Indonesia di Tengah Disrupsi Perdagangan Global

Dampak dari fragmentasi geoekonomi dan perang tarif telah mengancam integrasi rantai nilai global (GVCs). Asia Tenggara, khususnya Indonesia, tidak luput dari hal itu. Kesimpulan itu tergambar dari survei World Economic Forum (WEF) 2025.

Indonesia di Tengah Disrupsi Perdagangan Global

Survei World Economic Forum (WEF) 2025 menemukan bahwa ketidakstabilan geoekonomi jangka pendek di berbagai sektor membawa dampak jangka panjang. Namun, prospek pertumbuhan ekonomi akibat disrupsi membawa dampak yang berbeda di setiap regional atau daerah.

Survei World Economic Forum (WEF) Chief Economists' Outlook September 2025 – yang menyoroti berbagai permasalahan ekonomi global hingga regional – juga mengungkap bahwa pilar-pilar ekonomi global yang menjadi perhatian para ekonom dunia kini berpusat pada kerentanan perdagangan.

Dalam penilaian pilar perdagangan dan rantai nilai global atau global value chains (GVCs), 70% responden yang merupakan ekonom ini menilai level disrupsi sangat tinggi. Bahkan, sebanyak 79% ekonom tersebut menilai hal tersebut sangat berdampak secara sistemik.

Hal yang paling mengkhawatirkan adalah dampak dari fragmentasi geoekonomi dan perang tarif yang mengancam integrasi rantai nilai global (GVCs). Bagi Asia Tenggara, khususnya Indonesia, situasi ini bukanlah sekadar ancaman, melainkan undangan untuk mendefinisikan ulang peran regionalnya di panggung dunia.

Di satu sisi, kawasan Asia Tenggara secara keseluruhan berada dalam kelompok Asia Timur dan Pasifik yang tertekan. Laporan WEF secara eksplisit menyebut adanya tekanan perdagangan yang meningkat atau mounting trade headwinds yang membebani kawasan Asia Timur dan Pasifik. Efek riak dari tarif yang dikenakan oleh negara-negara maju, seperti AS terhadap Tiongkok dan Jepang hingga negara lainnya, merambat melalui jaringan ekspor regional. 

Tak pelak, hal tersebut berdampak pada Indonesia yang kaya sumber daya dan bergantung pada stabilitas pasar global untuk komoditasnya. Jika permintaan ekspor mitra dagang utama melambat, pertumbuhan Indonesia yang diprediksi akan stabil (tapi direvisi turun) juga akan ikut terhambat.

Namun, di balik risiko tersebut, terselip peluang strategis. Fragmentasi global memaksa perusahaan multinasional untuk melakukan penataan ulang rantai pasok (realignment of supply chains) demi mencari basis operasi yang lebih aman dan tahan banting. Dalam konteks ini, Indonesia memiliki keunggulan sebagai bagian dari negara berkembang. 

Sebagai negara berkembang, pertumbuhan Indonesia sangat bergantung pada sumber daya alam. Sebagai pemain utama global dalam komoditas penting – misalnya nikel atau hasil alam lainnya – tentu aset-aset tersebut tidak cukup jika hanya dikelola secara mandiri, sehingga membutuhkan akses ke modal (FDI).

Pergeseran GVCs memungkinkan Indonesia memanfaatkan aset sumber daya ini untuk menarik investasi berteknologi tinggi di sektor hilirisasi. Mengubahnya dari sekadar pemasok bahan mentah menjadi pusat produksi bernilai tambah.

Meski investasi langsung asing (FDI) Indonesia meningkat dalam satu dekade terakhir, yaitu sekitar Rp 92,5 triliun di kuartal I–2015 kini menjadi Rp 230,4 triliun di kuartal I–2025. Peningkatan signifikan hingga kurang lebih 149%. Puncaknya, peningkatan FDI sepanjang satu dekade terakhir terjadi pada kuartal IV–2024 yang mencapai angka Rp 245,8 triliun. Namun, memasuki tahun 2025 ini justru menurun 12% (q to q) di kuartal II–2025.

Untuk mengamankan peluang emas relokasi investasi ini, Indonesia harus secara serius mengatasi hambatan institusional yang diidentifikasi dalam survei. Dalam temuan survei WEF memperingatkan bahwa kendala seperti institusi dan tata kelola yang lemah serta kesulitan akses terhadap pendanaan merupakan penghalang utama bagi negara berkembang.

Artinya, modal yang lari dari Tiongkok tidak akan otomatis masuk ke Indonesia, kecuali jika lingkungan bisnis dan kepastian hukumnya mendukung ekosistem berbisnis stabil. Oleh karena itu, tantangan Indonesia saat ini adalah mengubah fragmentasi menjadi percepatan reformasi domestik, memastikan infrastruktur, regulasi, dan transparansi setara dengan keunggulan sumber daya alamnya.