Kedokteran Asuransi: Saat Dokter Turun Tangan Menyembuhkan Sistem Kesehatan

SIARAN PERS

Daftar Isi

Jakarta, 15 Oktober 2025 – Di tengah inflasi medis yang menanjak, potensi defisit dana jaminan sosial, dan sengketa klaim yang berulang, sistem kesehatan Indonesia berjalan di atas keseimbangan rapuh antara idealisme medis dan kalkulasi biaya. Siapa yang menjaga keseimbangan itu? Jawabannya mungkin terletak pada sebuah disiplin yang lama luput dari perhatian publik: kedokteran asuransi (insurance medicine).

Krisis biaya kesehatan, ketimpangan layanan, dan kebocoran klaim menandakan perlunya tata kelola pembiayaan berbasis ilmu kedokteran, bukan sekadar rumus aktuaria. Kedokteran asuransi hadir bukan untuk memilih antara sisi medis atau finansial, tetapi menjembatani keduanya agar sistem jaminan sosial dan industri asuransi kembali sehat, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Dokter Harus Menjadi Penjaga Nalar Sistem Kesehatan

Ketua Pengurus Pusat PERDOKJASI, Marsma TNI (Purn) Dr. dr. Wawan Mulyawan, SpBS, Subsp.N-TB, SpKP, AAK, menegaskan bahwa kedokteran asuransi adalah “evolusi logis profesi dokter di tengah kompleksitas jaminan sosial dan asuransi kesehatan.”

“Selama ini, sistem pembiayaan kesehatan dipimpin oleh logika biaya, bukan logika klinis. Padahal mutu layanan dan keberlanjutan keuangan tidak bisa dipisahkan. Kedokteran asuransi berbasis bukti mengembalikan peran dokter sebagai gatekeeper sekaligus policy advisor,” ujarnya.

Ketua Pengurus Pusat PERDOKJASI, Marsma TNI (Purn) Dr. dr. Wawan Mulyawan/Foto: Dokumentasi Perhimpunan Dokter Pembiayaan Jaminan Sosial dan Perasuransian Indonesia (PERDOKJASI)

Menurutnya, tanpa keterlibatan dokter dalam desain manfaat, pengendalian klaim, dan evaluasi risiko, sistem jaminan sosial hanya akan menjadi tarik-menarik antara pembayar dan penyedia.

“Kita butuh Insurance Medicine Council yang menjaga keseimbangan antara hak peserta, keberlanjutan dana, dan tanggung jawab profesional,” tegas dr. Wawan.

Kesehatan Bukan Sekadar Biaya, tetapi Aset Finansial Bangsa

Dari sisi industri, dr. Emira E. Oepangat, FLMI, CFP, AEP, AAAIJ, AAAK, selaku Ketua Panitia FORESIGHT PERDOKJASI 2025, menilai kedokteran asuransi sebagai jembatan antara medis dan finansial.

“Kita bicara financial sustainability, tapi bagaimana bisa berkelanjutan kalau analisis risiko tidak didukung data klinis? Dokter dan aktuaria harus duduk di meja yang sama,” ujar dr. Emira, yang juga Country Director Indonesia LOMA LIMRA International.

Ia menyoroti inflasi medis 13–15 persen per tahun, dengan penyakit kronis seperti gagal ginjal dan jantung menggerus separuh klaim BPJS.

“Jika tren ini dibiarkan, perusahaan akan memangkas manfaat, peserta JKN menanggung antrean panjang. Kedokteran asuransi membangun health-financing intelligence — kecerdasan pembiayaan untuk mencegah kebocoran klaim dan melindungi peserta,” jelasnya.

Menurutnya, cara pandang yang menganggap kesehatan sebagai beban biaya menciptakan blind spot kebijakan. Padahal kesehatan adalah aset finansial bangsa yang menentukan produktivitas dan stabilitas ekonomi.

Mendorong Ekosistem Insurance Medicine Indonesia

Dr. Wawan mencontohkan negara seperti Swiss, Belanda, dan Swedia, di mana kedokteran asuransi telah terintegrasi dalam sistem jaminan sosial melalui evidence-based decision making.

“Sudah saatnya Indonesia mengikuti jejak itu. Dokter tak boleh hanya pelaksana klaim, tapi juga perancang sistem yang berkeadilan,” ujarnya.

Sementara dr. Emira menilai kunci masa depan ada pada integrasi digital dan transparansi data.

“Kita punya peluang emas membangun Health Insurance Intelligence Hub — platform data bersama antara dokter, aktuaria, dan regulator. Itulah masa depan kedokteran asuransi Indonesia,” tegasnya.

Dunia Sudah Bergerak, Indonesia Tak Boleh Tertinggal

Di Swiss, University of Basel memiliki program Master of Advanced Studies in Insurance Medicine untuk melatih dokter menjadi system assessors — penilai kebijakan berbasis bukti ilmiah. Belanda dan Swedia bahkan menempatkan dokter asuransi dalam dewan kebijakan disabilitas nasional.

“Indonesia harus berani membangun ekosistem serupa,” kata dr. Wawan. “Tanpa dokter yang memahami pembiayaan dan risiko, sistem jaminan sosial akan terus sibuk memadamkan api tanpa tahu dari mana sumber asapnya.”

Menghubungkan Ilmu, Bukan Memisah Profesi

Baik dr. Wawan maupun dr. Emira menegaskan, kedokteran asuransi bukan keberpihakan pada industri atau BPJS, melainkan pada keseimbangan sistem.

“Kita butuh tata kelola kesehatan berbasis bukti, data, dan integritas profesi — bukan kepentingan sektoral,” ujar dr. Emira.

PERDOKJASI kini tengah membentuk Medical Advisory Board lintas profesi kedokteran untuk memberi rekomendasi ilmiah dalam kebijakan klaim, tarif, dan desain manfaat. Dewan ini diharapkan menjadi penghubung antara dunia medis dan tata kelola keuangan.