“No judging!” Begitu celetukan anak perempuan saya, ketika diingatkan ibunya untuk memperbaiki cara belajarnya. Pernyataan personal yang ingin menegaskan orang lain tak perlu menghakiminya, mengkritik dirinya.
Tentu saja ini jawaban di luar ekspektasi orang tuanya, yang saat seumuran si anak, tak akan pernah berani memberikan jawaban seperti itu, jika tak ingin kena omelan lebih panjang dan lebar.
Tapi zaman memang sudah berubah. Atau zaman terus berubah, karena generasi sekarang berkomunikasi lebih bebas, beda dengan generasi sebelumnya. Ia juga mendapatkan informasi dari mana saja.
Anak zaman dulu, ketika mendapat kritikan atau penilaian dari orang lain akan nurut, bukan malah kasih komentar balasan. Tapi itulah nilai yang kita berikan sekarang, nilai demokrasi yang mengutamakan kesetaraan dan kebebasan.
Lalu apakah kritik, atau penilaian, itu perlu dilakukan, di saat orang merasa sepadan dengan orang lain. Dalam hubungan antar personal, tentu saja masukan, kritik, atau penghakiman seperti itu bisa menimbulkan ketidaknyamanan. Anda tak kenal siapa orang itu, tapi tiba-tiba dia mengkritik gaya berpakaian Anda, ya pasti marah, minimal bad mood.
Situasi sebaliknya berlaku dalam sebuah hubungan hierarkis sebuah organisasi, apalagi organisasi atau institusi yang mencari laba. Penilaian tentu saja wajib dilakukan, apalagi penilaian kinerja. Yang jadi pertanyaan, apakah penilaian bisa dilakukan siapa saja kepada siapa saja?
Walau kadang, kadar penilaian itu sekadar mengomentari hasil kerja kolega lain di divisi lain dan tak bermaksud apa-apa, namun melakukan evaluasi tanpa prosedur dan aturan, akan jadi persoalan. Karena mengomentari sebuah hasil kerja, meski itu hanya sekadar kasih pertimbangan pribadi, apalagi pendapat itu ditujukan ke pihak sebelah, maka yang merasa jadi alamat komentar itu bisa tersinggung, merasa dirundung.
Hubungan antar personal bisa merenggang, hingga kinerja perusahaan pun malah menurun. Di sinilah perlunya kesadaran tentang prinsip-prinsip etika komunikasi, dan kewajiban profesional.
Penghormatan terhadap hak dan martabat
Dalam sebuah hubungan antar anggota organisasi, ada aturan moral yang berlaku, yaitu perlunya menghormati profesionalisme dan menjaga tatanan hierarki serta komunikasi yang benar. Apalagi melontarkan komentar dalam konteks berorganisasi, saat acara ngopi di pertemuan tidak resmi, apalagi di group chat, bukanlah forum yang tepat untuk memberikan kritik.
Kritik, terutama yang sensitif, seharusnya disampaikan melalui jalur komunikasi yang formal dan privat, seperti pertemuan langsung atau e-mail, bukan di ruang publik virtual yang melibatkan banyak orang yang tidak relevan.
Etika komunikasi menuntut adanya penghormatan terhadap hak dan martabat setiap individu. Dalam filsafat eksistensialisme, seperti yang dikemukakan filsuf Austria-Israel Martin Buber, komunikasi sejati terjadi dalam relasi “Aku-Kamu”, bukan “Aku-Itu”. Artinya, kita harus melihat lawan bicara sebagai subjek yang utuh.
Pada level yang lain, komunikasi yang ditujukan untuk mengevaluasi juga perlu mengedepankan prinsip paling fundamental, yaitu kejujuran. Komunikasi profesional harus didasarkan pada kebenaran dan fakta yang akurat. Selain juga menekankan adanya transparansi yang bisa menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan meminimalkan rumor atau misinformasi. Transparansi juga bisa menunjukkan rasa hormat kepada rekan kerja, karena mereka diberikan informasi yang mereka butuhkan untuk membuat keputusan yang tepat.
Transparansi juga bisa menunjukkan rasa hormat kepada rekan kerja, karena mereka diberikan informasi yang mereka butuhkan untuk membuat keputusan yang tepat.
Bagaimana pun, komunikasi memang bagian dari kebebasan ekspresi. Namun dalam ajaran filsafat liberal yang menekankan kebebasan berekspresi, kebebasan ini tidak absolut. Filsuf Inggris, John Stuart Mill, dalam On Liberty menyatakan, kebebasan berbicara harus dibatasi ketika ucapan tersebut cenderung menghakimi sehingga merugikan orang lain. Maka, etika komunikasi menuntut keseimbangan antara hak untuk berbicara, dan tanggung jawab atas dampak dari ucapan tersebut.
Jadi dalam batasan interaksi ke sesama, setiap kata yang kita ucapkan, utamanya saat hendak mengungkapkan penilaian ke pihak lain, tersimpan potensi untuk membangun atau meruntuhkan. Maka, komunikasi yang etis dalam konteks untuk memberikan pertimbangan atas kinerja pihak lain, apalagi yang tidak punya hubungan langsung secara hierarki, adalah bentuk tanggung jawab moral kita terhadap kolega.
Dengan memahami prinsip-prinsip filosofis ini, kita tidak hanya menjadi komunikator yang baik, tetapi juga manusia yang lebih bijak dan bermartabat.