Perkembangan teknologi mendorong Jakarta menjadi salah satu pasar strategis untuk industri pusat data (data center) di Asia Tenggara. Hal ini terungkap dalam laporan Data Centre Construction Cost Index 2025 yang dirilis oleh Turner & Townsend, perusahaan jasa profesional global dengan spesialisasi manajemen proyek dan biaya terutama di sektor properti, infrastruktur, dan sumber daya alam.
Menurut laporan itu Jakarta, pada 2025 menempati peringkat ke-20 dalam hal biaya konstruksi data center, turun enam peringkat dibandingkan dengan tahun lalu. Namun tetap, Jakarta masih menjadi kota dengan pasar yang menarik apabila dibandingkan dengan kota di negara tetangga.
Managing Director for Real Estate in Asia at Turner & Townsend Sumit Mukherjee mengatakan Jakarta memiliki keunggulan kompetitif di Asia Tenggara, dengan biaya konstruksi data center-nya sebesar Rp187.207 per watt, yang mana lebih rendah dibandingkan dengan negara seperti Singapura dan Tokyo (Jepang).
“Indonesia, dengan karakteristik pertumbuhan tinggi, berlimpah sumber daya, dan semakin siap untuk AI (artificial intelligence), tetap menjadi pasar kunci di Asia Tenggara untuk pembangunan data centre,” jelas Sumit.
Jika dibandingkan dengan Singapura yang kini biaya konstruksi data center-nya sebesar Rp257.681 per watt dan Tokyo Rp253.005 per watt, Jakarta masih mampu menjadikan Indonesia sebagai pasar yang strategis.
Salah satu dorongan dalam menjadikan Indonesia sebagai pasar yang strategis, adalah meningkatnya permintaan akan fasilitas yang siap untuk mengadopsi dan menggunakan teknologi AI. Namun, masih terdapat sejumlah tantangan signifikan yang ditimbulkan akibat permintaan tersebut seperti mulai dari kenaikan biaya operasional hingga penggunaan sistem tenaga listrik bertegangan tinggi.
Indonesia sendiri dinilai telah memiliki pasokan listrik yang memadai, tantangannya berada pada infrastruktur terutama dalam transmisi tegangan tinggi. Rantai pasok lokal untuk mendukung teknologi pendinginan canggih yang dibutuhkan oleh data center AI juga merupakan hal penting untuk diperhatikan.
Dari sisi infrastruktur, peningkatan permintaan terhadap data center berbasis AI diperkirakan akan menyebabkan peningkatan penggunaan daya sebesar 165% di kawasan Asia-Pasifik hingga tahun 2030 mendatang. Kombinasi antara beban kerja AI dan tantangan infrastruktur, kebutuhan energi dan pendinginan yang lebih tinggi, akan mendorong biaya operasional dan desain menjadi 2 hingga 3 kali lipat lebih tinggi di Indonesia dibandingkan dengan data center tradisional.
“Meskipun peringkat biaya konstruksinya telah menurun, permintaan yang terus meningkat akan infrastruktur yang siap untuk AI memberikan tekanan signifikan pada struktur biaya dan kapasitas jaringan listrik yang ada,” ucapnya.
Maka dari itu, untuk mengembangkan desain data center yang efisien terhadap energi dan minim risiko keterlambatan koneksi listrik, Sumit menyebut diperlukan adanya inovasi yang terus dilakukan, agar industri dapat mengikuti permintaan infrastruktur AI yang terus meningkat.
“Untuk tetap kompetitif, Indonesia harus terus berinvestasi dalam peningkatan infrastrukturnya, guna memenuhi permintaan industri,” tutupnya.
Investasi infrastruktur
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) juga telah menyiapkan sejumlah inisiatif untuk memperluas infrastruktur guna memenuhi permintaan yang terus meningkat akan data center berbasis AI. Dalam membangun infrastruktur, investasi merupakan suatu hal yang berperan penting agar pembangunan dapat dilakukan lebih cepat dan efisien.
Hasil dari investasi berkelanjutan di infrastruktur digital Indonesia membuat saat ini Indonesia setidaknya memiliki 185 data center dengan kapasitas 274 MW, dan ditargetkan akan mencapai lebih dari 2.000 MW pada tahun 2029.
Direktur Jenderal Infrastruktur Digital Wayan Toni Supriyanto menjelaskan bahwa dukungan regulasi, biaya listrik yang kompetitif, hingga lokasi strategis seperti di Jakarta, Batam, dan juga Surabaya, menjadikan Indonesia sebagai salah satu destinasi utama investasi data center di Asia Tenggara.
“Kami melihat industri data center merupakan salah satu pilar penting dalam transformasi digital nasional. Namun, lebih dari sekadar fasilitas penyimpanan data, keberadaan data center memiliki dampak ekonomi luas yang sangat signifikan, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap ekosistem industri,” ucap Wayan.
Pemerintah saat ini juga tengah mendorong green data center dengan target efisiensi energi atau power usage effectiveness di bawah 1,4 dan penggunaan energi baru terbarukan hingga 100 persen.
Komdigi terus berupaya untuk memperkuat infrastruktur digital nasional melalui kebijakan dan regulasi, serta tengah menyusun roadmap nasional untuk memperkuat jaringan kabel laut, fiber optic, dan pusat data di berbagai wilayah.
“Kementerian Komunikasi dan Digital menyiapkan langkah nyata, mulai dari pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Data Center, penyusunan peta jalan nasional, hingga harmonisasi kebijakan lintas kementerian,” jelasnya.
Selain Jakarta, lokasi ideal untuk investasi pengembangan infrastruktur digital adalah Batam, dengan letak geografisnya yang berdekatan dengan pusat keuangan dan teknologi seperti Singapura serta 14 infrastruktur kabel laut yang menghubungkan kawasan Asia Tenggara.
PT Telkom Indonesia Tbk melalui anak perusahaannya yaitu NeutraDC Nxera Batam juga tengah mengembangkan Pulau Batam sebagai pusat data center nasional, dengan status Batam sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK).
Direktur Utama PT Telkom Indonesia Dian Siswarini mengatakan, Batam merupakan lokasi yang ideal untuk investasi pengembangan infrastruktur digital dan memiliki potensi yang besar untuk dijadikan sebagai pusat data regional.
“Melalui dukungan kebijakan, konektivitas strategi dan kolaborasi sektor publik-swasta, proyek data center ini menawarkan manfaat yang luas bagi industri pelaku usaha digital, masyarakat lokal, dan tentu saja para investor yang mencari peluang di sektor infrastruktur digital yang tengah tumbuh pesat,” ucap Dian saat acara Topping Off Hyperscale Data Center NeutraDC-Nxera Batam, Kamis (30/10/2025).
Pembuatan Hyperscale Data Center (HDC) di Batam oleh PT Telkom Indonesia ini diharapkan akan memberikan dampak multiplier effect yang kemudian dirasakan untuk perekonomian Indonesia seperti akselerasi perekonomian digital dan investasi asing dalam bentuk peningkatan data center.
Saat ini NeutraDC Nxera Batam sedang melakukan pengembangan dengan target kapasitas IT load sebesar 18 MW untuk bangunan gedung pertama (BTM-1) di kawasan Kabil Integrated Industrial Estate (KIIE). Para pelaku pengembangan data center di Nongsa Digital Park (NDP) dan KIIE juga mendapatkan insentif fiskal dan regulasi, lantaran kedua kawasan tersebut sudah berstatus KEK.
“Dengan demikian, Batam dapat menjadi digital bridge antara Indonesia dan regional Asia Tenggara. Suatu keunggulan yang sangat relevan di era cloud computing, big data, dan kecerdasan buatan atau AI,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai bahwa Indonesia harus belajar dari negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia dalam hal ekonomi digital dan industri data center.
"Pasar Jakarta masih lebih rendah dibandingkan dua kota besar lainnya di ASEAN. Hal ini disebabkan oleh Singapura dan Malaysia memiliki potensi perusahaan digital lebih besar, terutama Singapura. Singapura, dengan proses mudah dan menjadi pusat keuangan di Asia Tenggara, akan membutuhkan data center yang besar. Maka kemudahan mendirikan data center akan sangat didorong," jelas Huda.
Meski begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa ke depannya akan semakin banyak startup digital dalam negeri yang bermunculan dan para pelaku lainnya yang mengembangkan data center di Indonesia.
"Namun demikian, pangsa pasarnya masih relatif kecil dan startup digital yang berkembang juga masih kecil skala usahanya. Namun tidak menutup kemungkinan ke depan kebutuhan data center bisa meningkat seiring meningkatnya skala usaha mereka," lanjutnya.
Tantangan pengembangan data center di Indonesia menurut Huda juga masih seputar keberadaan internet dan listrik yang dikatakan olehnya masih belum merata di sejumlah wilayah di Indonesia.
"Ketimpangan akses digital dan infrastruktur listrik masih jadi hambatan. Masih relatif sedikit daerah di Indonesia yang mempunyai internet cepat dan stabil. Ketika ada pun, ada risiko dari bencana alam, ketika di Kalimantan yang notabene lebih aman dari bencana gempa, tapi infrastrukturnya belum memadai, termasuk soal internet dan listrik," tutupnya.