Pemberlakuan tarif 19% untuk produk Indonesia ke Amerika Serikat (AS) oleh Presiden Donald J. Trump mulai 7 Agustus 2025 lalu menjadi salah satu tantangan industri pelayaran logistik (shipping). Mereka ditantang untuk menempuh sejumlah langkah adaptasi, salah satunya dengan menjajal peluang rute baru.
Sejak Trump mengumumkan akan mengeluarkan kebijakan tarif perdagangan pada April lalu dan baru diputuskan 90 hari kemudian, pemasok barang dari AS beramai-ramai memesan barang dari negara mitra dagang termasuk Indonesia. Mereka mengimpor barang dari negara lain sebelum jadi lebih mahal karena pengenaan tarif baru yang ditetapkan Agustus.
Lonjakan ekspor ke AS pun tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Total ekspor Indonesia ke AS pada semester pertama tahun ini mencapai USD 14,78 miliar, meningkat 33,49% dibanding dengan periode yang sama tahun lalu yang sebanyak USD 12,25 miliar.
AS jadi negara tujuan ekspor terbesar Indonesia setelah China. Adapun kontribusi ekspor Indonesia ke AS mencapai 11,52% persen dari total ekspor.
Ketua Umum Indonesian National Shipowner Association (INSA), Carmelita Hartoto, mencermati dan menyambut perkembangan positif tersebut dengan harapan bahwa capaian tersebut tidak berkurang pada semester kedua 2025.
“Kami terus mengikuti dalam beberapa waktu terakhir kondisi ekspor kita ke Amerika dan melihat apakah masih akan tumbuh atau akan tertahan melambat akibat perubahan tarif dari 32℅ menjadi 19%. Sepertinya, sih, malahan akan lebih baik lagi,” ungkap Carmelita optimis saat dihubungi SUAR, Selasa (19/08).
Meski capaian tersebut cukup menggembirakan, Carmelita tidak menampik bahwa dinamika perang dagang, pada gilirannya, akan menekan volume ekspor. Dan industri pelayaran, mau tidak mau, harus menghadapinya. Adaptasi, menurut Carmelita, adalah suatu keharusan untuk industri dengan tingkat risiko tinggi seperti pelayaran.
“Kalau pun terjadi penurunan, bagi industri shipping ini merupakan suatu hal yang dapat diatasi dengan menyesuaikan kapasitas kapal atau deviasi mencari rute yang lebih gemuk ya. Yang perlu dicatat, bahwa memang sejauh ini kegiatan ekspor kita didominasi penggunaan kapal asing, sedangkan kapal merah putih hanya sebagai feeder saja,” ujarnya.
Senior Consultant Supply Chain Indonesia (SCI) Zaroni mengatakan, untuk menghadapi situasi ini, ada beberapa langkah strategis yang perlu ditempuh.
Pertama, diversifikasi pasar dan rute. Menurutnya, pelaku usaha jangan hanya menggantungkan diri pada rute Trans-Pasifik menuju AS.
Perusahaan seafreight perlu memperkuat jaringan di Asia-Afrika, intra-ASEAN, dan pasar Amerika Latin yang relatif lebih terbuka. Diversifikasi rute akan mengurangi ketergantungan pada satu wilayah yang rentan terhadap kebijakan proteksionis.
Poin kedua, yaitu fokus pada komoditas non-tarif sensitif. Produk-produk tertentu seperti bahan pangan, energi, dan kebutuhan esensial tetap memiliki permintaan stabil. Perusahaan seafreight bisa mengalihkan kapasitas ke sektor ini yang relatif lebih kebal terhadap lonjakan tarif.
Strategi ketiga, perkuat inovasi layanan logistik. Selain jasa angkut, perusahaan dapat memperkuat layanan value-added logistics seperti konsolidasi kargo, cold chain untuk produk segar, serta layanan digital tracking yang memberikan transparansi, dan efisiensi bagi pelanggan.
Keempat, manajemen kapasitas yang fleksibel. Dengan menurunnya volume, manajemen kapasitas kapal harus lebih adaptif – misalnya, melalui aliansi strategis antar perusahaan pelayaran, vessel sharing agreement, atau menunda penambahan armada baru.
Terakhir, perlunya advokasi dan kolaborasi dengan pemerintah. Industri seafreight perlu aktif berdialog dengan pemerintah dalam mendorong diversifikasi pasar ekspor, termasuk membuka akses perdagangan dengan negara-negara mitra baru melalui perjanjian bilateral atau multilateral.
Menurutnya, kebijakan tarif Trump memang menimbulkan gejolak yang nyata bagi perdagangan global. Namun, perusahaan seafreight yang cerdas tidak akan hanya menunggu arus kembali normal.
"Justru dalam situasi penuh tekanan inilah kesempatan untuk memperkuat daya tahan bisnis, membangun efisiensi, dan membuka pasar baru," ujarnya.
"Justru dalam situasi penuh tekanan inilah kesempatan untuk memperkuat daya tahan bisnis, membangun efisiensi, dan membuka pasar baru," ujarnya.
Jika industri seafreight mampu bertransformasi, misalnya, dari sekadar pengangkut barang menjadi mitra strategis rantai pasok global, maka dampak kebijakan proteksionis hanya akan menjadi batu loncatan, bukan penghalang.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, membenarkan strategi industri pelayaran untuk segera menyesuaikan diri itu. Dalam pernyataan tertulis yang diterima SUAR, Rabu (20/08), ia menggarisbawahi empat tantangan yang harus dihadapi industri ekspedisi, tidak terkecuali pelayaran, di tengah iklim ekonomi global yang sedang tidak stabil.
Pertama, kebijakan tarif tinggi yang membuat perusahaan ekspedisi mengeluarkan biaya lebih banyak untuk melakukan re-routing mencari jalur negara dengan tarif rendah sebelum ekspor ke AS.
Kedua, rantai pasok yang berubah baik pengiriman bahan baku dan barang jadi karena fenomena friend-shoring hingga reshoring.
Ketiga, premi asuransi perkapalan yang lebih mahal dan dibebankan ke ekspedisi karena tingginya ketidakpastian akibat tarif.
Keempat, penurunan volume secara tajam untuk ekspor ke AS khususnya produk industri pakaian jadi, dan alas kaki.
Pengalaman industri pelayaran yang segera melakukan penyesuaian terhadap situasi perdagangan yang tidak stabil, menurut Bhima, bukan hal baru. Saat Presiden Trump meluncurkan rangkaian perang dagang dengan Tiongkok pada masa jabatan pertamanya di tahun 2018, penyesuaian rute kapal-kapal dagang sudah terjadi.
“Tetapi tidak semasif yang terjadi saat ini, karena tarif Trump saat ini menyasar ke hampir semua negara di dunia,” ujarnya.
Menyambung pernyataan Carmelita, Bhima menekankan agar momentum perang dagang menjadi titik balik dan kesempatan untuk industri shipping untuk naik kelas. Jadi, lebih dari sekadar menjadi feeder, melainkan angkutan logistik utama yang dapat menghubungkan produsen Indonesia dengan pasar-pasar alternatif selain Amerika, mulai dari Timur Tengah, negara-negara anggota BRICS, hingga perdagangan intrakawasan ASEAN.
Dukungan untuk industri pelayaran juga disuarakan oleh pemerintah melalui Kementerian Perhubungan, khususnya dalam pengurusan persetujuan kapal-kapal yang masuk dan keluar pelabuhan di Indonesia dalam rangka pengangkutan muatan dari dan ke luar negeri.
“Sejak terbitnya UU Cipta Kerja, kegiatan usaha ekspedisi sangat dimudahkan dalam hal perizinan. Dengan mudahnya perizinan, persaingan di antara para pengusaha ekspedisi juga semakin ketat sementara volume ekspor sangat mungkin tidak bertambah secara signifikan,” ujar Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kementerian Perhubungan RI, Budi Mantoro, dalam pernyataan tertulis kepada SUAR, Rabu (20/08).
Menyatakan sepenuhnya memahami tantangan yang dihadapi oleh eksportir nasional, Kementerian Perhubungan senantiasa mengupayakan koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait untuk mendorong dan memberikan dukungan memadai bagi para eksportir dan industri pelayaran untuk membuka peluang bisnis ke negara-negara tujuan ekspor baru yang potensial untuk meningkatkan volume perdagangan internasional.
Penulis: Christian Wibisana dan Benediktus Krisna Yogatama