Di tengah upaya pemerintah mengejar ketahanan pangan dan memastikan program Makan Bergizi Gratis (MBG) berjalan tanpa tersendat, sebuah suntikan dana besar siap mengalir ke sektor peternakan. Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) berkomitmen menggelontorkan Rp20 triliun untuk membangun jaringan peternakan ayam terintegrasi mulai 2026.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebut proyek yang digarap bersama Danantara ini dirancang untuk menutup kekurangan pasokan ayam dan telur di berbagai daerah. Langkah tersebut menjadi salah satu tulang punggung strategi nasional mendukung program MBG yang diinisiasi Presiden Prabowo Subianto untuk memperbaiki gizi anak bangsa menuju Indonesia Emas 2045.
Setelah rapat finalisasi program hilirisasi bersama Menteri Investasi dan CEO Danantara Rosan Perkasa Roeslani, Amran menegaskan bahwa pemerintah ingin memastikan stok protein hewani tidak kembali tersendat.
"Pendanaan dari Danantara dan ini akan dibangun di seluruh Indonesia yang kekurangan, shortage, untuk daging ayam dan telur," ujar Amran seusai mengikuti Rapat Finalisasi Program Hilirisasi Perkebunan dan Industri bersama Menteri Investasi dan Hilirisasi yang juga CEO Danantara, Rosan Perkasa Roeslani, pada Jumat (7/11/2025), dikutip dari Antara.
Pemerintah mengebut proses perencanaan dan studi kelayakan agar pembangunan bisa dimulai pada Januari 2026, sejalan dengan harapan pencairan dana Rp20 triliun dari Danantara. Dengan sistem peternakan terintegrasi, produksi ayam dan telur diharapkan meningkat signifikan, menjaga harga tetap stabil, dan memperkuat kemandirian pangan jangka panjang.
“Kami ingin memastikan tidak ada shortage lagi ke depan. Jadi kami siapkan dari sekarang,” kata Amran.
Kekhawatiran dari lapangan
Alvino Antonio, Ketua Paguyuban Peternakan Nusantara, mengikuti perkembangan ini dengan curiga yang jujur. Ia merasa program pemerintah di sektor unggas kerap berjalan tidak pada rel yang seharusnya.
Menurutnya, program-program yang digadang untuk meningkatkan kesejahteraan peternak justru tampak seperti proyek ‘menghabiskan anggaran’. “Hampir semua orang tahu siapa yang berada di belakang Menteri Pertanian,” ujar Alvino.
Ia mengatakan pemerintah tidak perlu ikut terjun berbisnis jika memang ingin menyejahterakan rakyat. Peran yang lebih tepat ialah menjadi regulator yang menegakkan aturan secara baik dan konsisten. “Kalau regulasi dijalankan dengan benar, ekosistemnya akan sehat tanpa perlu negara masuk sebagai pemain,” katanya.
Alvino juga mengkritik rencana penggunaan anggaran besar untuk memenuhi kebutuhan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ia menilai peternak rakyat sebenarnya mampu menyesuaikan kebutuhan pasokan MBG tanpa intervensi proyek raksasa, asalkan lingkungan usaha dibenahi.
Salah satu keluhan Alvino adalah persoalan pendanaan modal usaha karena bunga bank di Indonesia terlalu tinggi dibanding negara lain sehingga membuat mereka sulit bersaing.
Menurutnya, kebutuhan suplai untuk MBG juga tidak sebesar yang digambarkan. Karena itu, ia mempertanyakan siapa yang sebenarnya akan paling menikmati alokasi dana Rp20 triliun tersebut.
Selain itu, Alvino menilai komunikasi pemerintah sangat tertutup. Ia mengaku berkali-kali mengirim surat kepada Menteri Pertanian untuk menawarkan masukan dan kerja sama, tetapi tak pernah mendapat tanggapan. “Kami ingin membantu pemerintah, tapi mereka sibuk mengurusi sponsornya,” katanya.
Ia menambahkan, hingga kini persoalan dasar seperti harga beras dan jagung pun belum terselesaikan. Padahal biaya produksi peternakan unggas sangat bergantung pada harga jagung yang terus melonjak. “Katanya beras dan jagung sudah swasembada, tapi kok harganya masih tinggi?” ujarnya.
Menurutnya, kehadiran modal besar belum tentu otomatis menciptakan kesejahteraan merata. Bahkan menurut data pemerintah sendiri, nilai tukar peternak saat ini masih berada di kisaran 106–110, tanda bahwa penghasilan mereka cenderung stagnan. Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, juga mengakui kondisi peternak dan nelayan masih memprihatinkan.
"Nelayan itu masih miskin, nilai tukangnya masih 106-110. Sama dengan peternak ayam, peternak telur, itu belum (sejahtera-read)," kata Zulhas saat melakukan pertemuan dengan petani di Kios Pupuk Cahaya Tani, Dusun Tamelang, Purwasari, Karawang, Jawa Barat, Kamis (6/11).
Dua Jalan: Integrator Vertikal atau Horizontal?
Di titik inilah muncul satu tawaran solusi penting dari Muladno, inovator Sekolah Peternakan Rakyat, mantan Dirktur Jenderal (Dirjen) Peternakan Kementerian Pertanian, dan Guru Besar Fakultas Ilmu Peternakan IPB. Ia membagi cara pengelolaan industri unggas ke dalam dua model yaitu integrator vertikal dan integrator horizontal.
Integrator vertikal sudah lama mendominasi pasar: satu perusahaan menguasai seluruh rantai produksi, dari mulai dari grandparent stock, pakan, pembibitan, rumah potong, hingga distribusi. Semua milik satu entitas, sehingga pengelolaannya seragam dan mudah. Modal besar membuat mereka efisien, tetapi efek ke peternak kecil tipis.
Sebaliknya, integrator horizontal memecah rantai usaha ke banyak pelaku, dari penyedia pakan hingga peternak rakyat. Bibit bisa dimiliki A, pakan dimiliki B, pemotongan oleh C, sementara budidayanya dilakukan peternak rakyat yang dikonsolidasikan. Model ini lebih egaliter, kuncinya satu: konsolidasi. Tanpa itu, peternak kecil berjalan sendiri-sendiri dan mudah tumbang.
Menurut Muladno, justru di sinilah Rp20 triliun harus bekerja. “Dana ini harus diprioritaskan untuk integrator horizontal,” ujarnya.
Tidak perlu sekaligus besar. Kalau tahun pertama baru mampu menyerap Rp1 triliun untuk rakyat, sisanya bisa diberikan ke industri besar sambil perlahan diperluas.
Yang menarik dari gagasannya adalah strategi “satu kecamatan satu kekuatan”. Peternak harus dikonsolidasi minimal selama empat sampai lima bulan, diawasi pemerintah daerah dan perguruan tinggi. Dengan jadwal panen yang diatur dan skala yang diperbesar, satu kecamatan bisa berjalan seperti satu perusahaan besar.
Diskusi soal lokasi pembangunan kerap memicu sensitivitas. Namun Muladno menekankan bahwa faktor terpenting bukanlah wilayah, melainkan kesiapan manusianya. Jika komunitas peternak di Papua atau Aceh siap, pembangunan bisa dilakukan di sana.
Ia sekaligus mengingatkan risiko ketergantungan pada satu sumber pendanaan. Diversifikasi penting, bukan hanya untuk kestabilan proyek, tapi juga untuk mencegah politik anggaran mendominasi arah pembangunan.
Muladno menekankan bahwa konsolidasi adalah kunci. Peternak rakyat harus dihimpun minimal di tingkat kecamatan, diberi waktu 4–5 bulan untuk membangun struktur yang solid, dan didampingi pemerintah serta perguruan tinggi. Jika digarap benar, satu kecamatan dapat dikelola layaknya satu perusahaan besar, tanpa menghilangkan kemandirian masing-masing peternak. Model ini sudah ia uji sejak 2012 melalui Sekolah Peternakan Rakyat.
Karena itu, ia menilai dana Rp20 triliun seyogianya diprioritaskan untuk memperkuat integrator horizontal. Namun ia realistis: di tahap awal, kemampuan penyerapan mungkin kecil, misalnya hanya Rp1 triliun, sebelum bertahap meningkat. Pemerintah perlu menyiapkan regulasi mulai dari tingkat kecamatan hingga provinsi, agar dana benar-benar mengalir ke peternak kecil dan mendukung program MBG.
Untuk memastikan program ini berjalan efektif, Muladno menyebut beberapa indikator yang bisa dipantau publik. Pertama, harga ayam dan telur harus kompetitif dan wajar, terutama karena MBG menggunakan dana negara.
Kedua, koordinasi antar pelaku usaha harus berjalan, termasuk ritme produksi yang terjadwal. Ia memberi contoh pola “check-in” ayam pedaging yang bisa diatur per desa sehingga panen tidak menumpuk pada waktu yang sama.
Terkait pembangunan peternakan baru, Muladno menilai distribusi lokasi tidak boleh ditentukan oleh kepentingan politik atau investor. Yang lebih penting adalah kesiapan sumber daya manusianya (SDM). Ia menyebut Aceh, Lampung, hingga Papua sama-sama potensial selama komunitas peternaknya siap, termasuk dalam penyediaan pakan. Indonesia, katanya, punya lahan jagung dari ujung barat hingga timur.
Meski mengutamakan integrator horizontal, ia tidak menutup pintu kolaborasi dengan integrator vertikal. Perusahaan besar tetap punya peran, misalnya dalam penyediaan pakan, asalkan kerja samanya setara dan tidak melemahkan posisi peternak kecil.
Muladno, fondasi kuat selalu dibangun dari bawah. “Kalau dari atas, cepat, tapi peternak kecil tidak kebagian apa-apa,” ujarnya. Ia berharap desain kebijakan ini memberi ruang bagi rakyat kecil untuk tumbuh, bukan hanya memperbesar industri yang sudah mapan.
Pertumbuhan inklusif
Eliza Mardian, peneliti dari CORE Indonesia, mengingatkan bahwa model pengembangan peternakan yang tidak adil dan tidak inklusif berisiko menyingkirkan peternak kecil dari putaran ekonomi. “Kalau skemanya hanya berputar di kelompok yang itu-itu saja, ya pemerataan ekonomi tidak akan terjadi,” ujarnya. Padahal, menurutnya, visi ekonomi Pancasila yang dibawa pemerintahan Prabowo mensyaratkan keadilan sosial yang dirasakan seluas mungkin.
Ia menekankan pentingnya melibatkan masyarakat lokal sebanyak mungkin dan memastikan efek ganda pembangunan benar-benar mengalir ke mereka. Jangan sampai dana negara hanya terkonsentrasi pada segelintir aktor besar. Agar program ini layak disebut prioritas nasional, ruang partisipasi warga dan desain kemitraan harus kuat.
Eliza memberi contoh skema kemitraan yang bisa diterapkan. Peternak kecil bisa dikumpulkan dalam kelompok, lalu kelompok ini mengatur jadwal panen telur atau ayam secara bergiliran untuk memasok kebutuhan harian SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi). Dengan begitu, rantai pasok tetap stabil dan peternak kecil punya posisi lebih kuat.
Ia menilai rencana pemerintah membangun sentra peternakan terintegrasi untuk mendukung program MBG perlu diapresiasi. Namun lokasi pembangunan harus memenuhi syarat ekologis, seperti kelembaban dan suhu yang stabil, ketinggian sedang, dan dukungan infrastruktur pakan. “Mayoritas pakan unggas masih berbasis jagung. Jangan sampai peternak malah kesulitan mendapatkan pakan karena local supply chain-nya tidak dibangun,” katanya.
Saat ini, sekitar 63 persen produksi telur nasional masih terkonsentrasi di Jawa. Karena MBG juga menyasar wilayah 3T dan daerah luar Jawa, Eliza menilai pemerintah perlu memprioritaskan pembangunan sentra peternakan di luar Jawa. Tujuannya mengurangi disparitas harga telur dan ayam, sekaligus memotong biaya distribusi yang selama ini membengkak karena harus dikirim dari Jawa.
Menurutnya, pemerintah perlu menggandeng peternak kecil agar mereka bisa memasok MBG secara langsung. Bila pasokan berasal dari daerah sendiri, biaya distribusi dapat ditekan dan daerah menjadi lebih mandiri memenuhi kebutuhan pangannya.
Ia menegaskan, program ini tidak boleh eksklusif hanya untuk perusahaan besar. Justru inklusivitas menjadi kunci agar MBG benar-benar menjadi penggerak ekonomi lokal. Keterlibatan masyarakat kecil, pemenuhan gizi, pemerataan harga, hingga munculnya lapangan kerja baru di sektor pertanian desa harus menjadi indikator yang dipantau pemerintah, bukan hanya serapan anggaran.
“Partisipasi masyarakat dan seberapa besar efek gandanya ke ekonomi lokal harus jadi indikator utama,” kata Eliza. Jika lokal supply chain terbangun dan masyarakat ikut menjadi bagian dari produksi, harga telur dan ayam bisa lebih terkendali, biaya distribusi turun, dan daerah menjadi mandiri dalam menyediakan bahan pangan untuk MBG.