Ini Sektor Ekonomi yang Diperkirakan Mendorong Pertumbuhan Ekonomi di 2026

Sektor-sektor seperti jasa, manufaktur, dan pertanian diperkirakan menjadi penggerak utama pemulihan dan pertumbuhan ekonomi pada 2026.

Ini Sektor Ekonomi yang Diperkirakan Mendorong Pertumbuhan Ekonomi di 2026
Foto: m. / Unsplash

Menjelang 2026, pelaku usaha menilai arah pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai menunjukkan tanda pemulihan meski dihadapkan pada tantangan global. Sektor-sektor seperti jasa, manufaktur, dan pertanian diperkirakan menjadi penggerak utama pemulihan.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menilai kondisi ekonomi Indonesia mulai menunjukkan tanda pemulihan menjelang 2026 meski masih perlu kehati-hatian.

Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Oktober 2025 naik ke level 51,2 dan indeks penjualan ritel meningkat 5,8% pada Oktober 2025, menandakan aktivitas ekonomi mulai bergerak positif. Namun, dia mengingatkan daya beli masyarakat masih lemah karena indeks konsumsi dan tabungan rumah tangga menurun, sementara pertumbuhan kredit perusahaan ikut melambat.

Shinta menjelaskan arah pertumbuhan ekonomi kini bergeser dari sektor padat karya seperti manufaktur ke sektor jasa dan industri padat modal.

“Pertumbuhan tertinggi terjadi di jasa lainnya yang mencapai 11,3%, jasa perusahaan 9,3%, serta transportasi dan pergudangan 8,5%,” ujarnya.

Pergeseran ini juga terlihat dari arus investasi yang banyak mengalir ke mesin dan peralatan sebesar 28,8% serta ke pertambangan sebesar 10%, mencerminkan fokus kuat pada industri berbasis sumber daya dengan modal besar.

Perubahan struktur itu, bagi Shinta, berdampak pada penciptaan lapangan kerja formal. Kontribusi sektor manufaktur terhadap penyerapan tenaga kerja formal terus menurun, sementara sektor informal meningkat.

“Kalau dulu investasi Rp1 triliun bisa menyerap 4.000 tenaga kerja, sekarang hanya sekitar 1.200 orang,” ujar Shinta.

Kondisi ini diperburuk oleh peningkatan pengangguran muda yang mencapai 67% dari total penganggur, menunjukkan perlunya kebijakan untuk memperluas lapangan kerja formal.

Untuk memperkuat sektor usaha, Shinta menilai ada tiga langkah strategis yang perlu dilakukan, yakni menghadirkan kepastian berusaha, menurunkan biaya produksi, dan meningkatkan daya beli masyarakat.

Kemudahan berusaha di Indonesia masih tertinggal dari negara tetangga seperti Vietnam dan Filipina karena lamanya proses perizinan dan tingginya biaya logistik serta energi. “Untuk mendapatkan AMDAL, 38% perusahaan itu menunggu lebih dari setahun,” kata Shinta.

Prediksi sektor ekonomi di 2026

Shinta melihat sejumlah sektor memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan pada 2026. Industri pengolahan mulai pulih dengan pertumbuhan 5,68% pada kuartal dua 2025, melampaui laju ekonomi nasional.

Sektor pertanian juga menunjukkan lonjakan hingga 10,52%, sementara real estate tumbuh 3,71% setelah sempat tertekan. Sektor konstruksi dapat menjadi lokomotif pemulihan seiring tingginya angka backlog perumahan.

Selain itu, Shinta menekankan pentingnya pengembangan ekonomi hijau, hilirisasi, dan ekonomi digital sebagai mesin pertumbuhan baru. “Green jobs bisa mencapai 1,7 juta lapangan kerja dan berkontribusi hingga Rp600 triliun terhadap PDB,” katanya. 

Potensi besar juga terdapat pada hilirisasi pertanian dan akuakultur seperti rumput laut yang saat ini sedang digarap Apindo.

“Saya rasa ini akan jadi the next CPO,” ujarnya.

Shinta berharap kolaborasi antara pemerintah, BUMN, dan sektor swasta dapat memperkuat arus investasi agar transformasi ekonomi Indonesia berlangsung berkelanjutan.

Sejalan dengan pandangan pelaku usaha mengenai pentingnya hilirisasi dan nilai tambah industri, Vice President Corporate Communication PT Freeport Indonesia Katri Krisnanti menjelaskan tembaga menjadi logam strategis bagi masa depan ekonomi global.

“Tembaga merupakan logam masa depan karena berperan penting dalam ekosistem kendaraan listrik dan energi terbarukan,” katanya.

Smelter Freeport di Gresik yang mulai beroperasi pada 2024 menjadi wujud nyata hilirisasi, dengan kapasitas mengolah 3 juta ton konsentrat tembaga per tahun dan menghasilkan katode tembaga, emas, serta perak batangan di dalam negeri.

Katri memaparkan investasi pembangunan smelter itu mencapai 4,2 miliar dolar atau sekitar Rp68 triliun dan telah menempatkan Indonesia pada peringkat kelima produsen katode tembaga dunia.

“Indonesia memproduksi sekitar 1,1 juta ton katode tembaga per tahun, dan yang membanggakan, tambang serta smelternya sama-sama berada di Indonesia,” ujarnya.

Kontribusi Freeport pada 2024 tercatat mencapai Rp80 triliun kepada negara, termasuk Rp12 triliun untuk pemerintah daerah, dan sekitar 0,75% terhadap PDB nasional.

Katri mengatakan keberlanjutan ekonomi nasional bergantung pada kemampuan mengelola sumber daya dengan bijak. Freeport berkomitmen melanjutkan investasi sekitar Rp15 triliun per tahun hingga 2041 serta menjalankan berbagai inisiatif efisiensi energi.

“Kami menargetkan penurunan emisi 30% dari 2018 sampai 2030, dan tahun 2024 sudah tercapai 31%,” katanya. Upaya itu dilakukan melalui penggunaan kereta listrik bawah tanah, optimalisasi pembangkit listrik di Papua, dan mekanisme pengeringan konsentrat yang lebih hemat energi.

Siapkan mesin pertumbuhan untuk 2026

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menegaskan pentingnya membangun kepercayaan dan narasi berbasis bukti untuk menjaga keberlangsungan pertumbuhan ekonomi.

Menurutnya, 2026 masih akan diwarnai ketidakpastian global, mulai dari perang dagang Amerika dengan Tiongkok hingga konflik di Ukraina dan Timur Tengah. Meski begitu, Indonesia dinilai cukup tangguh dengan pertumbuhan stabil di kisaran 5%. “Setahun ini kita nggak jelek-jelek amat,” katanya.

Febrio menyebut berbagai indikator menunjukkan resiliensi ekonomi, di antaranya PMI manufaktur yang kembali ekspansi dan pasar obligasi negara yang menunjukkan kepercayaan tinggi investor. “Yield SBN kita berada di 5,91%, terendah sejak 2021, dan jarak dengan obligasi dolar Amerika hanya sekitar 200 basis poin.” Kondisi ini, menurutnya, mencerminkan meningkatnya kepercayaan global terhadap kemampuan Indonesia mengelola fiskal di tengah ketidakpastian.

Selama 2025 pemerintah telah melakukan berbagai langkah untuk memperkuat mesin pertumbuhan, termasuk memindahkan Rp200 triliun dana pemerintah dari Bank Indonesia ke perbankan guna menurunkan cost of fund perbankan dan mempercepat penyaluran kredit.

Langkah itu, lanjut Febrio, berhasil menurunkan suku bunga deposito sekitar 50 basis poin dan suku bunga kredit 11 basis poin dalam dua minggu pertama implementasi. Pemerintah juga menyiapkan stimulus Rp31,8 triliun bagi masyarakat berpendapatan rendah agar konsumsi tetap terjaga di kuartal akhir 2025.

Menatap 2026, Febrio menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,4% dengan dukungan investasi BUMN dan swasta. Investasi BUMN yang kini dikonsolidasikan melalui Danantara akan menjadi penggerak utama di sektor hilirisasi, manufaktur bernilai tambah tinggi, infrastruktur, pertanian, dan ekonomi digital.

“Strategi nanti di 2026, khususnya untuk APBN, itu harus semakin early belanjanya untuk membangun sentimen positif pasar dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi,” katanya. 

Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menilai Indonesia memang perlu menumbuhkan ekonomi di atas 5% agar tidak tertinggal dari negara tetangga. Dia mencontoh Vietnam yang mencatat pertumbuhan 8% dengan target 10%, sementara Indonesia baru mencapai 5,04% pada kuartal ketiga 2025.

“Pemerintah perlu mendorong pertumbuhan 5,5% di kuartal keempat,” ujarnya. Menurutnya upaya menuju pertumbuhan lebih tinggi perlu difokuskan pada sektor-sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian.

Menurut Andry, tiga sektor yang perlu diperkuat adalah industri manufaktur, pertanian, termasuk kehutanan dan perikanan, serta perdagangan. Hilirisasi selama ini masih berfokus pada sektor tambang, padahal sektor pertanian seperti kakao, kopi, dan cengkeh memiliki potensi besar untuk menghasilkan nilai tambah.

“Harusnya 2026 kita udah gak ada lagi story konsolidasi seperti 2025, udah langsung bisa ngegas,” katanya. Kesiapan sumber daya manusia, kata dia, jadi syarat mutlak agar pertumbuhan ekonomi berlangsung berkelanjutan.