Industri hasil hutan, khususnya kayu dan produk olahannya, menjadi salah satu andalan dalam perekonomian Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai produksi kayu bulat dari tahun 2019-2024 menunjukkan tren peningkatan volume produksi.
Produksi kayu nasional tumbuh signifikan, dimulai dari 57,930 juta meter kubik pada tahun 2019 dan mencapai puncaknya di 68,215 juta meter kubik pada tahun 2023. Tahun 2024 produksi sedikit menurun menjadi 64,839 juta meter kubik.
Peningkatan produksi mencerminkan tingginya permintaan pasar domestik maupun global terhadap produk kayu olahan, seperti plywood, furniture, dan pulp & paper. Hal itu buah dari upaya pemerintah dan sektor swasta dalam menjaga pasokan bahan baku melalui pengelolaan hutan lestari dan perizinan hutan tanaman industri (HTI).
Secara geografis, produksi kayu bulat di Indonesia didominasi oleh dua wilayah utama, yaitu Sumatera dan Kalimantan. Kontribusi dari kedua wilayah ini secara konsisten menjadi penopang utama produksi nasional.
Sumatera merupakan wilayah penghasil kayu bulat terbesar, dengan volume mencapai puncaknya sebesar 46,096 juta meter kubik pada tahun 2023, meskipun mengalami penurunan pada 2024.
Sementara itu, Kalimantan menunjukkan tren peningkatan yang stabil, dengan volume 13,154 juta meter kubik pada tahun 2024. Wilayah lain seperti Jawa menunjukkan volume yang relatif stabil (sekitar 7-8 ribu meter kubik). Produksi wilayah Sulawesi serta Maluku dan Papua mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Produksi di Sulawesi, misalnya, tumbuh pesat dari 182,06 ribu meter kubik (2019) menjadi 411,07 ribu meter kubik (2024), menunjukkan adanya potensi pengembangan industri hasil hutan di kawasan timur Indonesia.
Dinamika produksi kayu bulat ini sangat erat kaitannya dengan kinerja ekspor produk kayu olahan Indonesia di pasar global. Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa setelah puncak volume ekspor mencapai 23.114.354,87 meter kubik pada tahun 2021, volume ekspor cenderung menurun di tahun-tahun berikutnya. Hingga di tahun 2025 (periode Januari-November) mencapai 17.207.669,95 meter kubik.
Meskipun terjadi penurunan volume, nilai ekspor relatif stabil, bahkan sempat mencapai puncaknya di 14.205,45 juta dollar AS pada tahun 2022. Hal ini mengindikasikan pergeseran fokus industri ke produk bernilai tambah tinggi (high-value added products) atau kenaikan harga komoditas global, yang memungkinkan nilai devisa dipertahankan meski volume pengiriman menurun.
Penurunan volume ekspor yang terjadi di tengah masih tingginya produksi kayu bulat domestik diperkirakan terjadi karena peningkatan konsumsi kayu di pasar domestik, terutama didorong oleh sektor konstruksi dan pembangunan infrastruktur yang sedang masif. Selain itu, fluktuasi nilai dan volume ekspor, terutama penurunan tajam volume ekspor dari 2022 ke 2023, menunjukkan sensitivitas industri terhadap kondisi ekonomi global.
Di sisi lain, keberlanjutan menjadi isu sentral yang tidak dapat dipisahkan dari industri kayu Indonesia, terutama di tengah tekanan global terkait kerusakan alam dan perubahan iklim. Angka produksi yang tinggi harus diimbangi dengan praktik pengelolaan hutan lestari yang ketat. Tantangan terbesar adalah memastikan bahwa peningkatan produksi tidak mengorbankan fungsi ekologis hutan alam yang berdampak pada kerusakan dan bencana.
Penurunan produksi nasional pada tahun 2024 dan fluktuasi volume ekspor dapat menjadi titik pijak untuk meninjau ulang kebijakan tebang-tanam dan meningkatkan penegakan hukum terhadap pembalakan liar. Penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang kredibel dan transparan adalah kunci untuk memenuhi tuntutan pasar internasional dan melawan isu deforestasi.
Hanya dengan mengintegrasikan prinsip keberlanjutan yang mencakup aspek ekologi, sosial, dan ekonomi, industri kayu Indonesia dapat memiliki daya saing jangka panjang sambil menjaga warisan keanekaragaman hayati bangsa.