Kian maraknya penggunaan teknologi otomasi (robot) dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) oleh dunia usaha menciptakan dampak yang paradoksial dua sisi berlainan. Di satu sisi meningkatkan produktivitas dan membuka lapangan kerja baru, namun di saat yang sama juga mengganti jenis pekerjaan lama.
Laporan Bank Dunia bertajuk "Pekerjaan di Masa Depan: Robot, Kecerdasan Buatan, dan Platform Digital di Asia Timur dan Pasifik" yang dirilis 25 Juni 2025 mengungkap paradoks dampak teknologi mutakhir ini.
Penggunaan robot dilaporkan memacu pertumbuhan lapangan kerja industri di Tiongkok dan Vietnam. Di Vietnam, misalnya, adopsi robot meningkatkan lapangan kerja 10% dan upah 5%, terutama bagi pekerja muda dan terampil.
Laporan itu juga menyebutkan, digitalisasi berpotensi meningkatkan produktivitas jasa 30%–50% jika dibarengi reformasi kebijakan. "Negara-negara Asia Timur dan Pasifik perlu membuka sektor jasa bagi perdagangan dan investasi, serta membekali tenaga kerja dengan keterampilan berbasis AI," begitu kutipan laporan tersebut.
Namun, berkah pertumbuhan itu tidak merata dan tidak terjadi di negara lain. Sebanyak 1,4 juta pekerja berketerampilan rendah di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, tersingkir ke sektor informal antara 2018–2022.
Adapun Forum Ekonomi Dunia (WEF) dalam laporannya berjudul "Future Jobs Report 2025" menyebutkan, tenaga kerja yang bakal terserap pada 2025–2030 di pasar adalah yang menguasai aspek teknologi. Adapun yang dimaksud keterampilan aspek teknologi adalah penggunaan AI (dijawab oleh 86% responden), robot dan otomasi (58%).
Riset diperoleh dari 1.000 perusahaan dunia yang berasal dari 55 negara dari 22 sektor industri yang mencakup total 14 juta pekerja.

Keterampilan Baru yang Dibutuhkan dan Kesenjangan
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam menyoroti pergeseran kebutuhan keterampilan serta langkah-langkah adaptasi yang diambil sektor industri dalam menghadapi tantangan ini.
Sejak satu dekade terakhir, otomatisasi dan robotisasi telah merambah berbagai sektor, tidak hanya manufaktur tetapi juga pekerjaan administratif. "Pekerjaan-pekerjaan yang berulang-ulang (teknis) itu pasti semakin lama semakin kecil ruangnya," ungkapnya kepada Suar (18/7/2025).
Ia menambahkan, tren ini menyebabkan berkurangnya kebutuhan tenaga kerja umum yang minim keahlian spesifik, bahkan di tingkat lulusan SMA. Fenomena ini, menurut Azam, telah menyebabkan peningkatan pengangguran.
Fakta ini tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara dengan digitalisasi cepat seperti Tiongkok, di mana angka pengangguran kaum muda bahkan mencapai di atas 30%.
Berbanding terbalik dengan penurunan permintaan tenaga kerja umum, kebutuhan akan keterampilan analisis justru meningkat pesat. Wakil Presiden Direktur PT TMMIN itu menjelaskan bahwa kemudahan arus informasi berkat digitalisasi memicu permintaan besar terhadap profesi yang mampu menganalisis data.
"Bidang-bidang lulusan matematik, statistik, data sains itu saat ini mulai tumbuh dan banyak dibutuhkan," terang Azam.
Namun, ia menyayangkan kurikulum pendidikan di Indonesia yang masih bergaya lama, cenderung menghasilkan tenaga kerja dengan keahlian umum. Sementara, kebutuhan industri beralih ke talenta yang mampu bekerja dengan komputer, data, dan statistik. Kesenjangan ini diprediksi akan semakin melebar.
Selain itu, Ia juga menyoroti kebutuhan mendesak akan tenaga teknisi dan perawatan (maintenance) di sektor manufaktur. Ia mencontohkan industri penerbangan di Indonesia yang memiliki ribuan pesawat, namun sebagian besar perawatan masih dilakukan di luar negeri karena kurangnya tenaga ahli lokal. Demikian pula di sektor logistik dan kontrol kualitas, para ahli di bidang ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan.
Azam mengkritik respons dunia pendidikan yang dinilai lambat dalam mengantisipasi kebutuhan pasar kerja.
"Dunia pendidikan kita itu kurang merespon atau mungkin komunikasinya kurang baik, sehingga tidak terjadi antisipasi terhadap kebutuhan kerja ke depan," tegasnya.

Ia menambahkan, sulit menemukan program studi spesifik seperti jurusan mobil listrik di Indonesia. Padahal, di negara lain seperti India, pelatihan semacam itu sudah tersedia.
Inisiatif Industri dan Hambatan Regulasi
Menyadari kesenjangan ini, dunia usaha mulai mengambil inisiatif mandiri untuk mengembangkan kompetensi tenaga kerja. Bob menyebut bahwa banyak perusahaan kini mengembangkan program pelatihan internal. "Banyak sekarang perusahaan-perusahaan yang mengembangkan industrinya sendiri gitu lho, pelatihannya sendiri,” katanya.
Bob berharap kurikulum yang dikembangkan industri dapat dihibahkan kepada sekolah-sekolah umum. Namun ia mengakui adanya kendala regulasi yang menghambat adaptasi kurikulum tersebut.
Sebagai contoh, program Magang Merdeka, yang berdurasi enam bulan dan setara 40 SKS, seringkali sulit diintegrasikan ke dalam kurikulum universitas yang memiliki total 160 SKS tanpa mengurangi mata kuliah yang ada. Hal ini justru dapat memperpanjang masa studi mahasiswa.
Sebagai contoh konkret, Toyota Academy kini telah didirikan untuk menyediakan kurikulum spesifik di bidang maintenance, quality, dan logistics yang tidak ditemukan di institusi pendidikan formal.
Selain itu, asosiasi seperti Indonesia Molding and Dyes Association (IMDIA) menerapkan model kolaborasi antar perusahaan. "Kalau mau belajar elektroniknya itu ke PT Denso, kemudian kalau mau belajar stamping-nya, ya, ke PT Toyota. Kemudian belajar mekanikalnya ke PT lain lagi," jelasnya, menggambarkan bagaimana keahlian teknisi dapat dikonsolidasikan dari berbagai pelatihan spesifik di perusahaan berbeda.
Bob menutup dengan perbandingan sistem pendidikan antara Indonesia dan luar negeri. Di luar negeri, untuk satu keahlian, materi yang diajarkan lebih terintegrasi sehingga jumlah SKS lebih sedikit. Hal ini membuat mereka lebih fleksibel dan adaptif terhadap modul-modul yang ditawarkan dunia industri.
Adaptasi Tenaga Kerja dan UMKM
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus menyebutkan, ada berbagai faktor yang menyebabkan permintaan tenaga kerja menjadi dinamis. Salah satunya adalah tren perilaku pasar dan distribusi teknologi.
Heri menjelaskan, keinginan masyarakat akan efisiensi dan kepraktisan, serta kebutuhan dunia usaha untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, telah melahirkan teknologi-teknologi baru yang dapat mengancam keberadaan jenis pekerjaan tertentu.
"Maka dari itu lahirlah teknologi-teknologi yang mengancam keberadaan tenaga kerja itu. Ini kan sebenarnya suatu tantangan tersendiri buat tenaga kerja di masa yang akan datang," ujarnya kepada Suar, (18/7/2025).

Ia menyoroti bahwa perubahan ini begitu cepat sehingga sulit diprediksi. "Mungkin 10 tahun yang lalu kita enggak menyangka saat ini dibutuhkan sales mobil listrik. Kan beda sama sales mobil terbiasa," katanya.
Contoh lain yang ia sebutkan adalah munculnya pekerjaan seperti influencer yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Dalam menghadapi tantangan ini, Ahmad Heri Firdaus menekankan pentingnya adaptasi. Tenaga kerja harus memiliki program yang memungkinkan mereka untuk beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Demikian pula dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
"Kalau misalnya UMKM yang masih pakai pola-pola konvensional, pola-pola lama, ya, dia akan mungkin susah. Karena yang lainnya sudah pakai teknologi digital," jelasnya.
Adaptasi digital bagi UMKM tidak hanya terbatas pada pemasaran, tetapi juga mencakup akses keuangan, pengadaan bahan baku, dan aspek operasional lainnya. Dengan demikian, tenaga kerja yang relevan di masa depan adalah mereka yang dapat menyesuaikan diri dengan dinamika kondisi saat ini.
Implikasi dari perubahan ini juga terasa pada jenis pelatihan yang disediakan pemerintah. "Jadi nanti makanya pelatihan-pelatihan yang disediakan pemerintah itu akan berubah. Enggak bisa tuh pelatihan barista terus, atau pelatihan menjahit, atau ngelas besi, nggak bisa terus-terusan," tegas Ahmad Heri Firdaus.
Ia menambahkan bahwa perlu ada fokus pada hal-hal baru yang dibutuhkan oleh dunia usaha di masa depan, terutama mengingat banyak industri sudah mengadopsi Industri 4.0.

Bagi calon angkatan kerja, ia menyarankan untuk tidak lagi terpaku pada cita-cita pekerjaan konvensional. "Kalau ditanya cita-citanya mau jadi apa, nah lihat dulu nih dunia lagi butuh apa," katanya. Pekerjaan yang bersifat berulang, seperti administrasi atau tata usaha, sangat rentan tergusur oleh sistem, kecerdasan buatan (AI), dan robot karena alasan efisiensi dan produktivitas.
Di sisi lain, muncul peluang pekerjaan baru yang membutuhkan keterampilan berbeda, seperti house life (live streamer) yang membutuhkan kemampuan berbicara dan tahan kritik.
Mengatasi Mismatch Tenaga Kerja
Indonesia saat ini masih menghadapi masalah mismatch atau ketidaksesuaian antara pasokan dan permintaan tenaga kerja. Ahmad Heri Firdaus menjelaskan ada dua jenis mismatch:
- Vertical mismatch: Kualifikasi yang dibutuhkan lebih tinggi daripada yang tersedia (misalnya, dibutuhkan sarjana tetapi yang ada lulusan SMK).
- Horizontal mismatch: Keterampilan yang dibutuhkan berbeda dengan keterampilan yang tersedia (misalnya, dibutuhkan ahli digital tetapi yang ada ahli administrasi).
Untuk mengatasi masalah ini, ia menekankan pentingnya link and match antara institusi pendidikan dan dunia usaha. "Sehingga yang namanya mismatch ini kan dia tidak link and match. Sehingga ke depannya harus lebih link and match," ujarnya.