Investasi Tembus Target, Tantangan Produktivitas Menanti

Presiden Prabowo Subianto mengatakan, target investasi nasional tahun ini sudah tercapai bahkan masih menyisakan kurang dari 5 bulan tahun ini berakhir.

Investasi Tembus Target, Tantangan Produktivitas Menanti
Ilustrasi pembangunan dan investasi. Photo by C Dustin / Unsplash

Tepuk tangan membahana di Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta ketika Presiden Prabowo Subianto dengan suara lantang menyampaikan kabar baik: target investasi nasional 2025 sudah tercapai empat bulan sebelum tutup tahun.

“Saya diberi laporan oleh Menteri Investasi, investasi Indonesia bulan ini sudah mencapai target yang ditetapkan oleh APBN tahun lalu,” ujar Prabowo, disambut sorak-sorai ribuan kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang hadir dalam Kongres PSI 2025, Minggu malam (20/7).

“APBN 2025 kita sudah mencapai target bulan Agustus ini, empat bulan sebelum akhir tahun sudah tercapai,” lanjutnya.

Target yang dimaksud bukan angka kecil: Rp 1.905,6 triliun, naik sekitar 15,5% dibandingkan 2024. Capaian ini, kata Prabowo, menjadi bukti kepercayaan dunia usaha pada Indonesia, sekaligus modal penting untuk menopang target pertumbuhan ekonomi 5,3% tahun ini.

Laporan Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BPKM, Capaian Realisasi Investasi: Triwulan I 2025

Berdasarkan laporan Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BPKM mencatat memasuki triwulan I-2025, realisasi investasi tercatat sebesar Rp 465,2 triliun, tumbuh hampir 10 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Dari angka tersebut, porsi terbesar masih berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dengan Rp 260,8 triliun, sementara Penanaman Modal Asing (PMA) berkontribusi Rp 204,4 triliun.

Industri logam dasar kembali mendominasi daftar lima besar sektor investasi dengan nilai Rp 136,3 triliun. Di sisi lain, Singapura tercatat sebagai penyumbang terbesar PMA, disusul Tiongkok, Hongkong, Jepang, dan Malaysia.

Pemerintah melalui BKPM optimistis tren kenaikan investasi akan terus berlanjut, apalagi target investasi 2025 ditetapkan cukup ambisius di angka Rp 1.905,6 triliun. Diharapkan, aliran modal ini bukan hanya memperkuat hilirisasi industri, tetapi juga memperluas pemerataan pembangunan, membuka lapangan kerja, dan mendorong UMKM masuk ke rantai pasok industri nasional.

Investasi masih menjadi motor penting perekonomian Indonesia. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), aspek investasi berkontribusi terhadap 28,03 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada triwulan pertama 2025. Mengalir deras masuknya investasi tentu merangsang pertumbuhan ekonomi jadi lebih terpacu.

Investasi Harus Beri Kepastian dan Nilai Tambah

Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Investasi, Hilirisasi, Energi, dan Lingkungan Hidup Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bobby Gafur menilai capaian investasi yang diklaim Presiden Prabowo bukan hanya kabar baik, tetapi juga menjadi momentum untuk mendorong target pertumbuhan ekonomi lebih ambisius di masa depan.

"Potensi Indonesia ini masih sangat besar dan menarik untuk pengembangan investasi," ujar Bobby saat dihubungi, Senin (21/7). "Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen dalam lima tahun ke depan, porsi investasi harus bisa meningkat signifikan, angkanya menurut data BKPM bisa sampai sekitar Rp13.000 triliun."

Menurutnya, sektor unggulan seperti hilirisasi tidak hanya sebatas sektor tambang dan mineral (Minerba), tetapi juga produk-produk perkebunan seperti kelapa sawit (CPO).

“Kita pemain CPO terbesar di dunia. Itu bisa dikembangkan jadi biodiesel dan berbagai produk turunan lain,” jelas Bobby.

Namun demikian, Bobby mengingatkan bahwa untuk menjaga daya tarik investasi, kepastian hukum menjadi syarat mutlak.

“Return atau pengembalian investasi di atas kertas memang terlihat menarik. Tapi seringkali yang menjadi masalah justru kepastian hukum,” kata dia.

Bobby mencontohkan adanya perubahan regulasi, gangguan di kawasan industri, hingga kebijakan yang tidak konsisten sebagai tantangan nyata di lapangan.

“Pemerintah harus firm dengan program-program yang sudah jadi prioritas nasional, apalagi kalau sudah masuk Proyek Strategis Nasional (PSN) atau diatur lewat Perpres,” imbuhnya.

Selain itu, Bobby juga menyoroti dampak kondisi global, seperti konflik di Timur Tengah dan Ukraina yang masih berlangsung, serta kebijakan proteksionis seperti kenaikan tarif impor dari Amerika Serikat. Meski begitu, ia tetap optimistis Indonesia punya peluang memperluas pasar, termasuk melalui perjanjian seperti IU-CEPA yang memungkinkan tarif 0 persen ke Eropa.

"PR-nya memang masih banyak, tapi saya rasa langkah pemerintah sudah menuju arah yang benar," pungkas Bobby. "Yang penting sekarang adalah memastikan semua peluang investasi ini benar-benar sampai ke lapangan dan berdampak nyata."

Investasi Selalu Tinggi, Pertumbuhan Segitu-Segitu Saja?

Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus melihat capaian investasi besar sebagai kabar baik, sekaligus pengingat untuk fokus ke kualitas, bukan sekadar kuantitas.

Ia menegaskan, perekonomian kita itu sekitar 28 persen-30 persen lebih disumbang oleh investasi. Menurut, dengan investasi sebesar itu, diharapkan bisa memberikan dampak yang sepadan.

"Jangan sampai investasinya naik terus, tapi pertumbuhan ekonomi ya segitu-segitu saja,” tandasnya,

Salah satu indikator kunci produktivitas investasi adalah Incremental Capital Output Ratio atau ICOR. Semakin rendah ICOR, semakin produktif investasi menghasilkan pertumbuhan. Sayangnya, ICOR Indonesia masih tinggi. Artinya, untuk memproduksi satu unit output, diperlukan lebih banyak modal dibanding negara pesaing seperti Vietnam.

“Kenapa boros modal? Karena di lapangan masih banyak biaya tinggi,” kata Heri. “Biaya logistik mahal, biaya listrik tinggi, upah naik tapi produktivitas belum seimbang, belum lagi pajak-pajak berlapis dari pusat sampai daerah.”

Hasilnya, dana investasi hanya sebagian kecil yang benar-benar sampai ke aktivitas produksi, sisanya habis untuk ongkos-ongkos struktural.

Tidak Semua Sektor Menghadapi Tantangan yang Sama

Tantangan pun bervariasi. Industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki, kata Heri, terbentur naiknya upah buruh yang tidak selalu diiringi peningkatan produktivitas dan penggunaan teknologi.

“Teknologi di tekstil kita masih relatif tertinggal,” ujarnya. “Ada beberapa yang sudah modern banget, pakai mesin 4.0, digital. Tapi banyak juga yang masih pakai mesin tua. Harusnya semua bisa naik kelas.”

Di sisi lain, industri padat modal seperti tambang atau petrokimia menghadapi persoalan berbeda, seperti mahalnya riset dan pengembangan (R&D) serta kebutuhan modal besar untuk membangun pabrik berteknologi tinggi.

“Kalau pemerintah mau bantu, harus disesuaikan karakternya. Nggak bisa semua industri dikasih insentif sama,” tambah Heri.

Pemerintah sebenarnya menyadari pentingnya insentif fiskal seperti tax holiday atau pembebasan bea masuk untuk mesin modern. Namun, keputusan memberikan insentif tak bisa sembarangan.

“Insentif itu kan artinya pemasukan negara dari pajak berkurang,” jelas Heri. “Jadi pemerintah mau-mau saja ngasih, asal industri bisa membuktikan bahwa nanti mereka akan menciptakan keuntungan lebih besar, termasuk setoran pajak yang lain.”

Biasanya, asosiasi industri harus membawa kajian akademik yang menunjukkan potensi pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan kenaikan pajak lain seperti PPN.

Transparansi, Sinergi, dan Inklusivitas Jadi Kunci

Satu catatan penting lainnya: selama ini data realisasi investasi hanya diumumkan secara agregat, padahal publik berhak tahu lebih detail. Mana yang baru rencana, mana yang sudah terrealisasi penuh, dan di sektor apa.

“Yang tahu detailnya itu pemerintah lewat sistem OSS, dan di daerah ada dinas penanaman modal,” ungkap Heri. “Publik cuma tahu totalnya. Padahal bagus kalau dibuka lebih detail, supaya publik juga bisa menilai sektor mana yang perlu dorongan ekstra.”

Heri juga menekankan perlunya sinergi antar kementerian. BKPM misalnya bertugas mendatangkan investor, tetapi investor juga melihat infrastruktur, logistik, dan stabilitas, hal-hal yang jadi domain kementerian atau pemda lain.

“Jangan sampai BKPM sudah berhasil meyakinkan investor, tapi begitu mau masuk ke daerah ternyata listrik belum ada, atau jalan belum bagus,” katanya. “Semua harus bergerak bersama.”

Heri juga menegaskan, sekarang saatnya pemerintah fokus menjadikan investasi lebih produktif dan inklusif.

“Kualitas pertumbuhan yang dihasilkan penting, bukan cuma angkanya,” tuturnya. “Investasi ini harus menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, mengurangi kesenjangan, dan memperkuat industri kita di dalam negeri.”

Dengan target investasi yang sudah lebih cepat tercapai, pertanyaan berikutnya bukan lagi “berapa besar?” tetapi “untuk siapa?” dan “apa dampaknya?”. Inilah PR besar pembangunan Indonesia ke depan: memastikan pertumbuhan bukan hanya angka, tetapi kesejahteraan yang nyata bagi semua.