Momentum positif bagi industri kakao Indonesia semakin menguat dengan adanya kenaikan harga cokelat di pasar dunia.
Mengutip Tradingeconomics, harga kakao pada penutupan perdagangan Senin (21/7/2025) mencapai USD 7.909 per ton, dalam tren naik 8,84 persen dibandingkan Kamis (17/7/2025) yang pada level USD 7.266 per ton.
“Harga cokelat dunia lagi sangat tinggi dan banyak berharap cokelat dari kita dan kita juga harus segera pembibitan baru, peremajaan baru ini kita sudah akan lakukan,” kata Presiden Prabowo Subianto di Solo, (20/7/2025)
Menurutnya, kenaikan harga global ini disebabkan oleh wabah yang merusak pohon-pohon cokelat di Amerika Latin dan Afrika, menciptakan defisit pasokan.
Menyikapi hal ini, Presiden menekankan pentingnya bagi Indonesia untuk segera melakukan pembibitan dan peremajaan pohon cokelat. Upaya ini bertujuan untuk memanfaatkan momentum kenaikan harga dan meningkatkan produksi kakao nasional. Langkah strategis ini sangat krusial untuk memastikan Indonesia dapat memaksimalkan potensi ekspor di tengah tingginya permintaan global.
Potensi Ekspor di Tengah Tantangan dan Peluang
Indonesia terus memperkuat posisinya sebagai pemain kunci dalam ekspor produk kakao dan olahannya. Data tahun Januari hingga Mei 2025 menunjukkan nilai ekspor kakao dan olahannya mencapai 338 juta USD dengan berat 27.965.477,6 Kg. Keberagaman negara tujuan ekspor menunjukkan jangkauan pasar yang luas, dengan beberapa mitra utama mendominasi:
- Amerika Serikat: Sekitar 20,64%
- Malaysia: Sekitar 17,35%
- Belanda: Sekitar 15,95%
- Jerman: Sekitar 11,87%
- Singapura: Sekitar 9,22%
- India: Sekitar 5,75%
- Tiongkok: Sekitar 3,21%
- Jepang: Sekitar 2,88%
- Kanada: Sekitar 1,72%
- Australia: Sekitar 1,59%
Selain negara-negara utama tersebut, Indonesia juga mengekspor kakao ke berbagai negara lain, menunjukkan diversifikasi pasar yang kuat. Pelabuhan-pelabuhan utama seperti Tanjung Priok, Tanjung Perak, dan Belawan menjadi gerbang utama distribusi ekspor kakao Indonesia.
Data impor kakao Indonesia senilai 220.333.959 USD juga menunjukkan adanya kebutuhan bahan baku olahan dalam negeri, yang dapat dioptimalkan dengan peningkatan produksi lokal. Dengan fokus pada peremajaan dan pembibitan, Indonesia tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan domestik tetapi juga secara signifikan meningkatkan pangsa pasarnya di kancah ekspor kakao global.
Namun, Executive Director Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Muhammad Faisal, menyoroti bahwa masih ada pekerjaan rumah besar bagi Indonesia untuk memaksimalkan peluang ini.
"Suplai kurang kurang untuk domestik, untuk global. Artinya mestinya kalau suplainya kurang, kita mestinya bisa mendorong produksinya, jadi bisa mendapatkan keuntungan dari situ karena permintaannya besar. Sementara suplainya terbatas di Indonesia dan juga di negara-negara penghasil kakao yang lain," katanya kepada Suar,(21/7/2025)
Faisal menjelaskan dua hambatan utama dalam mendorong produksi kakao Indonesia:
- Rendahnya Produktivitas Perkebunan: "Tingkat produktivitas dari perkebunan kakao kita itu rendah dan malah cenderung menurun," ujarnya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah terhadap peningkatan produktivitas lahan kakao, termasuk minimnya program peremajaan yang komprehensif, berbeda dengan komoditas lain seperti kelapa sawit.
- Keterbatasan Kualitas Standar Ekspor: "Untuk memenuhi standar kualitas kakao yang sesuai dengan spek yang diharapkan oleh misalnya pasar, misalnya Uni Eropa. Sementara untuk mencapai standar tersebut, kita masih relatif terbatas kemampuan untuk capacity building-nya di dalam negeri," nya. Ia mencontohkan negara-negara Afrika seperti Pantai Gading dan Ghana yang berhasil memenuhi pasokan ke Eropa karena proses pengolahan, termasuk fermentasi.
Kekurangan suplai ini, menurutnya, juga berdampak pada industri hilir di dalam negeri. "Banyak pabrik-pabrik cokelat itu relatif bisa bertambah, kesulitan untuk bisa bertambah dari sisi kuantitasnya. Karena kekurangan bahan baku kakao, plus gula," katanya, seraya menambahkan bahwa industri hilir sebetulnya banyak, namun bermasalah di pasokan bahan baku.
Strategi Mengatasi Tantangan dan Meraih Peluang
Untuk mengatasi keterbatasan kuantitas dan meningkatkan kualitas, Faisal menyarankan dua langkah utama:
- Program Peremajaan Kakao yang Sistematis dan Komprehensif: "Peremajaan perkebunan kakao," tegasnya. Banyak lahan kakao di Indonesia yang tidak produktif. Pemerintah perlu melakukan program peremajaan berdasarkan data lahan tidak produktif yang sudah tersedia. Program ini tidak hanya penyediaan bibit, tetapi juga pendampingan dan insentif bagi petani. "Bukan cuma dikasih bibit terus dilepas, nggak bisa tuh. Jadi harus ada pendampingan bahwa bibit ini di tahun pertama harus bagaimana, tahun kedua bagaimana, begitu terus sampai dia menghasilkan," imbuhnya.
- Insentif dan Asistensi Peningkatan Kualitas Biji Kakao: Diperlukan dorongan untuk meningkatkan kualitas biji kakao yang siap ekspor, termasuk melalui proses fermentasi dan pengeringan yang memenuhi standar internasional. "Bukan hanya dari sisi kuantitasnya yang didorong dengan peningkatan peremajaan di lahan-lahan yang tidak produktif, tapi juga kualitasnya memenuhi standar kebutuhan untuk ekspor," pungkasnya.
Dengan fokus pada peremajaan dan peningkatan kualitas, Indonesia tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan domestik tetapi juga secara signifikan meningkatkan pangsa pasarnya di kancah ekspor kakao global, mengambil keuntungan dari kenaikan harga dan permintaan di pasar internasional.
Ditambah adanya dorongan dari pemerintah untuk peremajaan dan pembibitan baru, Indonesia memiliki peluang besar untuk meningkatkan volume dan nilai ekspor kakao. Kenaikan harga cokelat dunia menjadi insentif kuat bagi petani dan industri kakao di Indonesia untuk menggenjot produksi dan kualitas. Peningkatan produksi yang didukung oleh inisiatif peremajaan akan memungkinkan Indonesia untuk mengisi kekosongan pasokan di pasar global, memperkuat posisi tawar, dan meningkatkan pendapatan negara dari sektor non-migas.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Ahmad Yohan menyampaikan apresiasi atas bangkitnya sektor pertanian cokelat sebagai sebagai komoditas unggulan.
Menurut dia, kesadaran untuk mengembangkan pertanian terutama komoditas cokelat muncul ketika pandemi COVID-19. Kala itu, lanjutnya, warga yang biasanya bergantung pada sektor pariwisata beralih ke pertanian, terutama cokelat.
“Permasalahan kita bukan hanya kuantitas tapi juga kapasitas dan kualitas. Kami ingin mengajak semua stakeholder untuk mendorong petani agar mengelola cokelat secara benar sehingga harga jualnya tinggi dan memberikan keuntungan lebih dibandingkan komoditas lain,” kata Yohan.
Indonesia termasuk penghasil cokelat terbesar kelima di dunia.Menurut data Kementerian Pertanian, produksi cokelat nasional mencapai sekitar 720 ribu ton per tahun, dengan sebagian besar berasal dari Pulau Sulawesi, Sumatera, dan Bali. Indonesia merupakan produsen cokelat terbesar kelima di dunia, setelah Pantai Gading, Ghana, Nigeria, dan Kamerun.
Namun, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam hal hilirisasi dan pengolahan cokelat, sehingga nilai tambah produk cokelat nasional belum maksimal. Banyak biji cokelat diekspor mentah ke luar negeri, sementara produk olahan bernilai tambah masih terbatas.
Ahmad Yohan menekankan, pentingnya mendorong hilirisasi produk cokelat di dalam negeri, agar hasil produksi dapat dinikmati langsung oleh masyarakat dan wisatawan tanpa harus diolah di luar negeri.
“Kita tidak ingin cokelat kita dibawa ke Swiss, lalu yang menikmati cuma sedikit hasilnya. Kita ingin wisatawan yang datang ke Bali bisa menikmati cokelat lokal berkualitas tanpa perlu ke negara lain,” ujar Politisi Fraksi PAN ini.
Ia juga menggarisbawahi perlunya edukasi dan peningkatan kapasitas petani agar pengolahan dan produksi cokelat dilakukan dengan standar yang baik sehingga kualitas dan harga jualnya bisa meningkat.