang pertama negara yang mendapatkan penurunan tarif,” ujar Haryo, dikutip Kontan.

Data dari Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menunjukkan bahwa defisit perdagangan barang AS terhadap Indonesia mencapai US$17,9 miliar pada 2024, meningkat 5,4 persen dibanding tahun sebelumnya.

Pemerintah Indonesia berharap bahwa langkah-langkah seperti peningkatan impor gandum ini dapat memperkuat posisi dalam negosiasi dan membuka peluang kerja sama ekonomi jangka panjang yang lebih seimbang.

Data Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menunjukkan bahwa pada 2024, defisit perdagangan barang AS terhadap Indonesia mencapai US$17,9 miliar, naik 5,4 persen dari tahun sebelumnya.

Upaya ini sejalan dengan strategi pemerintah yang lebih luas: memperkuat kerja sama ekonomi dua arah, bukan hanya lewat ekspor, tetapi juga dengan meningkatkan impor strategis dari AS, terutama di sektor pertanian dan energi.

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya juga menyatakan bahwa MoU sektor swasta ini merupakan pelengkap dari dua proposal resmi yang sudah diserahkan pemerintah kepada AS.

Melansir IDN Times, sejumlah perusahaan Indonesia diundang untuk melakukan MoU dengan pihak AS. MoU dan rapat tersebut dijadwalkan berlangsung pada 7-8 Juli 2025 di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington, D.C., Amerika Serikat.

Adapun daftar pejabat perusahaan Indonesia yang diundang, antara lain berasal dari: PT Pertamina (Persero), PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Indo-Rama Synthetics Tbk, PT Indofood Sukses Makmur Tbk, PT FKS Food Sejahtera Tbk, PT Cargill Indonesia, PT Cerestar Flour Mills, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Bungasari Flour Mills, PT Fuguji Flour Indonesia, PT Dharma Mas, PT Duniatex, PT Budi Texindo Perkasa, PT Kahatex, Asosiasi Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), Asosiasi Perkelompokkan Produsen Jagung Indonesia, Staplecon (President and CEO).