Atur Strategi agar Petani Tidak Buntung ketika Kakao Global Oversuplai

Penurunan signifikan harga kakao global sepanjang tahun 2025 memengaruhi industri cokelat dunia. Indonesia yang menduduki posisi penting sebagai produsen kakao terbesar dunia juga menghadapi gejolak harga ini yang berimbas ke petani. 

Atur Strategi agar Petani Tidak Buntung ketika Kakao Global Oversuplai

Laporan Statistik Tanaman Perkebunan Indonesia dari Badan pusat Statistik (BPS) pada tahun 2024 menunjukkan Indonesia memproduksi biji kering kakao sebanyak 617.112 ton. Jumlah ini menurun 2,37% dari tahun sebelumnya. Jika dibandingkan dengan volume produksi dari negara produsen kakao lain seperti Pantai Gading dan Ghana yang relatif stabil atau meningkat, data tren produksi kakao Indonesia justru menurun beberapa tahun terakhir.

Fluktuasi harga di pasar internasional, terutama penurunan drastis sepanjang 2025 ini, dampaknya memberi tekanan ganda. Yaitu, menekan pendapatan petani sekaligus mengancam program peningkatan produktivitas nasional.

Pergerakan harga kakao sepanjang tahun 2025 dapat dilihat dalam dua babak. Pada awal tahun, harga kakao dunia sempat naik mencapai puncaknya di atas 11.623 dollar AS per ton pada minggu pertama Januari. Kenaikan drastis ini dipicu oleh fase El Nino yang memicu cuaca ekstrem yang melanda Afrika Barat. Kekeringan dan penyakit tanaman akibat fenomena iklim ini memengaruhi kuantitas produksi kakao. 

Memasuki pertengahan tahun, harga mulai terkoreksi tajam hingga mencapai titik terendah 5.858 dollar AS per ton pada pertengahan Oktober 2025. Penurunan ini mencerminkan koreksi besar hampir 50% dari puncak awal tahun. Penyebab utama dari anjloknya harga adalah terjadinya surplus pasokan yang berasal dari kawasan Afrika Barat, yang didukung oleh perubahan kondisi iklim. 

Bagi Indonesia, penurunan harga global akibat surplus dari negara lain ini menghasilkan dampak yang berbeda di sektor hulu dan hilir. Industri hilir (pengolahan kakao menjadi produk cokelat dan bubuk) relatif diuntungkan karena dapat memperoleh bahan baku dengan harga yang lebih murah. Namun, di sektor hulu yang digerakkan oleh petani, situasi yang terjadi adalah sebaliknya. 

Petani kakao menghadapi tantangan finansial karena harga beli di tingkat domestik anjlok, padahal sebagian besar dari mereka tidak memiliki perlindungan risiko yang memadai. Kondisi ini juga berpotensi menyebabkan eksportir biji kakao menahan ekspor karena harga patokan ekspor (HPE) yang ditetapkan pemerintah menjadi tidak menguntungkan, terutama dengan adanya bea keluar (BK) yang tetap berlaku.

Situasi harga yang fluktuatif cenderung menurun ini menjadi tantangan yang tidak mudah bagi Indonesia karena kecenderungan produksi kakao nasional yang juga menurun. Untuk jangka panjang, harus dipikirkan upaya untuk mengantisipasi gejolak harga dan iklim agar petani kakao tidak buntung.

Strategi seperti mempercepat program peremajaan dan rehabilitasi tanaman untuk meningkatkan produktivitas kebun yang sudah tua, hingga peningkatan kualitas biji melalui fermentasi untuk menciptakan nilai tambah dan diferensiasi produk harus dilakukan. Dengan fokus pada kualitas dan peningkatan efisiensi hulu, Indonesia dapat mengurangi kerentanan terhadap harga komoditas mentah dan memperkuat posisi sebagai pemain kakao dan berkelanjutan di pasar global.