Hilang Keseimbangan karena Terus Menyala

Budaya kerja always-on telah menjadi fenomena global. Teknologi digital mempercepat komunikasi, tetapi juga mengaburkan batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Hilang Keseimbangan karena Terus Menyala
Photo by the blowup / Unsplash

Belum lama ini, orang mengenal namanya jam kerja. Durasi waktu yang membatasi individu, sebagai bagian kesehariannya untuk beraktivitas, membuat karya, berproduksi, hingga berorganisasi di sebuah institusi pencari laba. 

Ketika era digital datang, budaya hustle, dan fleksibilitas yang dibawa oleh pandemi Covid-19 membuat banyak orang lupa, bekerja ada waktunya. Maka, jam kerja itu mulai dilupakan, kebiasaan orang bekerja sudah bergeser. 

Ada kesepakatan tidak tertulis dari pekerja dan pemberi kerja di zaman ini,  jika bekerja itu harus selalu siap, responsif, dan tersedia untuk urusan pekerjaan kapan saja, bahkan di luar jam kerja resmi, seperti di malam hari, akhir pekan, atau saat sedang istirahat. 

Generasi muda, terutama millennial dan Gen Z, yang tumbuh dalam dunia yang terkoneksi 24/7, sudah terbiasa menerima notifikasi dari atasan atau klien yang mendorong ada aktivitas kapan saja. Kebutuhan akan aktualisasi diri dan keinginan tampil produktif sering kali membuat mereka rela mengorbankan waktu pribadi. 

Istilah seperti “always on” menjadi simbol semangat yang tampak membanggakan. Namun budaya kerja selalu aktif, always on work culture ini bisa menciptakan lingkungan kerja yang menuntut, berpotensi meningkatkan produktivitas jangka pendek dan inovasi. 

Tapi dari kebiasaan itu pula sering kali mengarah ke burnout, stres tinggi, penurunan kesejahteraan mental karyawan, dan kaburnya batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, karena karyawan merasa harus selalu tersedia dan merasa bersalah saat beristirahat, meskipun kadang dianggap sebagai bentuk hustle culture yang ambisius. 

Kebiasaan always-on mengarah ke burnout, stres tinggi, penurunan kesejahteraan mental karyawan, dan kaburnya batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan

Fenomena selalu terjaga ini bisa terjadi karena ada kecenderungan dalam sebuah organisasi, biasanya juga tidak disadari anggotanya, jika seorang bawahan paling cepat menanggapi perintah atasannya, maka dia akan dianggap paling rajin. Di sisi lain, atasan juga punya kecenderungan sering mengirim pesan di luar jam kerja. 

Sementara di organisasi tidak ada aturan yang jelas terkait kapan komunikasi kerja boleh dilakukan, dan kapan itu terlarang. Kecenderungan seperti ini menunjukkan si karyawan ini tidak selalu memperlihatkan dia punya dedikasi dan kapasitas, namun karena berbagai latar alasan-alasan tadi.

Kasus semacam ini tak hanya berdampak pada personal si karyawan namun juga bisa merembet kepada anggota keluarga lain. 

Melihat fenomena ini, secara filosofis, teknologi telah menciptakan "Panoptikon" modern—sebuah struktur pengawasan di mana individu merasa harus selalu terlihat "aktif" atau "bekerja" agar dianggap bernilai. Hal ini mengubah kerja dari aktivitas pemenuhan diri menjadi beban pengawasan diri yang konstan.

Selain itu juga ada pergeseran budaya yang memandang setiap detik waktu manusia adalah komoditas yang bisa diperas untuk nilai ekonomi. Kehilangan momen "diam" (kontemplasi) menghilangkan kemampuan manusia untuk berefleksi, yang oleh para filsuf dianggap sebagai inti dari kemanusiaan.

Di sisi lain, bekerja terlalu keras sering kali dijadikan alat untuk meraih atensi sosial dan validasi diri. Secara filosofis, ini adalah kegagalan dalam menemukan makna hidup di luar produktivitas, di mana seseorang hanya merasa "ada" (eksis) jika ia sibuk.

Ajaran timur tentang keseimbangan diri, Yin-Yang menekankan harmoni antara aktivitas (yang) dan ketenangan (yin). Budaya always-on menekankan yang secara berlebihan, sehingga keseimbangan hidup terganggu. Jalan keluarnya adalah mengembalikan ritme alami dengan bekerja secara intens, tetapi juga memberi ruang untuk diam dan refleksi.

Jalan keluarnya adalah mengembalikan ritme alami dengan bekerja secara intens, tetapi juga memberi ruang untuk diam dan refleksi.

Di situ ada waktu untuk melatih kesadaran penuh terhadap kondisi tubuh dan pikiran. Biasakan untuk berhenti sejenak sebelum merespons pesan, bernafas dalam, dan menilai apakah benar-benar perlu segera menjawab perintah atasan.

Bangun pola pikir dari “saya harus selalu tersedia” menjadi “saya berhak atas waktu pribadi.” Ubahlah keyakinan dari “kalau tidak cepat balas, saya dianggap tidak loyal” menjadi “loyalitas juga berarti menjaga kesehatan agar bisa bekerja optimal.” Bantu diri sendiri mengurangi rasa bersalah, ketika tidak merespons segera.

Budaya kerja always-on menjadi cerminan dari fenomena teknologi yang membebaskan sekaligus membelenggu. Dari perspektif filosofis, ia menantang batas kendali, mengikis makna action, dan merusak keseimbangan hidup. Solusinya  terletak pada kesadaran diri, penetapan batas, restrukturisasi kognitif, ritual pemulihan, dan dukungan sosial.

Dengan refleksi diri menyeluruh dan kontekstual, kita bisa membangun budaya kerja yang lebih manusiawi—di mana produktivitas tidak mengorbankan kebermaknaan hidup dan keseimbangan sosial.