Pembuat film atau filmmaker Indonesia kemungkinan besar tidak akan begitu terdampak akibat rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang bakal mengenakan tarif 100% untuk seluruh film yang diproduksi di luar negeri dan ditayangkan di AS. Langkah sang presiden dinilai malah membuat bingung Hollywood yang merupakan pusat produksi film dunia di Amerika Serikat itu sendiri.
Rencana tersebut diumumkan oleh Presiden Donald Trump melalui akun Truth Social pribadinya. Kebijakan ini menimbulkan ketidakpastian besar bagi rumah produksi film yang bergantung pada pendapatan box office internasional, begitu juga filmmaker Indonesia yang berencana mendistribusikan filmnya ke Amerika Serikat.
"Bisnis perfilman kita telah dicuri dari Amerika Serikat oleh negara lain, seperti mencuri 'permen dari bayi'. California, dengan gubernurnya yang lemah dan tidak kompeten, sangat terpukul," tulis Trump di Truth Social, Senin (29/9/2025).

Kebijakan ini pun berlaku untuk semua film yang masuk ke Amerika, melanjuti pengumuman yang pernah ia sampaikan pada bulan Mei 2025 lalu. Maka dari itu, untuk mendorong lebih banyak proyek film yang dikerjakan di Amerika, Presiden Donald Trump akan menaikkan tarif sebesar 100%.
"Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah yang telah berlangsung lama dan tak kunjung berakhir ini, saya akan mengenakan tarif 100% untuk semua film yang diproduksi di luar Amerika Serikat," lanjutnya.
Sejumlah film Indonesia juga sudah pernah tayang di bioskop Amerika Serikat seperti Badarawuhi di Desa Penari dan juga film komedi Agak Laen. Dengan adanya kebijakan ini, para filmmaker Indonesia berpotensi mengurungkan niatnya untuk mendistribusikan film ke Amerika Serikat.
Meski begitu, produser film ternama Indonesia, Hanung Bramantyo, menjelaskan bahwa para filmmaker Indonesia sebetulnya sudah bisa meraup keuntungan berkali-kali lipat dari jumlah penonton dan penayangan di bioskop lokal, tanpa harus mendistribusikan filmnya ke negara-negara lain, dalam hal ini adalah Amerika Serikat.
"Film Indonesia itu sudah menguntungkan berkali-kali lipat dengan pasar Indonesia sampai 10 juta penonton dibandingkan dengan film Indonesia diekspor. Misalnya kayak film saya gitu kan, Ipar Adalah Maut 4,6 juta penonton itu sudah mendapatkan income sekitar Rp100 miliar ke atas, sementara produksi di angka Rp15-18 miliar" ucap Hanung, Sabtu (4/10/2025).
Film-film Indonesia sudah memiliki formula dan keunikannya sendiri yang membuatnya laku di Tanah Air. Formula tersebut pun belum tentu akan mendapatkan sambutan yang baik di negara lain, lantaran masing-masing negara memiliki preferensinya masing-masing yang belum tentu sama dengan Indonesia.
"Jadi memang produksi film Indonesia itu untuk saat ini ditonton betul oleh penonton Indonesia, hampir 100%. Baru setelah itu kayak punya keinginan untuk dipasarkan di luar, Malaysia, Filipina, Kamboja, segala macam. Itu bonus biasanya, jadi tidak dijual ke mereka termasuk Amerika Serikat pun tidak masalah," jelasnya.
Maka dari itu, Hanung menilai gebrakan Presiden Donald Trump tersebut tidak memberikan dampak yang signifikan bagi industri perfilman Indonesia untuk saat ini.
"Kalau mereka mau menerapkan pajak impor buat film di luar Amerika ke mereka, itu tidak berdampak apa pun untuk saat ini ya," lanjutnya.
Keberhasilan film Indonesia di Tanah Air juga bukan berarti pendistribusian ke kancah internasional tidak penting. Film dinilai merupakan salah satu alat paling efektif dalam diplomasi budaya dan memperkenalkan budaya Indonesia ke negara lain.
Film memiliki kekuatan untuk menyampaikan nilai, norma, gaya hidup, hingga identitas sebuah bangsa yang mampu memberikan dampak besar, termasuk dalam perekonomian suatu negara. Para pembuat film Indonesia pun terus berupaya untuk memasarkan film-filmnya ke luar negeri, salah satu caranya adalah melalui festival film.
"Kalau sisi exposure penetrasi ke luar itu penting ya. Tetapi untuk saat ini memang yang kita butuhkan hanya semacam kayak rekomendasi. Penilaian dari pihak luar," jelas Hanung.
Jika ada pembuat film di Indonesia yang ingin mendistribusikan filmnya ke luar negeri, diperlukan sebuah riset dan strategi yang matang, lantaran setiap negara memiliki kebudayaannya masing-masing. Hal tersebut dilakukan agar film yang diproduksi nantinya bisa sesuai dengan budaya di negara tersebut dan mendapatkan sambutan yang baik dari para penonton luar negeri.
"Karena masing-masing negara dunia itu punya spesifikasi, punya kebutuhannya sendiri. Kita harus bisa menentukan market. Misalnya saya ingin film saya bisa menembus Hollywood, berarti kita harus pelajari betul Hollywood itu seperti apa, sistemnya juga gimana," katanya.
Tayangnya sebuah film hasil karya anak bangsa di Amerika Serikat juga belum tentu merupakan tujuan akhir dari profesi filmmaker. Jika ingin berprestasi dan mendapatkan pengakuan internasional, menurut Hanung, film-film Indonesia harus terlebih dahulu berjaya di negaranya sendiri, dan baru meluas ke negara-negara tetangga dan juga Asia.
Baru dari situ kemungkinan film Indonesia akan sukses di Amerika Serikat akan menjadi lebih besar dan memiliki daya saing yang lebih tinggi.
"Kita menangin Asia aja. Ibaratnya kita juara Asia aja itu luar biasa. Kita masih Asia Tenggara itu masih belum juara, Thailand kemarin udah bisa masuk ke Oscar 15 besar kan, Indonesia belum pernah bisa masuk," ungkapnya.
Maka dari itu menurut Hanung, peningkatan tarif film dari Presiden Donald Trump tersebut tidak terlalu memberikan dampak yang signifikan. Namun, jika negara-negara tetangga memberlakukan kebijakan serupa, baru hal tersebut memberikan masalah baru untuk perfilman Indonesia.
"Misalnya paling dekat negara Malaysia, Malaysia naikin tarif film impor untuk Indonesia, Indonesia itu baru kayak aduh kita nggak dapat nih penonon Malaysia, agak berat nih," ucap Hanung.
Baca juga:
Kemungkinan-kemungkinan penerapan tarif film dari Amerika Serikat dan bahkan negara-negara lainnya juga disebut bukan merupakan permasalahan utama dari industri perfilman di Indonesia. Hanung menjelaskan bahwa diperlukan adanya regulasi yang kuat untuk mendukung industri film Tanah Air, seperti adanya regulasi jam tayang film di bioskop dan juga jeda waktu untuk menikmatinya di layanan streaming.
Pendeknya waktu antara penayangan film di bioskop dan platform streaming dinilai mampu mengurangi minat masyarakat untuk datang ke bioskop, yang mana dapat memberikan dampak besar terhadap perkembangan industri film.
"Nah itu kan membuat penonton kebanyakan daripada datang ke bioskop mending nunggu aja deh di OTT (Over-The-Top). Kalau misalnya pihak asosiasi yang meminta itu kurang kuat mungkin. Tapi bisa gak itu digorong oleh pemerintah ikut membantu. Jadi, problem film nasional, sebelum kita ke ekspor, harusnya regulasi di sini dibenerin dulu, terutama regulasi jam tayang," ujarnya.
Senada dengannya, pengamat film Hikmat Darmawan, menjelaskan bahwa ditayangkannya film Indonesia di Amerika Serikat belum tentu memberikan nilai ekonomi yang bagus. Sebab, pasar film di Amerika Serikat memiliki infrastruktur yang berlapis dalam hal pendistribusiannya.
"Misalnya film Badarawuhi itu diputar di beberapa bioskop di Amerika, ya secara formal masuk ke bioskop di sana. Tapi kalau secara informalnya, apakah sudah punya nilai ekonomi memadai masuk ke sana, ya belum tentu ya," kata Hikmat.
Film-film Indonesia yang juga sudah bersaing di festival film internasional juga dinilai belum memiliki kemampuan yang cukup untuk memasuki pasar film Amerika Serikat dan bahkan menjadi perhatian utama.
Dijelaskan oleh Hikmat, Indonesia dari dulu dinilai masih merintis untuk memperkenalkan budaya Indonesia melalui film yang didistribusikan ke global. Setiap film ataupun aktor Indonesia mulai tampil di layar internasional, selalu ada euforia yang berlebih tanpa didukung dengan penguatan industri dalam negerinya sendiri.
"Kita merasa bangga kita masuk ke ajang Oscar, tapi tidak ada upaya yang khusus menggiringnya. Jadi itu belum jadi market juga tuh. Jadi dari dulu tuh kalau ngomongin pasar Amerika ya belum sungguh-sungguh kecuali upaya perorangan gitu," jelasnya.
Film Agak Laen dan juga Badarawuhi yang beberapa waktu lalu tayang di sejumlah bioskop Amerika Serikat juga dinilai tidak memberikan momentum untuk filmmaker Indonesia mengikuti jejaknya. Genre spesifik dari kedua film tersebut pun disebut masih sebatas dinikmati oleh masyarakat Indonesia saja yang tinggal di luar negeri, belum menarik perhatian dari orang luar.
"Kalau dibilang 100 layar, 200 layar, ya mungkin (berpengaruh). Tapi kalau ternyata misalnya Badarawuhi itu ternyata kan di wilayah di mana banyak migran. Jadi kemungkinan besar yang nonton orang Asia atau bahkan lebih khusus banyak orang Indonesia," sambungnya.
Hikmat juga melihat bahwa penghasilan utama dari film di Indonesia adalah di negaranya sendiri. Baru penayangan dan pemasukan dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara dihitung sebagai bonus tambahan saja.
"Kalau kita mau bicara internasional, bukan Amerika, bicara pasar internasional kan Asia Tenggara, itu lumayan. Itu pun merupakan second layer revenue stream ya, penghasilan utama tetap di lokal," jelas Hikmat.
Kebijakan Trump itu sendiri dinilai menjadi semacam senjata makan tuan. Akibat dari rencana kebijakan tersebut, Hollywood-lah yang kini malah dibuat panik, lantaran banyak film-film besar Amerika Serikat yang sendirinya malah dibuat di negara lain.
"Yang rugi tuh orang Amerika sendiri. Film juga sebenarnya kan yang rugi Hollywood, Mission Impossible contohnya shooting di beberapa negara kan. Indonesia gak usah terlalu khawatir lah sama perang dagang," tutupnya.