Jalan Panjang Wacana Redenominasi Rupiah

Wacana redenominasi rupiah dengan memangkas tiga angka nol (Rp 1.000 menjadi Rp 1) kembali menguat setelah masuk dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2025. Kali ini wacana tersebut didorong oleh kebutuhan modernisasi dan efisiensi sistem keuangan di era digital. 

Jalan Panjang Wacana Redenominasi Rupiah

Tujuan utama dilakukannya redenominasi adalah penyederhanaan nominal rupiah yang dianggap terlalu besar, sehingga menyulitkan pencatatan akuntansi, administrasi, dan transaksi digital. Dengan digit yang lebih sedikit, rupiah diharapkan dapat meningkatkan citra dan kredibilitasnya di mata internasional, serta menghemat biaya pengelolaan uang tunai dalam jangka panjang.

Munculnya wacana redenominasi saat ini merupakan kelanjutan dari wacana yang bergulir tahun 2010 dan 2017. Pada saat itu, wacana RUU Redenominasi Mata Uang terganjal di DPR karena faktor politik dan kekhawatiran publik. 

Saat ini, wacana tersebut dilatari oleh stabilitas makroekonomi Indonesia yang jauh lebih kuat. Dengan tingkat inflasi yang terkendali, kondisi sekarang dianggap waktu yang ideal untuk kebijakan moneter yang bersifat non-darurat. Selain itu, kesiapan infrastruktur digital saat ini jauh lebih matang (dengan masifnya QRIS dan mobile banking) yang mempermudah adaptasi sistem teknologi informasi perbankan dan mengurangi ketergantungan pada transaksi tunai.

Sepanjang sejarah, Indonesia belum pernah tercatat melakukan redenominasi mata uang. Namun, Indonesia pernah melakukan strategi sanering 1962 dan 1965. Berbeda dengan redenominasi, sanering saat itu dilakukan sebagai strategi pengendalian inflasi yang melambung tinggi sehingga pemotongan nominal mata uang tersebut berdampak pada nilai mata uang dan membantu menekan konsumsi masyarakat.

Selain Indonesia, sejumlah negara lain pernah melakukan redenominasi dan terbukti berhasil karena didukung oleh program stabilisasi yang kuat. Di Rumania (2005), misalnya, program tersebut dianggap berhasil karena pengawasan ketat dari Uni Eropa sehingga dampak seperti inflasi dan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan tetap terjaga. Redenominasi yang dilakukan Rumania juga turut mempermudah proses konversi mata uang Rumania menuju Euro karena sistem keuangan lebih efisien.

Harapan utama dari rencana redenominasi rupiah saat ini salah satunya tercapainya efisiensi total dalam sistem keuangan dan akuntansi nasional serta peningkatan kredibilitas mata uang rupiah secara global. Efisiensi ini akan dirasakan oleh sektor korporasi dan pemerintah dalam pelaporan keuangan. Secara psikologis, mata uang yang lebih sederhana diharapkan memberikan persepsi nilai yang lebih kuat, mendukung daya saing ekonomi bangsa.

Meskipun memiliki sisi positif, langkah ini tidak terlepas dari dampak negatif. Hal yang paling perlu diwaspadai adalah munculnya inflasi psikologis. Ini terjadi ketika pedagang atau pelaku usaha mengambil kesempatan selama masa transisi untuk membulatkan harga ke atas, misalnya, dari Rp 1.900 menjadi Rp 2, yang nilai seharusnya Rp 1.9.

Pembulatan massal ini berisiko memicu lonjakan harga barang dan jasa, yang pada akhirnya akan memengaruhi daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah. Oleh karena itu, kesuksesan redenominasi Indonesia sangat bergantung pada komitmen pemerintah dalam menjaga disiplin harga dan melakukan sosialisasi yang transparan dan meyakinkan selama periode transisi.

Terlepas dari masalah teknis, kebijakan ini sangat tergantung pada pembahasan di parlemen dan komunikasi kepada masyarakat. Dalam prosesnya, pembahasan dan pemberlakuan kebijakan ini harus dengan kehati-hatian.