Mencari "Win-Win Solution" Ojek Daring, Aplikasi, dan Konsumen

Mencari keseimbangan agar bisnis aplikasi transportasi daring bisa berkelanjutan namun mitra ojek daring bisa tetap sejahtera dan konsumen tetap diuntung.

Mencari "Win-Win Solution" Ojek Daring, Aplikasi, dan Konsumen
Aksi 217 Ojek Online di Jakarta, (21/7/2025)/Suar

Lagi-lagi pengemudi transportasi daring berunjuk rasa di Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat (21/7/2025). Setidaknya sudah tiga kali pada 2025, mereka berunjuk rasa. Pesannya sama, meminta pengurangan potongan komisi ke aplikasi agar mereka bisa lebih sejahtera.

Terik matahari tidak menyurutkan Lily Pujiati untuk menyuarakan aspirasi para mitra pengemudi. Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) ini menyampaikan, tuntutan utama serikatnya yang berpusat pada penurunan potongan aplikator dan pengakuan status pengemudi sebagai pekerja.

"Yang pasti tuntutan kami adalah potongan ya, turunkan potongan aplikator dari 20% menjadi 10%, itu maksimal," Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati.

Lily menekankan, di tengah kondisi ekonomi yang menantang, kenaikan tarif tidak akan signifikan tanpa perubahan potongan aplikator. SPAI meyakini potongan 10% sudah cukup adil, mengingat aplikator masih menerima biaya tambahan lain dari layanan.

Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI),Lily Pujiati, Jakarta, 21 Juli 2025/Suar

Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojol Garda Indonesia Raden Igun Wicaksono, demonstrasi ini dipicu oleh minimnya tindak lanjut pemerintah terkait regulasi transportasi online. Ia menyoroti bahwa sudah dua bulan berlalu sejak aksi damai besar pada 20 Mei 2025 dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPR RI, namun belum ada kebijakan konkret yang dikeluarkan.

Tuntutan para pengemudi online ini bersanding dengan analisis Direktur Ekonomi Digital Center of Law and Economic Studies (CELIOS), Nailul Huda, yang juga mengulas kompleksitas dan potensi solusi untuk mencapai ekosistem yang seimbang.

Ia menyoroti, Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor 1001 Tahun 2022 mengatur biaya tidak langsung yang dibayarkan pengemudi ke platform maksimal 20%, yang terdiri dari 15% biaya sewa dan 5% untuk dukungan kesejahteraan.

Namun, ia mencatat adanya informasi yang tidak sempurna karena kebijakan tersebut mengategorikan biaya tidak langsung sebagai komponen tarif perjalanan, bukan biaya yang dibebankan langsung kepada konsumen. 

"Maka muncul informasi yang tidak sempurna terkait dengan potongan ini," jelasnya, seraya menambahkan, "Sudah seharusnya aturan tersebut juga diperjelas untuk memastikan informasi bagi pengemudi dan penumpang sama,” ujarnya kepada Suar, (21/7/2025)

Direktur Ekonomi Digital Center of Law and Economic Studies (CELIOS), Nailul Huda/Dok.Pribadi

Huda menekankan perlunya kejelasan aturan untuk memastikan informasi yang sama bagi pengemudi dan penumpang. Ia juga memperingatkan bahwa penurunan drastis biaya tidak langsung dapat merugikan platform yang memiliki biaya operasional besar dan mengandalkan promo untuk menarik konsumen yang price-oriented.

Jika biaya tidak langsung berkurang, platform mungkin akan menaikkan platform fee, yang pada akhirnya membuat harga bagi penumpang semakin mahal dan berpotensi mengurangi pendapatan pengemudi.

Persoalan Status Driver Ojol

Selain masalah potongan, SPAI secara konsisten memperjuangkan agar pengemudi daring diakui sebagai pekerja. "Di seluruh dunia ini semua terlihat tentang driver. Bahwa driver adalah pekerja, bukan lagi mitra," kata Lily dari SPAI.

Pengakuan ini, menurutnya, krusial untuk memastikan kesejahteraan pengemudi, termasuk jaminan sosial yang seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan, bukan ditanggung mandiri oleh pengemudi. 

SPAI mendesak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk mengatur status pengemudi, membedakannya dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang hanya mengatur kendaraannya.

Ia juga mengkritisi keengganan aplikator mengakui pengemudi sebagai pekerja karena implikasi finansial seperti pembayaran THR dan jaminan sosial. Ia mengecam taktik aplikator yang menyebarkan isu PHK atau memecah belah pengemudi.

"Menurut kami itu sudah enggak wajar, ya. Janganlah para aplikator ini untuk mengadu domba antara driver, satu dengan driver yang lain," tegasnya. Ia juga menyoroti masalah pajak aplikator asing di Indonesia, sementara pengemudi justru membayarnya, seraya berharap pemerintah dapat bertindak tegas.

Di sisi lain, Huda dari CELIOS mengemukakan, status karyawan tetap dapat menghilangkan esensi pekerja gig yang bercirikan fleksibilitas waktu. Ia berargumen bahwa model ini dapat berujung pada PHK massal dan menjadi beban berat bagi aplikator yang tidak lazim memiliki jutaan karyawan tetap.

Ia melihat bisnis ride-hailing sebagai two-sided market, di mana pengemudi juga merupakan konsumen bagi platform. Oleh karena itu, platform harus memberikan kompensasi yang adil bagi pengemudi tanpa membebani konsumen akhir.

Usulan Solusi

Baik SPAI maupun Huda dari CELIOS sama-sama menyoroti pentingnya kejelasan dan keseimbangan dalam ekosistem transportasi online. Lily menepis model kemitraan berlangganan sebagai pengalihan isu, menegaskan bahwa solusi utama tetap pada pengakuan status pengemudi sebagai pekerja.

Huda menawarkan solusi win-win dengan memperjelas aturan pemotongan 20%, menjadikannya bagian dari total yang dibayarkan konsumen agar lebih transparan. Ini, menurutnya, bisa memberikan kejelasan dan potensi pendapatan lebih bagi pengemudi dari platform fee, meskipun mungkin mengurangi bagian platform.

Ia juga menyarankan opsi memasukkan asuransi perjalanan sebagai komponen biaya perjalanan. Ia memperingatkan bahwa setiap kenaikan harga bagi penumpang harus hati-hati dan proporsional terhadap elastisitas permintaan konsumen.

Sama seperti penumpang yang bebas memilih platform, lanjut Huda, pengemudi juga harus memiliki hak yang sama untuk memilih dan bahkan bergabung dengan lebih dari satu platform, sehingga pengaturan yang adil harus berlaku.

Kedua pandangan ini menyoroti kompleksitas dalam menciptakan ekosistem transportasi online yang adil dan berkelanjutan, di mana kesejahteraan pengemudi, keberlangsungan platform, dan keterjangkauan bagi konsumen dapat tercapai.

Respons Grab Indonesia: Menghargai Aspirasi dan Dukung Kajian Biaya Jasa

Menanggapi aksi pengemudi, Tirza Munusamy, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, menegaskan bahwa perusahaan menghargai hak mitra pengemudi untuk menyampaikan aspirasi secara tertib, damai, dan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Grab Indonesia, lanjutnya, terus berkoordinasi dengan instansi pemerintah, khususnya Kementerian Perhubungan, untuk mendukung implementasi kebijakan yang mengedepankan kesejahteraan mitra, kenyamanan pengguna, dan keberlanjungan industri. Grab menyambut baik inisiatif pemerintah untuk meninjau kembali struktur biaya jasa transportasi daring.

Grab Indonesia memahami bahwa penyesuaian biaya jasa belum signifikan dalam tiga tahun terakhir, sementara biaya hidup dan operasional pengemudi meningkat. "Sehingga, Grab melihat bahwa kajian penyesuaian biaya jasa merupakan langkah yang tepat untuk membangun ekosistem transportasi yang lebih adil, berkelanjutan, dan mengayomi semua pihak," jelasnya kepada SUAR, (21/7/2025)

Pihaknya memandang bahwa usulan penurunan komisi hingga 10% tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan ekosistem secara keseluruhan. Sebab, komisi tersebut digunakan untuk berbagai aspek penting bagi mitra, seperti layanan bantuan 24/7, asuransi kecelakaan, edukasi (GrabAcademy), serta beragam program kesejahteraan dan insentif sukarela seperti GrabBenefits dan beasiswa.

"Sejalan dengan itu, kami memandang bahwa usulan penurunan komisi hingga 10% tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan ekosistem secara keseluruhan," kata Tirza.

Wakil Menteri Perhubungan, Suntana, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi V DPR RI telah menyapaikan, Kementerian Perhubungan saat ini tengah mengkaji skema terbaik antara Aplikator dan Ojek Online. Ia menambahkan potongan 20% pernah turun ke 15%.

"Kenapa bisa berubah 20 persen, Kalau enggak salah pernah diturunkan 15 persen. Waktu itu BBM naik, sehingga ada tuntutan untuk diturunkan 15 persen. Namun, ada permintaan dari aplikator untuk dicarikan solusi pak. Jadi 15 plus 5 persen (potongan aplikator) oleh Menko Marves dan Menteri Perhubungan yang lama," katanya, (30/6/2025)

Kementerian Perhubungan terus berusaha mencari solusi yang tepat dari tuntutan pengemudi ojek online sesuai dengan aspirasi yang disampaikan oleh Komisi V DPR RI.