Permintaan Tinggi, Obligasi Ekonomi Hijau Indonesia Laris

Indonesia berada di posisi kedua di antara negara Asia Tenggara sebagai negara terbesar yang merilis obligasi ekonomi hijau dan berkelanjutan.

Permintaan Tinggi, Obligasi Ekonomi Hijau Indonesia Laris
Perangkat desa memeriksa panel surya yang dipasang untuk menggerakkan pompa air irigasi pertanian di desa Pengkok, Kedawung, Sragen, Jawa Tengah, Selasa (9/9/2025). Foto: Antara/Mohammad Ayudha/nz.

Seiring meningkatnya kesadaran akan praktik bisnis berkelanjutan, meningkat pula kebutuhan akses pendanaan aktivitas ekonomi hijau. Bagi industri keuangan, ini peluang menjadi sumber pendanaan kegiatan yang mendukung ketahanan iklim.

Environmental Finance (EF) Data seperti dikutip tim ekonom Bank Mandiri menyebutkan, Indonesia berada di posisi kedua di antara negara Asia Tenggara yang merilis obligasi ekonomi hijau dan berkelanjutan.

Detailnya, sebesar 18% dari total obligasi green, social, sustainability, and sustainability-linked (GSSS) di Asia Tenggara pada triwulan kedua 2025 dikeluarkan Indonesia. Adapun di peringkat pertama ada Singapura dengan porsi 64,3%. Namun, obligasi dari Indonesia menawarkan kupon tertinggi: 8,1%. Adapun masa tenornya cukup singkat yakni 3%.

Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, besarnya obligasi hijau yang dirilis Indonesia menunjukkan besarnya animo dan potensi kegiatan ekonomi hijau di Tanah Air.

"Banyak proyek yang memerlukan pendanaan. Di sini ada banyak potensi yang bisa diambil termasuk dari sektor pendanaannya," ujar Asmoro, dikutip dari risetnya Kamis (25/9/2025).

Beragam proyek

Tingginya kebutuhan pendanaan itu tercermin dari banyak dan beragamnya proyek pemerintah di bidang ekonomi hijau. Wakil Menteri Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan, beragam proyek itu untuk mendorong ketahanan energi nasional.

"Indonesia memang kaya sumber energi, tapi tantangannya adalah akses dan keterjangkauan, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terpencil)," ujarnya.

Program Bahan Bakar Minyak (BBM) Satu Harga telah meratakan biaya energi di 80% wilayah, dan ditargetkan meluas ke 225 daerah baru hingga 2029. Namun yang lebih ambisius adalah akselerasi energi baru terbarukan (EBT). Dalam RUPTL PLN 2025–2034, pemerintah menargetkan tambahan kapasitas listrik 69,5 GW, dengan 62% dari EBT atau sekitar 42,6 GW.

Potensinya luar biasa: dari total potensi EBT Indonesia sebesar 3.687 GW, baru 15,2 GW yang dimanfaatkan. Atau hanya 0,4%.

Dari sisi ekonomi, roadmap EBT dan hilirisasi memberi dampak masif:

  • Investasi energi hijau 2025–2034 diproyeksikan mencapai Rp 1.682 triliun.
  • Penciptaan 760.000 green jobs dari EBT.
  • Penurunan emisi 129,5 juta ton CO2.
  • Program mandatory biodiesel B40 (2025) dan B45–B50 (2026) diperkirakan menghemat devisa USD 9,3 miliar (Rp 147 triliun) dan membuka 2 juta lapangan kerja.
  • Hilirisasi nikel dan mineral lain berpotensi menghasilkan investasi USD 498 miliar dan mencetak 3 juta lapangan kerja.

“Indonesia termasuk negara yang dikaruniai limpahan energi terbarukan. Tantangannya bukan ketersediaan, tapi bagaimana memanfaatkan potensi ini dengan regulasi dan pembiayaan yang tepat,” kata Yuliot.

Bagi investor, prospek ini membuka pasar energi hijau terbesar di Asia Tenggara, sekaligus peluang diversifikasi dari dominasi fosil. Namun, kepastian regulasi, termasuk RUU Energi Baru Terbarukan yang tengah disiapkan, menjadi kunci untuk mengurangi risiko.

Seperti yang ditegaskan Ignatius Wahyu Marjaka, Direktur Tata Kelola Penerapan Nilai Ekonomi Karbon, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dalam pidato pembukanya, “Transisi energi yang adil adalah manifestasi dari visi kedaulatan pembangunan. Kita buktikan bahwa komitmen terhadap bumi bisa berjalan beriringan dengan komitmen terhadap kesejahteraan rakyat.”

Foto udara panel tenaga surya terpasang di atap Living quarter Harita Nickel, di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Rabu (17/9/2025). Harita Nickel telah memasang panel surya atap berkapasitas 40 MWp dari target pembangunan 300 MWp sebagai upaya mengurangi emisi karbon untuk mendukung Indonesia mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/rwa.

Ignatius menegaskan, transisi energi bukan sekadar kewajiban moral, melainkan investasi strategis untuk daya tahan ekonomi. Namun ia juga memberi peringatan: jika percepatan tidak dikalkulasi matang, risiko inflasi energi dan disparitas sosial akan meningkat.

Kerangka besar KLHK kini bertumpu pada nilai ekonomi karbon (NEK). Skema ini mengintegrasikan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dengan pembiayaan inovatif, termasuk pemanfaatan mekanisme Artikel 6 Paris Agreement. Artinya, setiap aksi dekarbonisasi, mulai dari reboisasi hutan hingga pengurangan emisi industri,  bisa diterjemahkan ke dalam karbon kredit yang laku diperdagangkan.

Sejak Bursa Karbon Indonesia diluncurkan pada 2023, transaksi memang sudah berjalan. Namun volumenya masih jauh di bawah potensi. Jika ekosistem matang, hutan, koperasi desa, hingga perusahaan bisa menjual sertifikat karbon, menciptakan pasar bernilai miliaran dolar.

Ignatius menekankan tiga prinsip: keberlanjutan lingkungan, keadilan sosial, dan pertumbuhan ekonomi inklusif. “Keberhasilan transisi tidak hanya diukur dari kuantitas investasi, tapi dari kualitas implementasi dan integritas lingkungannya,” katanya dalam sesi yang sama, Selasa (23/9).

Bagi pelaku usaha, sinyalnya jelas: peluang investasi hijau semakin besar, namun kredibilitas dan transparansi menjadi syarat utama untuk menarik modal jangka panjang.

Baca selengkapnya