Hubungan antar manusia perlu didasari oleh rasa menghormati, dan pastinya selalu melibatkan emosi. Hubungan suami istri dalam ikatan perkawinan, misalnya. Agar bisa langgeng, tentu hubungan itu tak hanya berdasar rasa kasih sayang, tapi juga perlu ada saling memberi dan menerima, saling melengkapi, juga mengerti apa kekurangan dan kelebihan pasangannya.
Dalam konteks dunia kerja, hubungan sehat antara atasan dan bawahan – juga sesama karyawan – perlu didasari oleh rasa hormat menghormati, penuh kepercayaan kepada koleganya, dan mau saling bekerjasama.
Lalu, bagaimana jika sebuah hubungan sudah kehilangan rasa, tak ada lagi emosi yang memantik percikan-percikan gairah untuk mencapai tujuan bersama? Maka, di titik ini akan ada potensi hubungan itu pecah.
Dalam hubungan di dunia kerja, hubungan profesional yang terjalin tanpa emosi menjadi hilang makna. Yang tersisa hanya pekerja-pekerja berotak mesin yang beraktivitas sesuai programnya dari pagi dan bubar di sore hari. Lalu itu diulang lagi seterusnya, tanpa meninggalkan jejak berkesan.
Karyawan kurang bahagia, yang bekerja sesuai tugasnya namun tidak dilandasi gairah, bisa jadi merupakan bagian dari fenomena The Great Detachment. Istilah ini merujuk pada fenomena keterputusan besar-besaran yang dialami individu maupun masyarakat dari nilai-nilai, komunitas, dan makna hidup yang dulu menjadi fondasi kehidupan bersama.
The Great Detachment bisa muncul dalam bentuk alienasi dari pekerjaan yang bermakna, keterasingan sosial akibat teknologi dan urbanisasi, ketidakpercayaan terhadap institusi publik, hingga kehampaan spiritual di tengah kemajuan material.
Fenomena ini bukan sekadar masalah psikologis atau sosial, melainkan juga persoalan filosofis yang menyentuh inti eksistensi manusia: untuk apa kita hidup bersama?
Dalam praktiknya, fenomena ini mendorong seorang yang mengidapnya tetap menjalankan tugas mereka dengan profesionalisme tinggi dan memenuhi target yang ditetapkan, namun mulai menjaga jarak secara emosional dan psikologis dari pekerjaan.
Tugas atau aktivitas kerja pun cenderung dianggap sebagai tanggung jawab yang harus diselesaikan, bukan lagi sebagai panggilan atau sarana aktualisasi diri. Motivasi karyawan beralih dari loyalitas terhadap perusahaan ke fokus pada keseimbangan hidup dan pemenuhan kebutuhan pribadi.
Fenomena ini dipicu oleh berbagai faktor. Namun yang utama, generasi muda, terutama millennial dan Gen Z, semakin mencari makna di tempat kerja. Tidak hanya dalam bentuk gaji, tetapi juga fleksibilitas, keseimbangan hidup, dan dampak positif terhadap hidup secara keseluruhan.
The Great Detachment menyoroti perlunya pendekatan baru dalam memahami hubungan karyawan dengan pekerjaan. Strategi yang adaptif dan berfokus pada pemenuhan kebutuhan karyawan sangat penting.
Tiga langkah utama yang dapat diambil adalah memperkuat keterlibatan karyawan melalui pendekatan holistik, memberikan fleksibilitas untuk mendukung work-life balance, dan fokus pada kesehatan mental karyawan.
Dengan cara ini, perusahaan dapat menjaga produktivitas dan loyalitas karyawan dalam jangka panjang.
Maka dalam aktivitasnya, suatu perusahaan perlu ada kegiatan bersama yang bermakna, bukan sekadar yang bermotif konsumtif, sehingga dapat memulihkan rasa keterhubungan. Gantikan paradigma kompetisi dengan paradigma kepedulian.
Dan, meski bisa dimaknakan negatif, Great Detachment bisa jadi sebuah panggilan untuk kembali merajut makna, bukan sekadar mengisi kekosongan. Ia menantang kita untuk membangun kembali jembatan antara diri, sesama, dan dunia, dengan keberanian eksistensial, kelembutan spiritual, dan komitmen sosial.