Dampak Nyata Filantropi di Kisah Sukses Petani Sigi

Dunia usaha tidak hanya seputar mencari keuntungan saja tapi juga bisa berkontribusi pada pembangunan di masyarakat sekitar. Perilaku itu biasa disebut sebagai filantropis.

Pengusaha biasanya lekat dengan citra mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Namun, ada pula pengusaha filantropi yang punya visi agar bisnisnya tidak semata mengejar keuntungan tapi juga lebih memberdayakan masyarakat dan lingkungan sekitar. Praktik filantropis dunia usaha ini bisa berhasil berdampak nyata positif.

Suasana Filantropi Indonesia Festival 2025 (FIFest2025) terasa hangat dengan diskusi daring bertajuk Bersinergi dalam Pembiayaan Pembangunan Berkelanjutan, Senin, (4/8/2025). Kisah inspiratif dari Sulawesi Tengah mencuri perhatian para pembicara dan pendengar dalam diskusi tersebut.

Ini merupakan bukti nyata bagaimana sinergi tiga kolaborasi antara PT Syngenta Seed Indonesia dan Wahana Visi Indonesia (WVI) berhasil mengubah nasib ribuan petani kakao yang sempat terpuruk. Melalui program kemitraan sejak tahun 2018, mereka memperkenalkan budidaya jagung sebagai solusi untuk meningkatkan pendapatan dan membangun kembali ekonomi lokal.

Regional Sales Manager PT Syngenta Seed Indonesia Bahtiar Manadjeng menceritakan perjalanan program ini yang dimulai sejak tahun 2018. Ia menjelaskan bahwa inisiatif ini bermula dari keprihatinan terhadap kondisi petani kakao yang kehilangan penghasilan.

Pada saat program dimulai, pengetahuan petani tentang budidaya jagung sangat terbatas, yang mengakibatkan produktivitas sangat rendah, hanya 2 ton sampai 3 ton per hektare.

Kondisi ini sangat kontras dengan daerah sentra jagung lain di Indonesia seperti Gorontalo, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur yang sudah mencapai 8 ton–9 ton per hektare. Syngenta dan WVI berinisiatif untuk memperkenalkan komoditas jagung sebagai alternatif.

“Ini yang sangat memprihatinkan, sehingga kami dengan WVI waktu itu berinisiasi bagaimana kemudian mendorong petani-petani yang kehilangan pekerjaan dari komoditas kakao untuk bisa memulai dengan komoditas baru, yaitu jagung,” jelasnya.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan produksi jagung nasional dalam kondisi surplus pada periode Januari-Juni 2025 dan mencapai 8,07 juta ton atau meningkat 12,9 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar 7,15 juta ton. ANTARA FOTO/Putra M. Akbar/tom.

Titik balik program ini dimulai dari sebuah lahan percobaan atau demplot (demonstrastion plot) di kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi. Petani kakao yang didampingi berhasil menanam 4 kilogram benih jagung dan menghasilkan hampir 4 ton. 

Dengan rasa takjub dari hasil awal budidaya jagung di kecamatan Palolo, Bahtiar memproyeksikan, “Kalau mereka tanam 1 hektare itu, melihat produktivitas per kilonya, itu di atas 10 ton. Karena tanah di Palolo, Kabupaten Sigi ini, Sulawesi Tengah sangat subur.”

Kisah sukses ini dengan cepat menyebar, memicu pembentukan lahan percobaan  di berbagai lokasi yang melibatkan ribuan petani. Dampaknya terasa luar biasa, tidak hanya pada hasil panen, tetapi juga pada kehidupan para petani. 

"Yang paling mengharukan sebenarnya adalah petani-petani yang terlibat dalam program ini. Kita ketemu 3 tahun—4 tahun kemudian sudah berubah, rumahnya sudah jadi rumah batu. Kemudian di depan rumahnya sudah parkir mobil, dan mereka mengatakan ini berkat komoditas jagung," ujarnya.

Selain memberikan pengetahuan budidaya, program ini juga fokus membangun ekosistem bisnis yang berkelanjutan. Syngenta dan WVI membentuk Entrepreneurial Service Point (ESP), jaringan distribusi di tingkat desa yang menyediakan benih dan pupuk. Mereka bahkan memfasilitasi pelatihan bagi pengusaha lokal bahkan untuk studi banding ke sentra jagung di Sulawesi Selatan.

Dampak dari kolaborasi ini juga terlihat dari sisi bisnis Syngenta. Dari penjualan benih jagung senilai 300 juta rupiah pada tahun 2018, bisnis mereka melonjak drastis hingga mencapai 18 miliar rupiah pada tahun 2024. Peningkatan ini tidak hanya menguntungkan perusahaan, tetapi juga mendorong investasi masuk ke Sulawesi Tengah dari para pembeli jagung pipil untuk pakan ternak.

Program ini juga menjangkau kelompok-kelompok yang rentan sejalan dengan prinsip SDG (sustainable development goals) tentang keadilan dan kesetaraan.

"Kita juga bergerak ke petani difabel, termasuk para petani perempuan, kita training misalnya bagaimana kemudian mereka bisa mahir mengelola keuangan,"  ujarnya.

Bahtiar yang terlibat langsung dalam program ini sejak awal merasa bangga dengan hasilnya. "Saya secara pribadi, sangat luar biasa impaknya bukan hanya secara bisnis ke Syngenta, tetapi ke sosial, kemasyarakatan, dan pertumbuhan ekonomi," ungkapnya.

Sebagai bukti keberhasilan, produktivitas jagung per hektare di Sulawesi Tengah kini telah melampaui 5 ton. Provinsi ini juga berhasil menjadi produsen jagung terbesar ketiga di Sulawesi, di bawah Sulawesi Selatan dan Gorontalo.

Keberhasilan ini, menurutnya, adalah buah dari kolaborasi solid antara Syngenta, WVI, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya.

Kemitraan strategis dan pemberdayaan komunitas

Wahana Visi Indonesia (WVI), sebagai organisasi filantropi yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat, menerapkan pendekatan strategis untuk membantu petani, terutama yang paling rentan. Saat ini, WVI beroperasi di 15 provinsi dan 61 kabupaten/kota. Sejak 2017, mereka juga telah menjadi anggota Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI).

Untuk mendanai kegiatannya, WVI menggunakan berbagai sumber pendanaan, baik dari perorangan maupun lembaga, termasuk pemerintah dan pihak non-pemerintah. Dalam beberapa tahun terakhir, WVI telah mengembangkan model pendanaan baru yang disebut kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil atau public-private partnership (PPP).

Kontribusi pada pembangunan berkelanjutan

Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Filantropi Indonesia Fransiscus Welirang mengatakan, dunia usaha tidak hanya seputar mencari keuntungan saja, tapi juga bisa berkontribusi pada pembangunan di masyarakat sekitar. Perilaku itu biasa disebut sebagai filantropis.

Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Filantropi Indonesia Fransiscus Welirang

Franky, panggilan akrabnya menjelaskan, filantropi berasal dari dua kata ‘filan’ yang merupakan terjemahan dari bahasa latin ‘philo’ yang artinya cinta dan ‘tropis’ yang berasal ‘antropis’ atau manusia.

“Jadi filantropis itu kurang lebih terjemahan bebasnya adalah mencintai sesama,” ujar Franky.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rachmat Pambudy mengatakan, dunia usaha punya kapasitas secara finansial dan jangkauan untuk bisa ikut memberdayakan pembangunan berkelanjutan.

“Diperlukan sinergis dan peran serta semua pemangku kepentingan untuk pembangunan berkelanjutan,” ujar Rachmat.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rachmat Pambudy. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/tom.

Rachman Kurniawan, Manajer Pilar Pembangunan Lingkungan Sekretariat Nasional Sustainable Development Goals (SDGs), mengapresiasi kolaborasi ini sebagai contoh nyata dari praktik baik yang mendukung pencapaian SDGs. "Kemitraan yang solid seperti ini menghasilkan praktik-praktik baik yang berdampak nyata," katanya dalam acara yang sama (4/8/2025). 

Pemerintah Indonesia telah menjadikan SDGs sebagai bagian integral dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan mendorong kemitraan lintas sektor untuk mencapai target-target tersebut pada tahun 2030. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) adalah serangkaian 17 tujuan global dengan 169 target yang terukur, yang diadopsi oleh negara-negara anggota PBB pada tahun 2015.

SDGs ini merupakan agenda pembangunan dunia untuk perdamaian dan kemakmuran bagi manusia dan planet Bumi, baik sekarang maupun di masa depan.

Rachman Kurniawan, Manager Pilar Pembangunan Lingkungan Sekretariat Nasional SDGs. Foto: SDGs Bappenas)

Menurut Rachman, kolaborasi antara Syngenta dan WVI menyentuh berbagai target SDGs, mulai dari pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, hingga pekerjaan yang layak. Ia menegaskan bahwa Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang baik dalam pencapaian SDGs dengan rata-rata 61%, jauh lebih baik dari capaian global yang hanya 18%. 

Untuk mempercepat pencapaian target 2030, SDGs bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) terus mendorong "Decade of Action" melalui kemitraan yang melibatkan semua pihak, dari pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, hingga sektor swasta.

"Kami mengusung prinsip no one left behind, yang berarti semua pihak harus terlibat dan diuntungkan," tambahnya. 

Untuk memperluas dampak dari praktik baik ini, Sekretariat SDGs Indonesia mengelola dashboard repository yang berisi ringkasan lebih dari 700 praktik baik di berbagai lokasi. Ini bertujuan agar kesuksesan yang ada dapat direplikasi dan mendorong pencapaian SDGs secara masif dan berkelanjutan di seluruh Indonesia.

 

Baca selengkapnya